Senin, 30 Januari 2012

Para-Human

Berawal dari keprihatinan terhadap kemerosotan moral manusia, seorang anak bangsa, koreografer tari bernama Eko Supriyanto mengusung tur tari lintas negara berkeliling Singapura, Kamboja dan Vietnam, bekerjasama dengan sanggar tari dari kamboja, Amrita Performing Arts. Karya tarian tersebut diberi label Para-Human. 

Para-Human tercipta berawal dari seorang Eko Supriyanto alias Eko Pece yang terinspirasi oleh orangutan dan prostitusi. Menurut Eko, Para-Human adalah representasi manusia yang dirasuki sifat kebinatangan.  "Di sebuah desa di Kalimantan, saya pernah menemui fenomena orangutan yang dijadikan komoditas prostitusi. Selama dua tahun praktik ini laku keras sebelum akhirnya diringkus aparat." kata Eko. Selain itu, tambahnya, Para-Human juga menyoroti bisnis prostitusi di Kamboja yang tumbuh kian pesat, "Disana saya pernah ditawari anak umur 16 tahun secara terang-terangan. Sepertinya tabiat manusia kini lebih gawat dibanding hewan." "Pentas ini diperkuat dengan konsep panggung minimalis yang hanya akan menaruh rumah anjing, sebagai simbolisasi rumah manusia yang mulai mengalami kemerosotan moral" pungkasnya.

Berita diatas yang diulas dalam sebuah koran lokal di Jogjakarta kemarin pagi, membuat aku terhenyak membaca kenyataan-kenyataan yang diungkapkan seorang Eko Supriyanto. Isi perut serasa diaduk-aduk melihat betapa disitu ayat-ayat Allah benar-benar terbukti nyata. Allah berfirman bahwa, manusia adalah sebaik-baik makhluk yang telah diciptakan Allah, apabila dia beriman, mau menanggapi dan melaksanakan apa yang menjadi ajaran Allah yang dicontohkan oleh para utusanNYA. Namun bila manusia mempergunakan organ-organ tubuhnya tidak untuk menanggapi ajaran Allah maka manusia seperti hewan ternak bahkan lebih rendah dari itu. Mereka itulah orang-orang yang lengah. Nau'dzubillahi min dzalik.

Sungguh dalam jaman yang  keruwetannya sudah mengglobal ini tak ada lagi yang bisa kita lakukan kecuali, menyelamatkan diri kita masing-masing dan keluarga terdekat kita agar tidak menjadi manusia yang lebih rendah dari binatang, berkarya semampu kita dalam bidang yang ditekuni masing-masing, seperti halnya Eko yang menyuarakan kemanusiaan dari tarian yang dia ciptakan. Semangat!!

sumber : Harian Jogja, 30 januari 2012;
QS At Tiin 4-6
QS Al A'raf 179


Sabtu, 28 Januari 2012

AARRRGGGGHHHHH !!!!!!

Sore tadi pukul 17.15 di Bandara Adisucipto Yogyakarta, kakiku melangkah bergegas, berharap masih bisa  bertemu adik iparku sekadar bersalaman dan urun doa restu. Hari ini dia berangkat ke California, katanya transit dulu di Jakarta lalu lewat Hongkong. Entah, dimanakah itu, pastinya jauh sekali. Meskipun semua sudah kupercepat, tapi ternyata sampai sana aku tinggal melihat ekor pesawatnya yang sudah tinggal landas. Ya sudah setidaknya aku bisa ada di dekat adikku dan ponakanku sekadar membuat tidak sepi sesaat saja. Kami berbincang-bincang sebentar, lalu aku pamit kembali ke tempatku kerja. Entah kenapa, dalam perjalanan pulang, rasa haru menyeruak begitu dalam, aku menangis sendiri, teringat mata berkaca-kaca adikku melepas suaminya. Lalu satu pikiran melintas, semua ini tak perlu terjadi bila negara ini bisa mencukupi semua kebutuhan kami, rakyat negeri ini. Suami adikku tak perlu jauh-jauh mencari uang sampai ke Amerika sana hanya untuk menjadi buruh!!! Dia harus meninggalkan adikku dan ponakanku disini hingga berbulan-bulan, demi dolar yang nilainya 9000 kali nilai rupiah. Karena rupiah tak pernah lagi mampu menutupi kebutuhan hidupnya. Rasa haru, marah dan entah protes apalagi dan pada siapa bercampur aduk jadi satu. Arrrggghhh!!

Ketika bangsa ini memproklamasikan kemerdekaannya kepada dunia, the founding fathers berdiri dengan gagah di mimbar dengan penuh kepercayaan diri, yakin, bahwa kedepan bangsa kita akan mampu berdikari -berdiri diatas kaki sendiri- alias mandiri, berdaulat tidak lagi berada dibawah ketiak bangsa asing, sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. hal tersebut tercermin secara jelas dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yang secara gamblang dan penuh percaya diri mengemukakan sebuah optimisme, harapan  yang begitu tinggi bahwa bangsa kita mampu menghidupi dirinya sendiri dengan baik. "Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausamengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur". Bahkan didalam undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 2 dengan jelas dikemukakan bahwa ,"Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan."  Alangkah indahnya konsep berbangsa yang disusun para pndahulu kita.

66 tahun sudah berjalan. Negeri ini ternyata tak semudah itu berdiri diatas kakinya. Dulu, rakyat melawan penjajah yang berasal dari bangsa asing. Namun sekarang, bangsa ini bahkan tak tahu lagi siapa yang hendak dilawan. Tata kehidupan semakin carut marut, untuk mendapatkan sesuap nasi, bagi sebagian orang terasa begitu sulit. Bekerja dari pagi sampai pagi lagi tak membuat tercukupi kebutuhan hidupnya (apalagi kaya!), bahkan hutang menumpuk dimana-mana, gali lubang tutup lubang sekadar untuk menyambung hidup. Menjadi buruh bagi perusahaan asing di negeri sendiri, dengan pendapatan yang terkadang masih kurang layak. Ironis lagi, bahkan menjadi buruhpun sudah tak ada peluang, hingga harus menengadahkan tangan di tepi jalan, bahkan mati kelaparan. Bagi para pemberani seperti adikku, mereka bagaikan pahlawan yang berjuang di medan laga, di negeri asing. Menantang sejuta resiko.

Salahkah aku bila akhirnya bertanya, lantas dimanakah fungsi Negara bagi kami rakyat kecil, kaum pinggiran? Dimanakah hak kami untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak?? (Apalagi yang layak??, mendapat penghidupan sekadarnya dan pekerjaan seadanya saja kebanyakan tak ada) Maasih perlukah ada Negara?? Lantas, Negara ini ada untuk siapa??

Sayup-sayup syair itu menggema dalam angan-anganku, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, apakah itu negeri di swargaloka yang hanya ada di dalam dongeng?


Dedicated for Jamallu's family (Iqbal, Ima, Ama), semoga Allah selalu memberikan berkah untuk setiap usaha dan pengorbanan kalian, semoga keselamatan, kesehatan dan kemudahan selalu untukmu, amin

Selasa, 24 Januari 2012

Menuju Cahaya

http://leiaazzahra.blog.com/files/2010/01/lightpath.jpg
Hidup harus terus berjalan, dan terus berjalan menuju satu cita-cita, kemuliaan dan tegaknya satu peradaban dalam bimbingan Tuhan. Hari ini sampailah perjalananku pada satu tempat dimana aku harus memilih untuk meninggalkanmu. Tak bisa ditawar lagi. Bukan karena aku tak kasihan padamu, bukan karena aku tak peduli lagi padamu,  bukan karena aku aku tak menyayangimu lagi, namun inilah yang harus aku tempuh, aku merasa inilah jawaban dari Tuhan, atas doa-doa yang setiap hari aku panjatkan.

Aku tahu, tangismu, lumpuhmu, terpurukmu, aku tahu. Tapi inilah yang Tuhan katakan, dan aku lebih mencintai DIA (dan ilmu-ilmunya tentang bagaimana aku harus hidup dan mati) dari segala hal yang ada di dunia.

Aku mengemban tugas kehidupan yang sarat, yang takkan membiarkan aku berada dalam keterombang-ambingan perasaan, karena itu akan mengaburkan makna sejati tugas kehidupan. Namun aku juga menyadari kemanusiaanku yang terkadang masih berada dalam kerendahan derajat kemanusiaan. Tak apa. Wajar bagi seorang manusia dalam pencariannya terkadang harus terjerembab dalam kubangan permasalahan dunia, kebingungan dalam menentukan sikap dan arah. Hingga tak bisa membedakan antara nikmat dan ujian. 

Bukan aku tak bahagia bertemu lagi denganmu, tapi nikmat kehidupan yang datang dariNYA pastilah tidak akan menyisakan kepedihan bagi seseorang yang lain. Bila satu keindahan membuat kesakitan bagi yang lain itulah naar kehidupan. Itu bukan nikmat, namun cobaan. Aku takkan pernah bisa tertawa diatas tangis orang lain, aku tak ingin mewujudkan naar bagi kehidupan seseorang. Aku ingin hidupku menjadi rahmat bagi manusia lain. Dan aku tahu pasti dirimu memahami aku seperti aku memahami diriku sendiri.

Satu terimakasihku yang tak berhingga, karena hari ini melalui dirimu, melalui apa yang kita lewati, aku benar-benar mengerti apakan satu kehidupan Jannah* itu. Satu kehidupan penuh kasih sayang yang diibaratkan kebun yang dibawahnya mengalir sungai-sungai. Sayangku, dalam satu kebun setiap pohon  tak pernah serakah, sehingga air yang mengalir itu akan dia ambil secukupnya saja sehingga makhluk lain tetap bisa menggunakannya hingga sampai di hilir sana. Dan pohon-pohon menghasilkan buah, yang buahnya tersebut tidak berguna bagi dirinya namun sangat berguna bagi makhluk yang lain. Biarkan aku menjadi pohon, dan bisa memaknai kasih sayang dalam arti yang luas, untuk setiap manusia, biarkan buahku menjadi hikmah bagi orang lain yang membutuhkan pelajaran hidup. Satu pintaku, tetap beningkan jiwamu, selalu perbaiki diri dalam pencarianmu akan ilmu Tuhan, jadilah hamba pilihanNYA yang selalu bisa "memilih" jalan cahayaNYA. Tak perlu kau cari aku ada dimana, aku tak kemana-mana, aku dalam genggaman kuasaNYA. Selamat berjuang. 

@untuk seseorang yang pernah ada dan mengisi hidupku, inspirasi terbesarku mengenai Jannah dan cinta pada kedua orangtua yang tak pernah terkalahkan oleh apapun, my beloved puntadewa, selamat berjuang dan berbahagialah selalu.

* Jannah arti asalnya bukanlah surga (surga berasal dari bahasa sansekerta). Hanya para mubaligh di Indonesia menerjemahkan kata Jannah dalam al Quran sebagai surga. Makna harfiah Jannah adalah kebun atau taman. (M Quraish Shihab, 2000, Tafsir Al Misbach.  Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran. Ciputat. Lentera Hati.)

Minggu, 22 Januari 2012

A Game of Shadows

Hujan malam ini tak menyurutkan niat kami untuk menonton aksi Sherlock Holmes, tanpa berbekal resensi, kami ikuti saja alur cerita yang diawal terasa sangat membingungkan, sampai dua pertiga film masih tak jelas kejahatan apa yang direncanakan oleh sang tokoh antagonis. Aku bahkan tak tahu kasus apa yang akan ditangani Mr Holmes, potongan-potongan kejadian seakan terjadi secara acak. Pelan-pelan mulai terbaca olehku, sebuah penggambaran perlawanan kecil terhadap sesuatu kejahatan yang sangat besar, tersembunyi, rapi dan tanpa meninggalkan jejak ataupun bukti. Adalah sebuah keberanian kemanusiaan yang sungguh luarbiasa dari segolongan kecil kaum gypsi plus Dr Watson dan Mr Holmes, yang mana mereka tak ada apa-apanya dibanding kekuatan, kekuasaan dan kekayaan Mr Moriarty yang harus mereka hadapi. Namun atas nama kemanusiaan, cinta dan solidaritas, mereka memiliki kekuatan yang berlipat-lipat. Perlawanan mereka walaupun tak pernah bisa menumbangkan keserakahan dan kekuasaan jahat yang demikian besar, namun setidaknya bisa menghentikan satu oknum kejahatan. 

Film itu membuat aku teringat sebuah buku yang ditulis John Perkins yang pernah menghebohkan dunia, mengenai sebuah kejahatan perekonomian yang sangat besar yang (seakan-akan) takkan terlawan. Confession of an Economic Hitman, pengakuan seorang mantan preman penjahat ekonomi dunia. Mungkin tak sama persis dengan apa yang dilakukan Moriarty, namun setidaknya ada kesamaan dimana keduanya melakukan kejahatan, menanggalkan hati nurani demi kepuasan keserakahan (yang tak pernah ada titik kepuasannya) dan demi kekayaan. Sehingga bagi mereka adalah sah melakukan penyuapan, pemerasan, pelacuran, serta pembunuhan yang terencana dan keji. Namun apa yang dilakukan penjahat-penjahat seperti itu tak pernah nampak nyata, mereka adalah seperti bayangan, mereka melarutkan diri dalam sistem korporat dan birokrasi, korporatokrasi. Celakanya, apa yang ada di film terasa begitu jauh dari negeri ini, namun tidak dengan apa yang ada di dalam pengakuan John Perkins. Blak-blakan dia mengakui pernah ditugaskan untuk memetakan (mengacak-acak) kekayaan Indonesia untuk secara sistematis disedot oleh mereka.

Bangsa ini sudah berada dalam cengkeraman kekuatan tak terlihat itu. Dan bahkan para pemimpin bukannya menjadi pembela bagi rakyat pemilik negara ini, namun justru, mungkin, menjadi pembela korporatokrasi itu. Undang-undang Dasar yang dibuat para Bapak Bangsa terdahulu sudah tak ada harganya dimata para pemegang kekuasaan dan bahkan yang mengatas namakan wakil rakyat, "Bumi, Air dan Kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." tinggalah sebuah ironi. Segala tambang emas, minyak, bahkan air pun dikuasai oleh kekuatan asing. Air untuk minumpun sekarang kita harus membeli dari galon-galon asing, mungkin nantinya udarapun kita harus membeli. Kesenjangan kehidupan semakin terasa.

Negara ini katanya sudah lebih dari 66 tahun, kekayaan negara ini tak diragukan lagi oleh siapapun, air melimpah, kayu, bahan makanan, tambang, nyaris tak ada bahan-bahan kebutuhan hidup yang tak kita punyai. Tapi masih juga terdengar berita-berita kematian yang mengenaskan hanya karena tak bisa makan. Aku teringat berita di koran Merapi, Sabtu kemarin, di sebuah desa bernama Kedunggong, Jeruksawit, Gondangrejo, Karanganyar, seorang bocah berumur 11 tahun, gantung diri karena pada saat makan dia tak kebagian sambal yang merupakan satu-satunya lauk bagi anak kelima dari tujuh bersaudara itu. Betapa himpitan ekonomi, kemiskinan yang amat sangat sampai membuat seorang anak-anak melakukan hal yang tak seharusnya terjadi di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini. Di negeri yang terjanji subur, banyak rakyat yang mati kelaparan.   

Pertanyaannya adalah, masihkah negara ini akan terus menerus mengikuti permainan yang sudah jelas-jelas diatur siapa yang akan menjadi pemenangnya ini? Dimanakah keyakinan bangsa ini atas kuasa Tuhan terhadap kelangsungan hidup bangsa ini ataukah lebih memilih keyakinan pada bantuan utang luar negeri yang pasti akan bunga-berbunga tiada habisnya hingga kering semua tambang, hingga roboh semua hutan, hingga kering keringat dan darah bangsa ini. Negeri ini memiliki semuanya, namun negeri ini melupakan rakyat dan Tuhannya. (Wallahu'alam)

Ini hanyalah catatan kecil seorang rakyat jelata yang merindukan sosok pemberani, pembela bangsa ini, mungkinkah ada Sherlock Holmes di negeri ini? Tentu saja tidak, karena Sir Arthur Conan Doyle menciptakan tokoh itu ada di Inggris sana. Disini kami membutuhkan Bung Karno, Gadjah Mada, Sultan Hassanudin, Pangeran Diponegoro, Cut Nya Dien dan pahlawan-pahlawan kami yang gagah berani, karena telah terasa sangat lelah kami berjuang hanya untuk sekedar sesuap nasi dan satu tempat untuk berteduh di negeri kami sendiri. Bila kami saja susah memikirkan apa yang akan kami makan besok, bagaimana dengan anak cucu kami nanti. Sudahi permainan ini, let's end the game of shadow, may Allah bless us. 

Sabtu, 21 Januari 2012

Rumah Kayu, Sebuah Penantian Panjang


Tepat tengah malam, perempuan itu terbangun ketika aku datang berkunjung, rupanya dia tertidur di beranda rumah kayunya. Dia menggigil kedinginan. Angin malam begitu keras menerpa, dan hujan rintik-rintik menambah dingin udara. Semalaman, masih juga dia setia menunggu kekasihnya yang sudah bertahun-tahun tak pernah lagi datang mengunjunginya. Dia selalu percaya, kekasihnya pasti akan datang padanya walaupun entah kapan. Sebuah keyakinan yang membuatku kagum sekaligus heran. Betapa setianya dia pada sesuatu yang tak pasti. Aku ulurkan jaket yang aku kenakan padanya untuk sekedar menepis dinginnya malam. 

Aku beranjak ke halaman rumahnya, yang berada di tepi sungai dan dikelilingi pepohonan yang cukup rapat, aku ambil beberapa kayu bakar dan mulai menyalakan api unggun. Damai sekali disini, sesekali terdengar suara burung malam diselingi suara katak diantara gemericik air dan desau angin yang menggesek dedaunan. Api mulai menyala menghangatkan badan, perempuan itu beringsut menyodorkan secangkir teh hijau kesayangannya, kami mulai bercakap-cakap, "Mbakyu suka sekali teh hijau ya?" aku memulai percakapan.      "Teh hijau selalu mengingatkanku pada dia" Jawabnya. Mbakyu ini pasti sangat mencintai kekasihnya. "Mbakyu, apakah Mbakyu tidak kesepian di rumah ini sendiri?" aku memberanikan diri bertanya. "Sepi adalah sahabatku, dalam sepi aku menemukan keindahan sebuah penantian, tak tergambarkan olehku bagaimana nanti bahagianya bila dia datang". Trenyuh aku mendengarnya, karena aku tahu, kekasihnya takkan pernah datang, beberapa tahun yang lalu kekasih yang begitu setia menemani hari-harinya tiba-tiba meninggalkan dirinya untuk menjalani hidupnya dengan perempuan lain. "maaf, apakah tidak sebaiknya Mbakyu membuka diri untuk kekasih yang lain, bukankah diluar sana masih banyak harapan?" kataku. "tidak, tak ada yang bisa mengerti dia sebaik aku dan tak ada yang bisa mengerti aku sebaik dia, kami terlahir satu jiwa yang terbelah, kalaupun kami saat ini tak bisa bersama itu hanya karena masih ada tugas yang harus dia selesaikan, dia saat ini tidak bahagia, aku merasakannya tanpa dia mengatakannya padaku, aku merasakannya." mata perempuan itu menerawang, menggenangkan air mata yang segera ia usap. Aku belum pernah melihat kekuatan cinta sebesar ini, hampir aku berfikir, ini cinta, kesetiaan ataukah kebodohan? Perempuan itu melanjutkan kata-katanya, "aku masih teringat ketika terakhir bertemu dengan dia, dia berkata, janganlah bersedih karena cinta yang tak dapat kau raih, cinta ibarat permata yang berkilau dan mengeluarkan cahaya. Kau dapat menikmati keindahannya walau kau tak dapat memilikinya." "Dan Mbakyu meyakini itu?" tanyaku. Dia mengangguk. "Mbakyu, aku justru menangis melihat dirimu, kau akui atau tidak, dirimu terluka Mbakyu. Kalau bagiku, cinta sudah terkubur sejak tak lagi jujur".  Perempuan itu terkejut, terhenyak dan menjawab, "dia jujur padaku, dia menerima cinta lain karena terpaksa". Aku menggelengkan kepalaku, "Mbakyu, kejujuran tetaplah bukan kesetiaan".  Perempuan itu terdiam, airmatanya mengalir deras, jiwanya guncang. Masihkah dia harus menanti di Rumah Kayu nya yang sepi??
cinta bukanlah tempat dimana kau bisa datang dan pergi, cinta adalah rumah dimana kau datang dan tak pernah pergi

Jumat, 20 Januari 2012

If I Should Speak

Dengan susah payah aku terbangun, rasa ngilu masih terasa di sekujur persendian. Masih agak pusing. Aku tengok telepon genggamku, masih seperti semalam, dalam posisi off. Memang, malam tadi aku ingin sendiri, tak ingin seorangpun menggangguku, tak seorangpun. Aku ingin menikmati sejuta galau dan pertempuran dalam kepentingan dalam otakku. Medan perang terbesar adalah di otak, selalu kuingat kata-kata itu. Apalagi ketika kita tak mampu menyuarakan apa yang terjadi sebenarnya, apa yang kita rasakan, apa yang menjadi kehendak kita. Semua hal itu menjadi aliran gelombang yang saling bertabrakan, dan mengacaukan frekuensi otak, merembet ke kacaunya frekuensi jantung dan kacaunya seluruh sel-sel tubuh, rasa sakit yang amat sangat.  

Tak ada yang bisa menolong, karena memang mereka tidak tahu, dan mereka tidak tahu karena memang aku tak bersuara. Aku tak menyuarakan keinginanku karena memang aku tak mampu. If I should speak.

Aku tahu badan ini lelah, luar biasa lelah, namun mata ini tak mau kompromi, masih juga terbuka. Tapi aku tahu bila kubiarkan pasti besok pagi aku tak mampu terbangun. Akhirnya aku berussaha keluar dari semua kekacauan dalam otakku, aku pergi ke sebuah tempat yang teduh, hijau, dipinggir sungai nan gemericik, suara kodok bersahutan, angin dan sayup-sayup suara gamelan. Terasa betapa tenang, tentram, syahdu. Aku terbaring di rerumputan, tanpa beban, dalam hati hanya menyebut nama Tuhan, "Tuhan, tiada daya dan upaya selain dari kuasaMu. Tuhan, Engkaulah sebaik-baik penolong, aku memohon pertolonganMU" "Tuhan semua datang dari Engkau, bila ku tak kuasa lagi, maka aku kembalikan lagi padaMU, terjadilah menurut kehendakMU". Malam itu hanya ada aku, tak ada siapapun di sekitarku, hanya ada pohon-pohon, sebuah rumah kayu ditepi sungai, rerumputan dan aku yang terbaring diatasnya. Aku telah melepas semuanya, ringan, tanpa beban. 

Fajar mulai merekah di ufuk timur ketika mataku terbuka, akhirnya aku tertidur lelap semalam. Gemericik air wudlu membangunkan kesadaranku. Membasuh seluruh kekotoran jiwa. Seusai menghadapNya, kulantun seuntai do'a, Tuhan aku memang bukan hambaMu yang sempurna, namun setidaknya masih kau terangi aku dengan cahaya kasihMu, sehingga tak buta mata hatiku, masih terdengar suara hati nurani di jiwaku dan aku mendengarkannya. meskipun mulutku tak mampu berucap, namun aku yakin Engkau Maha Tahu apa yang telah terjadi padaku, dan Engkau Maha Tahu apa yang menjadi keinginanku, dan aku yakin, pasti, KAU berikan yang terbaik untuk hidupku. Karena cita-citaku masih satu, mendukung tegaknya peradaban berdasar ilmuMU. Amin.



Rabu, 18 Januari 2012

Berlalulah

Lelaki itu mendatangiku, bertahun-tahun yang lalu. Memasuki hidupku yang sedang porak poranda, dan membantuku menata serpih-serpih kehidupanku. Lelaki itu selalu ada disaat aku membutuhkan. Hari demi hari dirajut dengan tawa. Aku yang sendiri tak merasa sepi lagi. Aku bahagia. 

Lelaki itu terdiam pada suatu hari, aku merasakan ada beban yang sangat berat yang dia tanggungkan, aku mencoba menanyakan ada apa, namun jawabannya hanyalah, "aku tak tahu, semua gelap"

Lelaki itu berurai air mata, hari itu dia mengatakan dia harus menjawab panggilan keluarganya untuk membangun sendiri bahteranya, bukan dengan aku, dengan sosok yang lebih sempurna. Seperti dihantam halilintar, hari itu aku limbung. Sulit membedakan akal waras dan kegilaan, sulit memilih akankah aku kuat terus melanjutkan hidupku atau memilih jalan pembebasan dari segala sakit dunia. Aku hampir mati. 

Menghujat, Bersumpah, kemarahan yang menyala-nyala, kesedihan yang begitu dalam, rasa tercampak, tak berguna, serasa manusia terburuk di dunia karena rasa tertolak. 

Adalah sahabat-sahabatku yang bijak, yang setiap hari menuntunku, meyakinkanku bahwa aku pasti bisa berdiri kembali, bahwa hidupku sangatlah indah, bahwa aku masih memiliki kekuatan iman, Tuhan masih ada, begitu kata teman-temanku. Aku mencoba menemukan diriku. Menghilangkan semua hal tentang lelaki itu. Semua hal, tak kusisakan tempat untuknya lagi. Aku tenang, aku bahagia dengan hidupku.

Setiap peristiwa terjadi atas kehendak Tuhan, tanpa kecuali. Tanpa kecuali juga saat lelaki itu mendatangiku lagi, membawa sejuta beban yang sarat di bahunya. Lelaki itu mengulurkan tangannya. Namun aku tahu, tak mungkin aku menerima uluran tangannya. Aku hanya bisa iba. "kenapa kau datang lagi" tanyaku padanya, "tanyalah pada Gusti, kenapa". Jawabnya. "Semua sudah terlambat, biarkan aku mencintaimu hingga terluka, lebih agung untukku melukai diriku daripada merendahkan diri merenggutmu dari istanamu. Biarkan aku sendiri, jalanilah takdirmu yang telah kau pilih sendiri dua tahun yang lalu."

Aku mengeras, kembali menjadi batu karang, memandangmu Lelaki yang hidup dalam bayang-bayang. Berlalulah.

Merindukanmu (di) Ullen Sentalu

Aku tahu tempat itu tepat dua tahun lalu. Beberapa teman mengatakan, tempat itu bagus, unik, apik. "Bagus Rin, kapan-kapan kamu harus kesini...suerrr,,,bagus!!!" Kata seorang teman yang baru saja liburan ke Yogya dan berkunjung kesana. "Iya deh..." Jawabku. Tapi aku tak punya hasrat untuk kesana. Beberapa bulan setelah itu aku ikut pelatihan di Wisma Kinasih, tepat di depannya, dua hari satu malam. Aku tanya kepada trainerku, "Pak, museum Ullen Sentalu yang mana sih? katanya deket sini..." " Lha itu lho mbak, di depan." Kata dia sambil menunjuk tempat di seberang jalan. "Ooo... isinya apa Pak", "Isinya ya macem2, kalo yg suka sejarah ya seneng. Kesana aja mbak,". Aku longokkan kepala melalui jendela wisma, yang terlihat hanya semacam bangunan tua dengan rimbun semak belukar. "Ah, kayaknya serem.. enggak deh Pak" jawabku.
Setahun setelah itu, kembali seorang teman mengajakku kesana, namun dengan beberapa pertimbangan, kamipun urung mengunjungi Ullen Sentalu. Dan akhirnya, Ullen Sentalu tersimpan rapi dalam benakku saja. Hingga hari itu.

Dua tahun kemudian. Suatu sore, tanpa rencana. Aku dan dia menyusuri jalanan, tanpa jalanan. Dia menawarkan Musim Merapi Volcano, "males ahh, gausah" kataku. Kembali kami susuri jalanan tanpa tujuan, berkali-kali aku menghela nafasku, "hhhhhhh...." entah, aku sendiri tak tau beban apa yg ada. "kamu kenapa, dari tadi menghela nafas, kayaknya ada yang berat" "enggak, aku gapapa." Jawabku. "eh, Ullen Sentalu! belok-belok!!" kataku setengah teriak. Lalu kami memasuki satu jalanan kecil, terlihat satu gerbang tua seperti di Jurrasic Park. Amazing. Seperti melompat jantungku, baguuss banget. Inikah tempatnya...? 
"Wah, keren ya" dirimu mengiyakan sambil terlontar khayalan-khayalanmu yang membuatku tertawa. Sepuluh menit kemudian, kami sudah berdiri di depan pintu masuk, "Ndalem Kaswargan" tertulis di depan pintu masuk. Seketika moodku berubah bersemangat, tempat ini begitu indah, eksotis. Seakan-akan kami dibawa ke alam lain, di sebuah taman yang tak mengenal persaingan dan keserakahan. Tenang dan damai. Damai yang dalam... damai, aku senang disini. Just like a heaven maybe... "Aku pingin ke dalam, tiketnya dimana ya?" Dia tidak menjawab, tapi bertanya pada seorang bapak yang baru saja datang, "Pak, kalau masuk lewat mana? lalu loket tiketnya dimana ya?" "waduh mas, hari ini tutup, mas besok aja kesini" Jawab bapak itu. "yahhhhh,,,gada dispensasi ya Pak? dari jauh nih..." kataku. "maaf mbak" hanya itu yang dia katakan, lalu segera menghilang ke balik gerbang tua. Hhhhh.... kembali aku menghela nafas. Aku alihkan pandangan ke atas benteng bangunan  yang sengaja dibiarkan ditumbuhi lumut dan sulur-sulur pohon, paduan yang eksotis sekali, aku hela nafas membuang kecewa, huuuuffhhh. Terbayang dimataku, didalam sana pasti indah sekali, pasti banyak  sejarah terangkai, pasti banyak filosofi hidup utk inspirasi, berkali-kali kubuang nafas kecewa. Seakan tahu, kau segera mengulurkan tanganmu merengkuhku, "Ya udah, besok lain kali kita kesini lagi, oke" katamu. Akhirnya, hari itu tak ada keindahan Ullen Sentalu yang sudah di depan mata. Entah kapan, aku harus kesini lagi. Ullen Sentalu.

Minggu, 15 Januari 2012

Ikhlas was Light On

"Ajari aku tentang tidak melekat, tentang melepaskan sesuatu yang begitu dalam tertancap, " Pintaku pada seorang sahabat. "Pada hakekatnya setiap manusia pasti mudah lekat. Namun, kelekatan itu adanya di perasaan, cobalah renungkan sungguh-sungguh, apakah dengan terlepas dari yang membuatmu lekat itu akan membuatmu mati? Apakah jika kita tidak menjadi bagian hidupnya kemudian menjadikan nilai kemanusiaan kita jadi berkurang? Tidak sahabatku," Katanya, " Melepas itu mencintai sampai terluka demi kebahagiaan orang lain, dan kita akan menemukan kebahagiaan tersendiri ketika melakukan itu" Lanjutnya. 

Ketika sahabatku berbicara padaku masih berontak dalam hatiku, otakku bergejolak, mungkin bila dilihat dalam grafik Elektro Kardio Graf (EKG) dan Elektro EnsefaloGraf (EEG) akan terlihat seperti grafik seismograf waktu terjadi gempa 9 skala richter, ruwet. Aku jalani hari-hari yang penuh dengan perang batin, perang dalam pikiran. Lelah sekali rasanya, tapi aku seperti orang kecanduan, masih juga aku jalani keruwetan-keruwetan itu. Berputar-putar dalam keruwetan tanpa akhir.

Beruntungnya aku, Tuhan masih memberikan aku naluri untuk kembali pada akal budi, eling. Aku merasa di titik terendah kemanusiaan, karena telah menghujat takdir. Terpuruk dalam sujud panjang, "Tuhan hamba sowan, ampuni hamba...". Usaha tak cukup berhenti pada doa, aku harus memperbaiki pikiran dan jiwaku. Aku kumpulkan buku-buku tentang ilmu Ikhlas, Hukum tarik menarik, dan cara-cara meng upgrade otak dan DNA. Bagaimanapun sel sel otak harus di rekonstruksi supaya tidak dikendalikan ego. "Medan perang terbesar adalah otak" kata buku Quantum Ikhlas, ya benar. Pada saat pikiran terasa cemas atau marah, saat itu otak kiri dan kanan tidak harmonis, sehingga perasaan hati menjadi kacau. Pekerjaan berantakan karena sulit berkonsentrasi. Lalu, bila memang demikian adanya untuk apa aku biarkan berkepanjangan, hal ini akan merusak hidup dan kehidupanku dan orang-orang di sekitarku. Aku harus bisa mengatasi ini semua. Aku harus bisa sampai pada satu titik itu, dan menekan tombol "on", ikhlas was light on. 

Aku tersenyum, lepas semua beban yang menghimpit. Melepas justru menjadikanku lebih berharga dan bersinar. Terkadang kita harus terluka untuk keselamatan dunia ini. Bila kita bisa menerima sakitnya, akan menjadi berkat buat kita, dan Tuhan punya hitunganNYA tersendiri atas rasa sakit dan pengorbanan kita. Tak ada yang sia sia dimata Tuhan. Namun bila kita tidak terima atas semua sakit, yang adanya hanyalah rasa sakit itu sendiri. Dalam pasrah sujud malam, aku menemukan makna ikhlas melepaskan, bukan hilang, hanya tidak lekat, dan bila Tuhan mengijinkan pasti akan datang waktunya utk bisa bersama lagi. InsyaAllah.


Terimakasih utk sahabat dan buku-buku yang mengispirasi dan membantu menemukan tombol ikhlas. 
and of course, thanks to Allah for give me a wonderful life, alhamdulillaah

Jumat, 13 Januari 2012

Meneladani Kepasrahan Bunda

Hidup berjalan terus bergerak maju, membentuk dataran, lembah dan ngarai, terkadang terasa hampa, mendatar saja, terkadang begitu membahagiakan sehingga kita merasa berada tinggi menjulang, tapi terkadang juga kita tak bisa menolak satu kesedihan yang dalam hingga serasa pada tempat terbawah di dunia. Setiap dari kita pasti pernah mengalami, satu periode, dimana kesedihan terasa seperti tiada berujung, masa depan begitu gelap dan hampir-hampir putus asa. Terkadang, disaat kita sedang merasakan yang begitu pedih, masih harus ditambah cibiran, fitnah dan tuduhan  dari orang-orang yang sebenarnya tidak mengetahui permasalahan yang sebenarnya. 

Pada saat berada dalam pusaran kesedihan memang biasanya kita tak mampu lagi berpikir jernih, dan yang paling mudah adalah menimpakan kesalahan sebagai sumber kesedihan itu kepada orang lain, yang akibatnya adalah, keluarnya sumpah serapah dan dendam kesumat pada orang yang kita jadikan "kambing hitam" atas kesedihan kita. Setelah itu semua kita lakukan, kesedihan kita bukannya lenyap, namun justru menjadi lebih dalam seperti terluka menganga dan terpuruk di dasar jurang. Aiiiihhh.... Apalagi bila hal yang demikian menimpa seorang wanita yang mana perasaan lebih dominan pengaruhnya daripada logika. 

Disaat kita sudah tak bisa mengendalikan logika, sebaiknya memang diperlukan seorang teman untuk "menampar" kesadaran kita. Mengingatkan bahwa kesedihan terlalu dalam akan mematikan nalar, dan dendam hanya akan membakar semua, akhirnya tak ada kalah menang. Binasa semua. 

Andaikan mau, alangkah indahnya bila kita tengok perjalanan salah satu wanita yang dimuliakan dan diutamakan langsung oleh Sang Khalik, Bunda Maria atau Maryam binti Imran. Beliau adalah salah satu manusia yang paling taat, yang semenjak dalam kandungan sudah dido'akan agar mjd seorang hamba Allah yang shaleh(ah), dan setelah remaja senantiasa menghabiskan waktu utk berdoa di bayt-Allah, hingga akhirnya yang mendapat tugas "berat" dari Allah, namun mungkin beliau juga wanita yang paling banyak mendapatkan fitnah semasa hidupnya. Disaat beliau "hanya" menjalankan tugas, menerima keputusan/taqdir dari Allah, yang mana, ternyata apa yg beliau jalankan itu tak bisa diterima oleh masyarakat di sekitarnya, maka tak ayal, celaan, hujatan dan tuduhan keji bertubi-tubi beliau terima. Sungguh bisa dibayangkan betapa berat apa yang beliau alami saat itu, namun bisa kita lihat, bukanlah putus asa jalan yang diambilnya, kendatipun itu hampir saja terjadi. Dengan bimbingan Allah melalui malaikat Jibril, tiadalah putus asa itu, yang ada hanyalah kepasrahan total atas kehendak Allah.  "Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanMU" begitu kira-kira yang dikatakan Bunda Maryam waktu itu. Dan akhirnya dengan kepasrahan beliau itu, semua hal berat bisa beliau lalui dengan baik, menjadikan beliau wanita termulia, ibu terhebat dari seorang utusan Allah.

Sungguh, dengan kepasrahan total kepada Allah, menyandarkan urusan yang kita sudah tak mampu dan tak tahu lagi bagaimana cara mengatasinya hanya kepada Allah, jauh lebih menguatkan diri kita. Kepasrahan takkan membinasakan siapapun, justru akan menguatkan, dan disitu Allah pasti akan memberikan jalan keluar, lalu setelahnya hikmah-hikmah kehidupan pasti akan kita dapatkan. Bila sudah tahu demikian, masihkan kita tak hendak memasrahkan urusan-urusan kita yang telah kita usahakan sekuat tenaga , kembali kepada-NYA?  (Wallahu a'lam)  

Rabu, 11 Januari 2012

Mutiara Kecil dalam Cangkang Waktu

Buku itu berwarna merah, aku beli di toko buku  beberapa waktu lalu. Selama ini belum sempat aku baca, masih antri di rak buku ku menunggu giliran aku tergerak membukanya. The Power, karangan Rhonda Byrne. Buku ini sequel dari best seller The Secret. 

...Suit...suit.... nada sms masuk di Soner tuaku, "dah masuk ruang op, mohon doanya". Satu pesan pendek dari tante, hari itu Addien menjalani operasi pengangkatan semacam ganglion (?) di kakinya. Aku segera meluncur ke RSUP, tak lupa The Power aku bawa, "siapa tau ada gunanya disana" pikirku. Sejurus kemudian setelah berjuang mendapatkan tempat parkir aku segera bergegas menuju Gedung Bedah Sentral Terpadu, lantai 4. Kudapati tanteku menggeloso sendirian, setengah melamun. "Gimana?" tanyaku. "Udah masuk, tapi kok lama ya..udah 3 jam nih,  tadi yang masuknya barengan Addien udah keluar, aku was-was..." "Tante gak boleh mikir yg buruk dong, eh, nih aku bawa buku bagus, kita baca deh." Kataku sambil menyodorkan buku The Power.

The Power : Page 1 
Bila bangun setiap pagi, Anda semestinya dipenuhi perasaan semangat karena Anda tahu hari itu akan dipenuhi oleh berbagai hal yang menyenangkan. Anda semestinya tertawa-tawa bergembira sepenuhnya. Anda semestinya merasa kuat dan aman. Anda semestinya merasa nyaman.terhadap diri sendiri dan menyadari bahwa diri Anda berharga.... Anda semestinya bersikap sebagai pemenang!

Kami terhenyak terhenti di situ, diskusi kecil terjadi, buku ini dikarang oleh seorang barat, tapi coba  lihat, bandingkan dengan lafadz adzan, Hayya alal falah = Mari meraih kemenangan. Kita sudah memilikinya,  5 kali sehari berkumandang bersahut-sahutan, tapi tak pernah sadar, atau tak terpanggil? Semua berlalu   begitu saja, menjadi rutinitas tanpa makna. Adzan hanyalah adzan penanda waktu sholat sudah tiba, dan bukan dimaknai sebagai panggilan dari Allah yang menuntun kita menuju kemenangan!! Dimanakan telinga dan hati kita manakala panggilan itu datang. Buta, matahati terkunci. astaghfirullah.. 

The Power : Page 5
Satu Bab membicarakan tentang cinta, cinta dan cinta. Sekilas sekilas kami baca, semua tentang kekuatan cinta. Cinta Adalah Kekuatan yang Menggerakkan Anda.

bukankah ini intisari dari ajaran keimanan, cinta. "...waalladziina aamanuu asyaddu hubbal lillah...= orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah'. Allah sendiri yang mengatakan kepada kita. Tapi kenapa kita justru baru melek dengan membaca buku ini, dimana kita selama ini..?

Diskusi kecil di depan ruang bedah sore itu terasa menampar-nampar kesadaran kami, betapa selama ini kami tak bisa membahasakan apa-apa yang sudah diberikan Allah kepada kami. Betapa karunia itu berserakan disekitar kami tanpa kami mampu menguntainya menjadi sesuatu yang berharga. Betapa banyak yang kami sia-siakan. Rabbii zidnii 'ilmaa, warzuqnii fahmaa, amin. Namun diantara perasaan tak karuan ada satu hal yang aku syukuri, dalam sempitnya waktu dan sempitnya hatiku, sore itu aku mendapat mutiara. Alhamdulillah.


GBST RSUP Dr Sardjito 11 jan 2012
Dedicated to Yeyeh, jangan biarkan samudera ilmumu mengering tanpa membaginya denganku, Thanks aunty..
Addien, semoga lekas sembuh

Sabtu, 07 Januari 2012

Black Diamond

Datang dan pergi, rasa sakit dan pedih seperti gelombang laut yang menghantam jiwa. Menjadi batu karang tidaklah mudah, karena aku masih memiliki rasa, darah masih mengalir dalam ragaku. Aku masih manusia. Seharusnya aku terus maju, dan tak perlu peduli lagi apa yang sudah aku (kita) lewati. Tapi aku terlalu banyak menoleh kebelakang, menengok kekecewaan, menatap ketidaksempurnaan.

Aku berusaha mempercayai semua yang kau nyatakan untukku, bahwa seluruh jiwa, hati dan cintamu sudah tertambat padaku. Akulah pelabuhan terakhirmu kelak. Berkali kali kau ucapkan itu, kau tuliskan, hingga akhirnya kau mungkin bosan mengucapkannya padaku, dan kamupun terdiam, karena aku tak kunjung percaya. Andaikan kau tahu, jauh dalam hatiku, aku ingin sekali mempercayaimu, namun setiapkali menatapmu disini, aku melihat ada wajah-wajah lain yang masih kau simpan. Terkadang aku merasa tak mengenalmu seutuhnya, ada sekat-sekat gelap yang kau sembunyikan dari aku, tapi aku bisa melihatnya. Aku ingin mengingkarinya, namun terkadang aku tak bisa. Terkadang aku terlalu lama menatap mereka, yang mungkin bahkan untukmu itu tak ada artinya lagi. Aku sakit. Aku menyakiti diriku sendiri. Aku kehilangan diriku. kemana aku yang tegar berdiri sendiri menantang badaimu dulu?? Mengapa kini tiapkali menoleh aku menjadi sangat lemah. Namun tak juga aku palingkan wajahku dari masa lalu. Sungguh bodoh dan naif. Aku muak dengan semua ini. Aku muak dengan keadaanku saat ini. 

Butiran-butiran airmata perlahan bergulir, menetes kian lama kian menganak sungai. Tumpah semua kecewa, tumpah semua sedihku. Duduk kuterdiam menatap semua orang yang hilir mudik menikmati tengah malam di jantung kota Yogyakarta. Terasa sunyi dalam keramaian. Aku terduduk ngungun, sayup sayup terdengar alunan lagu yang selalu kau lagukan untukku, menambah pedihku karena kau menyatakan kau tak bisa disampingku..." I know I can't stay by your side forever, but I know I won't forget your beauty, my Black Diamond........"

Vredeburg, 6th January 2012
(For my beloved Puntadewa)
Seharusnya kau mengatakan, "Yes, I can stay by your side forever " 

Kamis, 05 Januari 2012

Setangkup Doa Pagi


Mencoba mengais energi pagi, setelah lelap semalam menghilangkan penat dari sebuah perjalanan. Menyusun rencana hendak kemanakah hari ini. tapi rasanya buntu, aku masih duduk disini dan belum menemukan rencana. Ada kelelahan luar biasa di otakku.  Kucoba bertanya pada diriku sendiri, hendak kemana aku hari ini, "aku ingin pergi ke suatu tempat, yang hijau, sejuk, duduk hanya duduk saja dan tidak melakukan apapun". Hampa. 

Kesibukan ini bila kubiarkan tanpa kendali, semakin lama semakin menjadikan aku jauh dari nilai manusia. Pusaran kehidupan begitu dahsyat, namun bila aku menginginkan tetap bisa berdiri tegak berarti harus larut di dalamnya. bila inginkan bertahan aku harus ikut berebut remah-remah lembar-lembar kertas yang dinamakan uang. Naif. 

Dalam setiap doa aku memohon, "Tuhan, berikan aku seorang yang bisa mengerti, hakekat hidup, sebenar-benar hidup benar. Hidup dalam ajaranMu. Aku tak hendak seorang suci ataupun sempurna, aku hanya menginginkan seorang hamba yang mencariMU bersamaku. Menyayangiku karenaMU. Karena bersama orang seperti itu, kehampaan akan terisi cintaMU, dan akupun akan lebih kuat berdiri menghadang gerusan hidup yang kian hari kian membadai." Tuhan baru memberikan tanda, tapi belum memberikannya padaku. Sabar.

Belum juga aku beranjak dari lamunanku, masih terduduk disini. mengumpulkan tekad untuk bangkit. Berdiri. Aku harus melakukan sesuatu. Mungkin aku harus mengawali dengan satu permohonan, "Tuhan, perkenankan tanda itu kau berikan padaku, agar menemaniku, pemyemangatku, bagian dari hidupku. Aku tak ingin menua seorang diri, dan aku juga tak ingin menua dengan seseorang yang tak pernah mau berbicara tentangMU." Amin.

Senin, 02 Januari 2012

Espresso

Sudah lewat tengah malam ketika kau menelfonku,   "temeni aku ngopi ya..."  "aku jemput sekarang".  Tak lama, kau sudah didepan gerbang. Lengang jalanan kota Yogyakarta malam itu, setelah malam sebelumnya hiruk pikuk orang-orang merayakan saat-saat pergantian tahun. Kau pacu mobil dengan mengikuti irama jiwamu. Aku tahu kau kalut. Sejurus kau kemudikan pelan, sejurus kemudian kau injak pedal gas dalam-dalam.  Tak sepatah katapun terucap dari mulutku. Begitu sulit mulut ini terbuka, pun ketika kau menanyakan, aku memilih kedai kopi yang mana. "Terserah kamu" cuma itu yang terucap. Kaupun terdiam. Aku tahu kau menyimpan kegalauan yang sangat. Namun malam itu hatiku sekeras batu, rasa sakit dan terluka seperti terbuka lagi, seperti dua tahun lalu. Semua ingatan tentang hari itu melintas bak hujan meteor menghujani otakku. Sakit, marah, cemburu dan terluka mencambuk segenap jiwaku. Sudah habis aku tumpahkan padamu, yang tersisa hanyalah diam. Aku memilih menjadi batu. Bisu.

Tanpa arah yang pasti berputar-putar, akhirnya masih ada juga kedai yang buka. Didepan masih ada beberapa anak muda yang begadang. Kami masuk dan memilih tempat. Tempat yang nyaman, eksotis, dan seharusnya juga romantis. Namun malam ini tidak. Aku memilih membeku. Kecewaku padamu begitu dalam. "Espresso" jawabku singkat ketika memilih menu. Yang lain-lain hanya aku jawab dengan gelengan kepala. Secangkir Espresso terhidang dan kau bertanya, "kenapa pilih itu, dikit banget kan" "ya, tapi caffeinnya paling tinggi" jawabku singkat. "kenapa??" tanyamu, "karena aku suka" aku kembali menjawab singkat. Dalam hati terucap olehku "Sayangku, kau tak pernah tahu, aku pilih ini sebenarnya karena secangkir Espresso inilah ekspresi tentang kita, mewakili semua kepahitan dan kekecewaanku padamu, namun sekaligus disitu aku mencecap manisnya cintamu. Menikmati pahit manis espresso adalah menikmati hidup ini" 

Berjam-jam dalam diam. Hanya duduk, bahkan uluran tanganmupun kutepiskan. Rasa kecewa begitu menguasai diriku, kupalingkan wajahku tak hendak menatapmu. 

Satu bisikan dalam hati kecilku, "benarkah kau tak menghendaki dia ada dalam hidupmu lagi? sebesar apakah kecewamu?" Ingin aku menangis bila harus menjawabnya, "aku masih mencintainya, masih. sangat" Sekilas, aku melihat kearah dia, dia sedang menatapku dengan begitu lekat, gurat-gurat kelelahan dan kecewa atas hidupnya sendiri nampak begitu jelas, "kau begitu terluka Sayangku" namun kata-kata itu lagi-lagi tak pernah terucap olehku. Dia hanya bisa pasrah, menyandarkan kepalanya di bahuku, mungkin dalam hatinya sedang menangis. Matamu, begitu menghiba, berduka, runtuhlah batu karang yang memagari hatiku, berjatuhan, berguguran. Meskipun masih ada sisa sisa keangkuhan yang aku tampakkan, namun sungguh wajahmu malam itu membuatku bertekad untuk bersamamu menghapus semua luka-luka ini. Memanjatkan doa bersamamu, Tuhan tolonglah kami, karena tiadalah  kekuatan kami kecuali dengan pertolonganMU.....

Tetes terakhir espresso kusesap dengan sepenuh jiwa, setelah semua pahitnya kutelan, tinggallah gula di bagian bawah, manis. Semoga begitulah perjalanan kita, berakhir dengan manis, semanis suapan roll cake coklat yang kau suapkan untukku.