Jumat, 20 Januari 2012

If I Should Speak

Dengan susah payah aku terbangun, rasa ngilu masih terasa di sekujur persendian. Masih agak pusing. Aku tengok telepon genggamku, masih seperti semalam, dalam posisi off. Memang, malam tadi aku ingin sendiri, tak ingin seorangpun menggangguku, tak seorangpun. Aku ingin menikmati sejuta galau dan pertempuran dalam kepentingan dalam otakku. Medan perang terbesar adalah di otak, selalu kuingat kata-kata itu. Apalagi ketika kita tak mampu menyuarakan apa yang terjadi sebenarnya, apa yang kita rasakan, apa yang menjadi kehendak kita. Semua hal itu menjadi aliran gelombang yang saling bertabrakan, dan mengacaukan frekuensi otak, merembet ke kacaunya frekuensi jantung dan kacaunya seluruh sel-sel tubuh, rasa sakit yang amat sangat.  

Tak ada yang bisa menolong, karena memang mereka tidak tahu, dan mereka tidak tahu karena memang aku tak bersuara. Aku tak menyuarakan keinginanku karena memang aku tak mampu. If I should speak.

Aku tahu badan ini lelah, luar biasa lelah, namun mata ini tak mau kompromi, masih juga terbuka. Tapi aku tahu bila kubiarkan pasti besok pagi aku tak mampu terbangun. Akhirnya aku berussaha keluar dari semua kekacauan dalam otakku, aku pergi ke sebuah tempat yang teduh, hijau, dipinggir sungai nan gemericik, suara kodok bersahutan, angin dan sayup-sayup suara gamelan. Terasa betapa tenang, tentram, syahdu. Aku terbaring di rerumputan, tanpa beban, dalam hati hanya menyebut nama Tuhan, "Tuhan, tiada daya dan upaya selain dari kuasaMu. Tuhan, Engkaulah sebaik-baik penolong, aku memohon pertolonganMU" "Tuhan semua datang dari Engkau, bila ku tak kuasa lagi, maka aku kembalikan lagi padaMU, terjadilah menurut kehendakMU". Malam itu hanya ada aku, tak ada siapapun di sekitarku, hanya ada pohon-pohon, sebuah rumah kayu ditepi sungai, rerumputan dan aku yang terbaring diatasnya. Aku telah melepas semuanya, ringan, tanpa beban. 

Fajar mulai merekah di ufuk timur ketika mataku terbuka, akhirnya aku tertidur lelap semalam. Gemericik air wudlu membangunkan kesadaranku. Membasuh seluruh kekotoran jiwa. Seusai menghadapNya, kulantun seuntai do'a, Tuhan aku memang bukan hambaMu yang sempurna, namun setidaknya masih kau terangi aku dengan cahaya kasihMu, sehingga tak buta mata hatiku, masih terdengar suara hati nurani di jiwaku dan aku mendengarkannya. meskipun mulutku tak mampu berucap, namun aku yakin Engkau Maha Tahu apa yang telah terjadi padaku, dan Engkau Maha Tahu apa yang menjadi keinginanku, dan aku yakin, pasti, KAU berikan yang terbaik untuk hidupku. Karena cita-citaku masih satu, mendukung tegaknya peradaban berdasar ilmuMU. Amin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar