Indonesia, negara ini sudah merdeka seumuran kakek-nenek. Untuk ukuran manusia, seharusnya kehidupan berjalan sudah tertata rapi, bukan mencari-cari bentuk cara mendidik generasi muda lagi. Namun sayangnya negara ini bak kakek nenek yang masih berdebat mengenai anak-anaknya yang sebenarnya sudah dewasa, tepatnya pada sistem pendidikan di negara ini. Kebijakan yang labil, setiap pergantian pemerintahan selalu berganti kurikulum dan sistem ujian, tidak ada tujuan yang jelas untuk mendapatkan apakah sebenarnya pendidikan yang berlangsung di negara ini.
Dan isu panas terakhir, yang telah dan masih berlangsung adalah mengenai ujian nasional. Hingga seorang teman menyebut ujian nasional adalah bencana tahunan bagi bangsa ini. Namun bukan ujian nasional yang akan kita bicarakan disini, tetapi mengenai fenomena cara menyikapi, menghadapi ujian oleh orang yg diuji maupun oleh orang-orang di sekitarnya.
Saya sebenarnya tidak terlalu mengerti, mengapa ujian nasional ini menjadi topik panas akhir-akhir ini, apakah soalnya sulit sekali sehingga tak mungkin dikerjakan anak-anak kita, ataukah hal apa yang membuatnya begitu heboh. Ketidaktahuan dan ditambah maraknnya pemberitaan dimedia massa dan elektronik yang cukup bombastis tak urung memicu saya untuk ikut dalam arus kebingungan dan kekhawatiran, risau dan galau. Apalagi saya harus tinggal di luar pulau, terpisah dengan anak-anak. Sempat sebelum anak saya menempuh ujian nasional, saya heboh meminta doa dari adik-adik, dan ibu saya, sehingga serta merta mereka berbondong-bondong mengunjungi anak saya yang akan menempuh ujian, sekedar untuk memberikan doa restu. Lalu pagi-pagi ketika bangun tidur, seketika saya teringat pada anak saya yang hendak ujian, "Dik, udah bangun? udah mau berangkat? jangan lupa sarapan, jaga kondisi tubuhmu, dan selalu berdoa" terbersit sedikit kekhawatiran dalam kata-kata saya. Diluar dugaan, anak saya mengangkat telpon dan menjawab, "Ibu tuh, gak usah bikin aku jadi panik gitu to, biasa aja buk." Kata-katanya lugas dan tertata, "duh, maaf dik, iya deh, met berjuang yaa.." Telpon ditutup, saya terdiam dan seketika pikiran saya terbuka, lebar. Sehingga seakan-akan semua cahaya masuk dan menerangi otak. Anak saya benar.
Teringat akan satu pelajaran yang pernah saya dapatkan, bahwa apa yang kita pikirkan itulah yang akan terjadi. Bila kekhawatiran yang ada di pikiran, kecemasan yang dirasakan, maka jangan salahkan siapapun, karena apa yg dipikirkan itulah yang akan terjadi. Kekhawatiran dan kecemasan yang berlebihan tak lain adalah persangkaan buruk yang kita buat terhadap sesuatu hal, "semua hal yang terjadi diluar adalah serupa dengan yang terjadi didalam diri manusia yaitu pikiran dan perasaannya" ( Charles Brodie Petterson, 1899 ). Kadangkala, pada ujian atau pada saat wawancara kerja yang akan kita tempuh, kita sibuk berdoa dan minta oranglain (ibu, ayah, saudara, teman) untuk mendoakan kita. Namun kita lupa, doa seperti apakah itu. Doa yang terucap, bisa jadi hanyalah ucapan dibibir saja namun jauh di dalam hati yang terpikirkan adalah kecemasan dan kekhawatiran. Kita perlu sangat waspada terhadap apa yang kita pikirkan, oleh karena pikiran dan perasaan kita esensinya adalah doa juga. Dalam buku Quantum Ikhlas (karya Erbe Sentanu), ada satu teori yang menyatakan bahwa, tanpa kecuali, apapun yang anda beri fokus perhatian dan memikirkannya, itu yang akan langsung hadir dalam hidup kita. Tentu saja bila kita fokus pada apa yg kita khawatirkan maka itu pulalah yang akan terjadi. "berdoalah kepada Allah dan yakinlah doa kalian dikabulkan", demikian sabda Nabi Muhammad SAW, dan Allah sendiri berfirman di dalam QS Al Baqarah 186 yg artinya, "... Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu". menarik dikaji disini adalah bahwa pada saat kita dilanda kecemasan, bisa jadi doa yang terucap lewat mulut tak sepenuhnya kita yakini, namun justru "doa" yang berupa kecemasan itulah yg lebih kuat memancar, maka wajar bila justru kekhawatiran itulah yang akan terwujud atau dikabulkan. Dari sini, jelaslah bahwa, kepanikan, kecemasan dan kekhawatiran terhadap apa yang akan terjadi sama sekali tidaklah baik.
Alangkah lebih baiknya, apabila pikiran dan perasaan negatif tersebut datang, segera hentikan dan segera sadarkan diri kita, bahwa dengan bantuan dari Allah segala hal yang lebih baik bisa terjadi. Yakin.
Kembali ke masalah ujian nasional, sebagai orangtua dari murid, yang mana kita notabene adalah rakyat jelata yang hanya bisa tunduk pada aturan yang dibuat pemerintah. Maka satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah membantu anak-anak kita agar bisa tenang menghadapinya, kirimkan energi cinta kita melalui doa-doa yang menguatkan, peluk jiwa anak-anak kita dengan harapan-harapan baik, dan penuh keyakinan bahwa dengan pertolongan Allah mereka akan bisa lulus dengan baik dalam ujiannya. Selamat mendampingi buah hati dengan penuh cinta, keyakinan dan rasa syukur pada Allah yang senantiasa memberikan pertolonganNYA. Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar