Senin, 28 Juli 2014

Idul Fithri, Menggemakan Takbir Sebagai Penyatuan Diri Pada Kesadaran Ajaran Ilahi

 Sudah menjadi tradisi turun temurun perayaan Hari Raya Idul Fitri setiap 1 Syawal yang diawali dengan kumandang takbir dimana-mana. Lalu dilanjutkan pada siang harinya sholat Id dan ritual maaf memaafkan. Semarak dan indah memang karena disana biasanya sanak keluarga yang terpisah-pisah bisa berkumpul dan saling berbagi cinta dan kerinduan. 

Sekilas pandang, perayaan Idu Fitri seakan adalah perayaan kebebasan setelah sebulan sebelumnya harus mengekang semua hawa nafsu dan keinginan. Namun, benarkah demikian ajaran yang sebenarnya?
Mungkin memang bisa jadi demikian bagi sebagian orang. Namun sebagian orang merasa sedih karena harus berpisah dengan ramadhan yang syahdu dimana mereka bisa lebih khusyuk beribadah, dan bagi sebagian orang lagi dirasakan, biasa saja, karena mereka menyadari semua adalah bagian dari rutinitas penggemblengan diri, yang memang bukan untuk dilakukan terus menerus karena apapun memang harus dilakukan sesuai porsinya.
Terlihat bahwa, dalam satu peristiwa, dipahami dengan cara yang berbeda-beda.

Alangkah lebih bijaksana, apabila seiring waktu yang berjalan, kita terus menggali pemahaman yang lebih dalam mengenai ajaran Allah yang sudah diberikan kepada kita sebagai way of life. Meskipun diri kita bukanlah pendakwah ataupun ahli agama, namun sudah jelas bahwa Sang Pencipta menghendaki setiap individu agar senantiasa belajar dan menuntut ilmu.

Penggemblengan itu diawali dengan Ramadhan. Ramadhan, yang dimaksudkan Allah sebagai sarana dalam bentuk satu periode yang kondusif untuk latihan pengendalian diri dan benar-benar menyerahkan semua hasil tindakan kita sehari-hari dalam rangka pengabdian pada Allah semata. Ramadhan adalah saran purification. Karena selama ramadhan jiwa kita diharapkan dibersihkan dari segala pikiran, perasaan dan emosi negatif yang mengotori diri kita, sehingga dengan bersihnya diri kita maka ajaran Allah yang suci dan bersih akan mampu menancap dalam kesadaran ruhani. Karena yang suci takkan mau masuk ketika diri kita penuh kekotoran. Hukum alam ini gelap dan terang tak bisa menyatu. Dan akhir ramadhan adalah puncak pemurnian diri yang diwarnai dengan gema takbir dimana-mana. Alangkah indahnya apabila takbir itu menggema dalam setiap kesadaran sel-sel kemanusiaan kita, satu malam yang benar-benar powerful, penuh dengan semangat baru untuk mengujudkan ajaran Allah dalam kehidupan sehari-hari, yang diawali pada 1 Syawal.

1 Syawal dikenal sebagai Hari Idul Fithri, yang dapat dipahami lebih dalam sebagai kembali kepada fitrah (Id : kembali, Fithri : ujud kehidupan menurut hakikat penciptaannya), fitrah disini tentunya fithtratallah, fitrah dari Allah yang menciptakan manusia), jadi Idul fitri adalah kembali kepada konsep awal, yaitu hidup sesuai kehendak Allah yang dapat dipahami melalui ajaran-Nya). Hal ini bisa dibaca pada QS Ar Ruum 30. Pembahasan lebih luas tentunya akan mencakup ajaran Allah yang mencakup konsep kehidupan untuk mengujudkan khasanah fidunnya, Jannah dalam kehidupan. Disitulah nantinya dapat terjawab mengapa zakat juga terkait dengan Idul fithri ini. Karena sistem zakat sebenarnya adalah bagian yang menyatu, yaitu sistem yang merupakan penyokong secara fisik untuk mengujudkan kehidupan indah yang saling tolong menolong dalam kesadaran Ilahiah.

Sudah saatnya umat muslim untuk move on, menggali lebih dalam makna Ramadhan dan Idul Fithri. Maaf memaafkan bisa kita lakukan setiap detik kehidupan. Jadikan itu bagian dari kesadaran diri untuk kebersihan jiwa kita dalam rangka pemahaman yang lebih besar yakni kesadaran bahwa, ajaran Allah tak mungkin menyatu dengan kesadaran diri manakala diri kita penuh dengan niat buruk, pikiran dan perkataan buruk  serta  tindakan yang negatif.

Selamat menempuh satu tahun kedepan dengan penuh kesadaran dan sampai jumpa pada Ramadhan berikutnya, Biarlah keselamatan dan berkat serta rahmat Allah tercurah bagi kita semua.


Jumat, 11 Juli 2014

Kemenangan Cinta

Rembulan beranjak penuh
Pendarnya memeluk erat ibu pertiwi
Pada suatu malam
Menjelang pertengahan ramadhan
Jiwa jiwa nan bercahaya
Tepekur dalam khusyuknya pengharapan agung
Kepada Sang Maha Kuasa
Memenuhi bumi dengan cinta-NYA
Bukanlah kidung merdu
Bukanlah gita membahana
Namun bisik lirih nurani yang menggelorakan kuasa cinta-Nya
Membasuh merah durjana angkara murka
Hingga memerah jambu cinta
Terurai haru 
Bersyukur 
Bersujud
Damai

Jumat, 04 Juli 2014

Suara Setetes Air untuk Indonesiaku

" Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri "

Sebuah kalimat yang datang bukan dari mulut seorang manusia, namun firman dari yang Maha Tinggi, Pencipta Alam Semesta. Tentunya itu bukanlah rangkaian kata tanpa makna, kalimat tersebut berlaku mengikat bagi semua ciptaan-Nya.

Menengok masa lalu bangsa ini, mestinya kita semua tahu, tanah air kita telah banyak merekam segala peristiwa. Negeri nan subur ini pernah menjadi bangsa yang makmur, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja. Namun selain itu jejak sejarah mencatat aneka pergolakan, pertumpahan darah, penjajahan, kemiskinan dan aneka penderitaan. Bila kita cermati, banyak sekali terjadi keonaran dan bahkan pertumpahan darah pada peralihan pemimpin pada kerajaan kerajaan di jaman dahulu kala.
Mau tak mau, tak dapat dipungkiri, semua yang telah terjadi itu mengukirkan pahatan-pahatan dalam alur sejarah. Rasanya pahatan penderitaan jauh lebih panjang daripada pahatan kebahagiaan. Derita tigaratus lima puluh tahun penjajahan rasanya belum sebanding dengan hampir tujuh puluh tahun negeri ini merdeka. Euphoria saat Bung Karno lantang memproklamasikan kemerdekaan bangsa kita, memang sempat mendidihkan semangat persatuan dan kesaatuan bangsa Indonesia. Namun itu tak lama, segera hanya terhitung tak sampai tiga dasawarsa, kembali terekam luka. Jejak jejak berdarah menjelang pergantian kekuasaan. Lalu kembali tiga dasawarsa dalam kedamaian semu, dan kembali aneka pergolakan silih berganti. Kepedihan, darah dan airmata rekaman perpecahan dan kekerasan sarat membebani masa lalu bangsa kita.

Bila satu persatu kita ditanya, tentu kita semua menjawab bahwa kita menginginkan negeri yang damai, tentram, aman dan sejahtera. Namun ironis, rasanya apa yang menjadi keinginan hanyalah sekadar keinginan. Tak berkesesuaian antara keinginan dan tindakan. Menginginkan damai, namun membiarkan ego pribadi melanggar hak orang lain. Itu yang sering terjadi. Semua ini harus diakhiri.

Sudah saatnya, bangsa ini mengubah dirinya, menjadi bangsa yang damai, bangsa yang bahagia. Tuhan sudah membebaskan kita untuk membentuk sendiri hidup kita, memberi hak untuk kita sendiri melakukan perubahan-perubahan, menciptakan hidup kita lebih baik. Bukan siapa presiden kita, sehingga kita bisa menjadi bangsa yang hebat, namun upaya dan kesadaran dari masing masing kita lah yang akan menghebatkan bangsa ini. Berawal dari mengubah masing masing diri menjadi lebih baik. Budi pekerti luhur itu masih ada bila kita mau menggali lagi, marilah. Kembali pada agama masing-masing namun bukan untuk menjadi terkotak kotak dan saling bergesekan, biarlah agama menjadi satu satunya ikatan, bahwa kita meniatkan hidup ini adalah pengabdian, salurat berkat dari Tuhan untuk kebahagiaan seluruh alam.

Meskipun ini hanyalah terdengar selintas lalu sebagai bunyi setetes air nun jauh dalam gua di bawah tanah, namun aku tetap berharap, suara setetes air ini menggema dan suatu saat mewujud seiring harapan semesta raya.

Salam cinta untuk Indonesia yang damai dan berbahagia