Minggu, 15 Januari 2012

Ikhlas was Light On

"Ajari aku tentang tidak melekat, tentang melepaskan sesuatu yang begitu dalam tertancap, " Pintaku pada seorang sahabat. "Pada hakekatnya setiap manusia pasti mudah lekat. Namun, kelekatan itu adanya di perasaan, cobalah renungkan sungguh-sungguh, apakah dengan terlepas dari yang membuatmu lekat itu akan membuatmu mati? Apakah jika kita tidak menjadi bagian hidupnya kemudian menjadikan nilai kemanusiaan kita jadi berkurang? Tidak sahabatku," Katanya, " Melepas itu mencintai sampai terluka demi kebahagiaan orang lain, dan kita akan menemukan kebahagiaan tersendiri ketika melakukan itu" Lanjutnya. 

Ketika sahabatku berbicara padaku masih berontak dalam hatiku, otakku bergejolak, mungkin bila dilihat dalam grafik Elektro Kardio Graf (EKG) dan Elektro EnsefaloGraf (EEG) akan terlihat seperti grafik seismograf waktu terjadi gempa 9 skala richter, ruwet. Aku jalani hari-hari yang penuh dengan perang batin, perang dalam pikiran. Lelah sekali rasanya, tapi aku seperti orang kecanduan, masih juga aku jalani keruwetan-keruwetan itu. Berputar-putar dalam keruwetan tanpa akhir.

Beruntungnya aku, Tuhan masih memberikan aku naluri untuk kembali pada akal budi, eling. Aku merasa di titik terendah kemanusiaan, karena telah menghujat takdir. Terpuruk dalam sujud panjang, "Tuhan hamba sowan, ampuni hamba...". Usaha tak cukup berhenti pada doa, aku harus memperbaiki pikiran dan jiwaku. Aku kumpulkan buku-buku tentang ilmu Ikhlas, Hukum tarik menarik, dan cara-cara meng upgrade otak dan DNA. Bagaimanapun sel sel otak harus di rekonstruksi supaya tidak dikendalikan ego. "Medan perang terbesar adalah otak" kata buku Quantum Ikhlas, ya benar. Pada saat pikiran terasa cemas atau marah, saat itu otak kiri dan kanan tidak harmonis, sehingga perasaan hati menjadi kacau. Pekerjaan berantakan karena sulit berkonsentrasi. Lalu, bila memang demikian adanya untuk apa aku biarkan berkepanjangan, hal ini akan merusak hidup dan kehidupanku dan orang-orang di sekitarku. Aku harus bisa mengatasi ini semua. Aku harus bisa sampai pada satu titik itu, dan menekan tombol "on", ikhlas was light on. 

Aku tersenyum, lepas semua beban yang menghimpit. Melepas justru menjadikanku lebih berharga dan bersinar. Terkadang kita harus terluka untuk keselamatan dunia ini. Bila kita bisa menerima sakitnya, akan menjadi berkat buat kita, dan Tuhan punya hitunganNYA tersendiri atas rasa sakit dan pengorbanan kita. Tak ada yang sia sia dimata Tuhan. Namun bila kita tidak terima atas semua sakit, yang adanya hanyalah rasa sakit itu sendiri. Dalam pasrah sujud malam, aku menemukan makna ikhlas melepaskan, bukan hilang, hanya tidak lekat, dan bila Tuhan mengijinkan pasti akan datang waktunya utk bisa bersama lagi. InsyaAllah.


Terimakasih utk sahabat dan buku-buku yang mengispirasi dan membantu menemukan tombol ikhlas. 
and of course, thanks to Allah for give me a wonderful life, alhamdulillaah

1 komentar: