Selasa, 15 Oktober 2013

The Walkthrough

Kehidupan manusia adalah sebuah perjalanan. Stasiun awal pemberangkatan adalah proses penciptaan dan stasiun akhir adalan kematian dan kembali kepada Tuhan. Dalam Al Qur'an, dituliskan bahwa manusia dititahkanNYA untuk menjadi khalifah di muka bumi. Menjadi khalifah berarti menjadi panutan bagi semua makhluk dalam membangun satu sistem kehidupan yang  baik yang saling mendukung, saling mensupport bukan kehidupan yang menguasai satu  diatas yang lain, saling merugikan. Untuk mewujudkan hal tersebut, Tuhan membekali manusia dalam setiap periode kehidupan dengan hand out yang biasa disebut Kitab Suci. Hand out ini berfungsi sebagai petunjuk-petunjuk tatacara untuk menegakkan satu kehidupan yang tertata baik, dalam bahasa anak muda ibarat sebuah permainan game, untuk menyelesaikan permainan dengan baik atau memenangi game tersebut maka seseorang butuh "walkthrough"

Adalah salah kaprah penyucian yang cukup meluas di kalangan masyarakat,sehingga banyak kalangan menganggap kitab suci adalah kitab yang harus disucikan secara fisik saja, dalam artian, letaknya harus selalu diatas, tidak boleh dilangkahi, dibaca pada saat saat tertentu sebagai penawar galau, sebagai hiasan satu pengajian, dibaca bak mantra disaat seseorang menjelang ajal. Kitab suci menjadi suci, bukan karena kertasnya, menjadikan suci adalah karena apa yang dikandungnya adalah petunjuk kehidupan yang tak patut diabaikan, mengabaikan kandungannya apalagi dengan sengaja melawan apa yang menjadi ketentuan informasi didalamnya itulah penghinaan terhadap kitab suci yang sesungguhnya. Kandungan informasi yang terkandung dalam sebuah kitab suci itulah yang membedakan sebuah kitab suci dengan buku karangan manusia biasa. Karena disitu meliputi segala bentuk informasi yang bila dilaksanakan dengan benar akan membawa manusia dalam tataran kehidupan yang indah dan agung, yang akan membedakan kemuliaan manusia dibanding dengan makhluk lain.

Tantangan kita sebagai manusia adalah menyerap informasi yang tertulis dalam kitab suci, menjadikan teori di dalamnya  masuk ke dalam ranah pemahaman pikiran dan selanjutnya mampu mewujudkannya kedalam kesadaran diri,sehingga setiap tindakan yang dilakukan adalah berdasar ajaran Tuhan. Hal ini tentunya memerlukan kesabaran. Apalagi informasi yang terkandung dalam kitab suci tak bisa langsung kita serap, mengingat kitab suci diturunkan menggunakan bahasa asing,  masih harus diterjemahkan dalam bahasa kita sehari-hari. Namun saya yakin dengan niat yang tulus dan kesabaran, suatu saat siapapun yang benar-benar berusaha akan dapat menjadikan segala tindakannya adalah ayat Tuhan yang mewujud dalam kehidupan. Selamat berjuang. Barakallahu.


Jumat, 17 Mei 2013

Dalam Genggaman Cahaya

Di sebuah sumur tua, dengan kejernihan air yang mampu memantulkan cahaya wajahku. Aku pandangi dengan cermat, dan kudapati gambaran saat diriku dalam satu keterpurukan yang dalam, terendam dalam lumpur kekotoran yang teramat sangat. Jiwaku dekil dan gelap oleh kekecewaan, kesedihan dan kemarahan yang membalut erat. Aku terlempar kedalam lorong gelap, jauh dari kesadaran. Bahagia semu, tawa semu, kehidupan semu. Sejatinya semua adalah gelap. 


Harus terhempas oleh kegagalan, harus mengalami luka menganga tuk sadar bahwa aku butuh cahaya.

Aku berkelana, mencari pelita yang bisa menerangi jiwaku. Dari satu pelita ke pelita yang lain, berharap bisa hadir selalu terangnya. Namun kudapati adalah lilin-lilin yang hanya mampu menyala sekejap, itupun segera meredup manakala terbentur angin masalah. Bagaimana aku mampu membawa lilin ini ke kedalaman jiwaku? bagaimana aku mampu membawa lilin ini berlayar di perahuku yang senantiasa bertemu badai? Bukan tak berguna, titik titik pelita ini setidaknya mampu menerangi walaupun dalam temaram dan sekejap, sehingga aku tak benar-benar gelap. Aku tak tahu, aku hanya berjalan mengikuti irama kehidupan, pasrah pada Sang Pencipta atas jalan mana yang harus aku hanyuti.

Sebuah mimpi besar adalah ketika aku mampu menerima cahaya itu, menyerap dan memantulkannya. Tapi dimana kan kudapatkan? Sebatas angan, aku hanya mampu mengguratkan dalam sebaris pesan untuk diriku sendiri, tiga tahun yang lalu. "Menuju Cahaya". "Sebuah perjalanan melewati pilihan hidup, sadarkan selalu kakimu manakala menapakinya, dari kegelapan menuju cahaya Ilahi". Aku menggumamkan sebaris kata, tanpa pernah tahu apa maknanya. Sekilas saja teringat dari waktu kecilku, ketika aku mendengar percakapan orang-orang dewasa, mereka mengatakan Sang Maha Kuasa ada cahaya diatas cahaya. CahayaNYA itulah yang aku butuhkan, cahayaNYA tak mungkin redup oleh angin sekeras apapun, oleh air sederas apapun.Cahaya yang mampu membuat segalanya menjadi ada dan nampak. Maha Cahaya.

Sebuah kebahagiaan adalah ketika apa yang kau impikan menjadi kenyataan. Manakala pintu pengetahuan dibuka lebar,  disanalah cahaya itu. Namun jangankan menghadirkan cahaya itu ke dalam jiwa, menjamahnya bahkan memandanginyapun aku belum mampu. Cahaya itu terlampau terang benderang, sehingga aku tak sadar bahwa aku sudah memandanginya, mataku dibutakan oleh silaunya. Cahaya itu ada disekitarku, namun  aku tak mampu menghadirkannya kedalam jiwaku. Jiwaku bagaikan selubung gelap dan cahaya itu tak mau menembusku, menerangi jiwaku. Seorang berkata, "kamu harus mengerti cara menerjemahkan buku panduan cahaya untuk bisa memandangnya dan menggunakannya," "tak mudah memang, namun pasti bisa, asal dengan kemauan sekeras baja".


Bagi yang mencari, maka akan menemukannya. Seorang guru bijaksana berkata, "bersihkan jiwamu, maka cahaya akan hadir dan menerangi kegelapan.." Terimakasih guru, karena sudah memantulkan cahayaNYA untukku, semoga lebih mudah bagiku mengerti dan menghadirkan cahayaNYA dalam kehidupan.

Terimakasih Tuhanku, Maha Cahaya ku....



Minggu, 28 April 2013

Life of Pi, the Story is Yours

Melihat film ini, di awal mungkin kurang menarik, karena sekilas  nampak seperti film anak-anak atau seperti acara fauna di televisi. Tapi dengan kesabaran dan konsentrasi penuh, maka, ada sesuatu yang beda yang bisa kita dapatkan. 

Cerita dimulai dengan setting di Kanada ketika seorang penulis novel yang menginginkan sebuah cerita "hebat", mendatangi seorang imigran India bernama Piscine Molitor Patel, yang berhasil bertahan hidup setelah sekian lama terombang-ambing di Samudera Pasifik akibat badai yang menenggelamkan kapal yang ditumpangi bersama keluarganya. 

Hal pertama yang membuka serangkaian cerita adalah pertanyaan si penulis novel  mengenai arti dari nama Piscine Molitor, alkisah nama itu didapat dari orangtuanya yang terinspirasi pada cerita Mamaji (kerabat yang merekomendasikan Patel pada penulis novel) tentang sebuah kolam renang terbaik di Perancis. Boleh jadi orangtuanya ingin anaknya seindah kolam renang itu, namun ternyata di bangku sekolah, teman-teman bahkan gurunya berpikiran lain, mereka memberikan 'terjemahan" tersendiri untuk namanya tersebut, yaitu  sebagai "piss" yang berarti pipis atau kencing atau urine. Karena kesal menjadi bahan olok-olok, Piscine kecil memiliki "terjemahan" tersendiri untuk namanya, dalamsetiap kesempatan dia selalu menjelaskan bahwa namanya berasal dari abjad yunani kuno 'pi" yang merupakan konstanta dari perbandingan antara keliling dengan diameter dari sebuah lingkaran, yang bernilai 3,14 sekian sekian sekian tak berhingga. 

Piscine dibesarkan oleh orangtua yang berpikiran "modern", secara tradisi mereka beragama Hindu, namun ayah dan ibunya tak pernah mengekang Pi kecil untuk mengetahui agama-agama lain. Di rumah, oleh ibunya,  Pi dikenalkan dengan ribuan dewa dan terutama Kresna sebagai Tuhan yang menguasai alam semesta, dimana alam semesta yang tak terhingga ini hanyalah sebatas ada di mulut Kresna saja. Menginjak usia 12 tahun, Pi mulai berkenalan dengan Gereja Katolik dan melalui pastor gereja, dia mengenal Jesus, yang menurut pastor dia adalah sebagai wujud Tuhan yang menebus semua penderitaan dan dosa manusia dengan kasihsayangnya yang tak terbatas, mengasihi orang lain bahkan yang telah membuatnya menderita. Pi kecil mencoba memahami semua ini. Perkenalannya dengan Tuhan berlanjut, dikisahkan Pi berkenalan dengan ajaran Islam, yang mengajarkan kepasrahan total seorang hamba kepada penciptanya, Pi kecilpun menjalankan shalat seperti yang diajarkan melalui ajaran Islam. Pi kecil menyatakan bahwa dengan shalat dia merasakan suatu ketenangan. Akhirnya pada saat mereka sekeluarga berdiskusi, ayah Pi menegurnya dan mengatakan bahwa Pi harus memilih salahsatu dari tiga agama yang dikenalnya, namun Pi belum mampu memilih, semua dia ambil dan tercampur aduk.

Petualangan Pi kecil berubah total, dari sekadar teori-teori, baik berupa ajaran berbagai agama maupun pelajaran hidup yang diberikan oleh ayah ibunya dan Mamaji menuju pada praktek langsung di alam, bagaimana Pi bertahan hidup dengan teori-teori itu dan "perkenalannya" dengan kuasa Tuhan. Dimulai dari kebangkrutan ayahnya hingga ayahnya memutuskan untuk bermigrasi ke Kanada, namun malang, dalam perjalanan kapal yang mereka tumpangi dihantam badai dan tenggelam, tinggal tersisa Pi dengan seekor zebra yang terluka, seekor simpanse, hyena dan harimau Bengali yang buas, terombang-ambing dalam satu sampan di tengah luasnya samudera pasifik, yang sewaktu-waktu memunculkan keganasan tersendiri. Hari demi hari, akhirnya hanya yang kuat yang bisa bertahan hidup, zebra dan simpanse mati oleh hyena dan hyena mati oleh harimau (yang diberi nama Richard Parker). Atas ijin Tuhanlah akhirnya Pi sanggup menggunakan kecerdasan akalnya untuk bertahan hidup dan atas semangat dan kepasrahannya pada Tuhan, dia sanggup tabah menerima nasibnya. 

Kehidupan yang ganas di samudera, tanpa manusia sama sekali justru membawa sebuah kesadaran tersendiri pada Pi akan keberadaan Tuhan. Kehidupan yang tanpa manusia semakin mengasah kasihsayangnya sebagai manusia yang merupakan pemimpin bagi makhluk lainnya.

Petualangannya berakhir dengan terdamparnya sekoci yang dinaiki Pi dan Richard Parker di Mexico, Pi diselamatkan. Namun secara psikis cobaan Pi sebagai manusia masih diuji, yaitu manakala, dua orang agen asuransi dari jepang mendatanginya dan menginginkan Pi bercerita bukan berdasarkan kenyataan yang terjadi yang dialami Pi, karena dianggap cerita tersebut tak bisa diterima. Pi diminta bercerita dalam versi yang bisa diterima (dalam hal ini oleh perusahaan asuransi). Akhirnya Pi pun membuat cerita yang berbeda, Pi menerjemahkan petualangannya dalam versi yang lain. Dia menggambarkan dengan alur yang sama namun oleh pelaku yang berbeda. Akhirnya ada dua cerita yang ditawarkan Pi, dimana tak pernah ada orang lain yang tahu yang manakah yang benar-benar terjadi, kecuali Pi dan Tuhan yang tahu. 

Cerita ini berujung dengan pertanyaan Pi pada penulis novel itu, "cerita manakah yang lebih kamu sukai?" dan penulis novel itupun memilih cerita yang pertama. Pi menjawab, "begitupun dengan cerita tentang Tuhan" Pi tersenyum penuh arti. Dan akhirnya Pi menyerahkan cerita ini sepenuhnya pada penulis novel itu sambil mengatakan, "terserah dirimu, sekarang cerita ini sudah menjadi milikmu".

Minggu, 21 April 2013

Persembahan Cinta untuk Ayah dan Bunda

Indonesia, negara ini sudah merdeka seumuran kakek-nenek. Untuk ukuran manusia, seharusnya kehidupan berjalan sudah tertata rapi, bukan mencari-cari bentuk cara mendidik generasi muda lagi. Namun sayangnya negara ini bak kakek nenek yang masih berdebat mengenai anak-anaknya yang sebenarnya sudah dewasa, tepatnya pada sistem pendidikan di negara ini. Kebijakan yang labil, setiap pergantian pemerintahan selalu berganti kurikulum dan sistem ujian,  tidak ada tujuan yang jelas untuk mendapatkan apakah sebenarnya pendidikan yang berlangsung di negara ini.
Dan isu panas terakhir, yang telah dan masih berlangsung adalah mengenai ujian nasional. Hingga seorang teman menyebut ujian nasional adalah bencana tahunan bagi bangsa ini. Namun bukan ujian nasional yang akan kita bicarakan disini, tetapi mengenai fenomena cara menyikapi, menghadapi ujian oleh orang yg diuji maupun oleh orang-orang di sekitarnya.

Saya sebenarnya tidak terlalu mengerti, mengapa ujian nasional ini menjadi topik panas akhir-akhir ini, apakah soalnya sulit sekali sehingga tak mungkin dikerjakan anak-anak kita, ataukah hal apa yang membuatnya begitu heboh. Ketidaktahuan dan ditambah maraknnya pemberitaan dimedia massa dan elektronik yang cukup bombastis tak urung memicu saya untuk ikut dalam arus kebingungan dan kekhawatiran, risau dan galau. Apalagi saya harus tinggal di luar pulau, terpisah dengan anak-anak. Sempat sebelum anak saya menempuh ujian nasional, saya heboh meminta doa dari adik-adik, dan ibu saya, sehingga serta merta mereka berbondong-bondong mengunjungi anak saya yang akan menempuh ujian, sekedar untuk memberikan doa restu. Lalu pagi-pagi ketika bangun tidur, seketika saya teringat pada anak saya yang hendak ujian, "Dik, udah bangun? udah mau berangkat? jangan lupa sarapan, jaga kondisi tubuhmu, dan selalu berdoa" terbersit sedikit kekhawatiran dalam kata-kata saya. Diluar dugaan, anak saya mengangkat telpon dan menjawab, "Ibu tuh, gak usah bikin aku jadi panik gitu to, biasa aja buk." Kata-katanya lugas dan tertata, "duh, maaf dik, iya deh, met berjuang yaa.." Telpon ditutup, saya terdiam dan seketika pikiran saya terbuka, lebar. Sehingga seakan-akan semua cahaya masuk dan menerangi otak. Anak saya benar. 

Teringat akan satu pelajaran yang pernah saya dapatkan, bahwa apa yang kita pikirkan itulah yang akan terjadi. Bila kekhawatiran yang ada di pikiran, kecemasan yang dirasakan, maka jangan salahkan siapapun, karena apa yg dipikirkan itulah yang akan terjadi. Kekhawatiran dan kecemasan yang berlebihan tak lain adalah persangkaan buruk yang kita buat terhadap sesuatu hal, "semua hal yang terjadi diluar adalah serupa dengan yang terjadi didalam diri manusia yaitu pikiran dan perasaannya" ( Charles Brodie Petterson, 1899 ). Kadangkala, pada ujian atau pada saat wawancara kerja yang akan kita tempuh, kita sibuk berdoa dan minta oranglain (ibu, ayah, saudara, teman) untuk mendoakan kita. Namun kita lupa, doa seperti apakah itu. Doa yang terucap, bisa jadi hanyalah ucapan dibibir saja namun jauh di dalam hati yang terpikirkan adalah kecemasan dan kekhawatiran. Kita perlu sangat waspada terhadap apa yang kita pikirkan, oleh karena pikiran dan perasaan kita esensinya adalah doa juga. Dalam buku Quantum Ikhlas (karya Erbe Sentanu),  ada satu teori yang menyatakan bahwa, tanpa kecuali, apapun yang anda beri fokus perhatian dan memikirkannya, itu yang akan langsung hadir dalam hidup kita. Tentu saja bila kita fokus pada apa yg kita khawatirkan maka itu pulalah yang akan terjadi. "berdoalah kepada Allah dan yakinlah doa kalian dikabulkan", demikian sabda Nabi Muhammad SAW, dan Allah sendiri berfirman di dalam QS Al Baqarah 186 yg artinya, "... Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu". menarik dikaji disini adalah bahwa pada saat kita dilanda kecemasan, bisa jadi doa yang terucap lewat mulut tak sepenuhnya kita yakini, namun justru "doa" yang berupa kecemasan itulah yg lebih kuat memancar, maka wajar bila justru kekhawatiran itulah yang akan terwujud atau dikabulkan. Dari sini, jelaslah bahwa, kepanikan, kecemasan dan kekhawatiran terhadap apa yang akan terjadi sama sekali tidaklah baik.

Alangkah lebih baiknya, apabila pikiran dan perasaan negatif tersebut datang, segera hentikan dan segera sadarkan diri kita, bahwa dengan bantuan dari Allah segala hal yang lebih baik bisa terjadi. Yakin. 

Kembali ke masalah ujian nasional, sebagai orangtua dari murid, yang mana kita notabene adalah rakyat jelata yang hanya bisa tunduk pada aturan yang dibuat pemerintah. Maka satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah membantu anak-anak kita agar bisa tenang menghadapinya, kirimkan energi cinta kita melalui doa-doa yang menguatkan, peluk jiwa anak-anak kita dengan harapan-harapan baik, dan penuh keyakinan bahwa dengan pertolongan Allah mereka akan bisa lulus dengan baik dalam ujiannya. Selamat mendampingi buah hati dengan penuh cinta, keyakinan dan rasa syukur pada Allah yang senantiasa memberikan pertolonganNYA. Bismillaahirrahmaanirrahiim. 



Kamis, 04 April 2013

Kisah Bakteri Manusia dan Bumi

Alkisah tubuh manusia adalah satu alam tersendiri bagi kehidupan bakteri. Tubuh bagi bakteri adalah tempat melangsungkan aktivitas dan perkembangbiakannya. Jumlah mereka sangatlah banyak, bahkan konon banyaknya di dalam tubuh manusia jumlahnya melebihi jumlah sel satu tubuh manusia. Sekian banyak bakteri ini bila dilihat dari segi kepentingan manusianya, maka dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu bakteri yang keberadaannya dalam tubuh menguntungkan inangnya, dalam artian, keberadaan dan aktivitas bakteri ini bisa meningkatkan kualitas kesehatan inangnya, yakni manusia, sehingga bakteri golongan ini oleh manusia  dinamakan "bakteri baik". Lalu yang sebagian lagi adalah bakteri yang keberadaannya menimbulkan efek buruk atau gangguan pada tubuh manusia, sehingga bakteri golongan ini dijuluki "bakteri jahat". Baik bakteri jahat maupun bakteri baik keberadaan mereka dalam tubuh tak bisa dicegah keberadaannya, mungkin Tuhan memang sudah menitahkan demikian untuk satu alasan. Yang jelas, keberadaan mereka baik yang disebut "jahat" maupun "baik" menurut penelitian para pakar, dibutuhkan oleh tubuh manusia, antara lain, sebagai sumber penghasil vitamin seperti biotin dan vitamin K, juga untuk membantu proses pencernaan makanan, seperti membantu terjadinya pembusukan makanan yang sudah tidak diperlukan agar bisa dibuang keluar dari tubuh. Selanjutnya yang perlu diperhatikan kaitannya dengan efeknya pada tubuh manusia adalah mengenai perbandingan jumlah keberadaan mereka, yaitu, apabila jumlah bakteri baik lebih banyak daripada jumlah bakteri buruk, maka kesehatan manusia akan berada dalam kondisi yang baik. Dan sebaliknya, apabila bakteri jahat lebih banyak dari pada bakteri baik, maka kesehatan manusia dimana mereka bersarang akan terganggu. Dan bakteri ini terkadang baik dan buruknya juga tergantung pada manusia juga. Misalnya, menurut para bakteri dan jasad renik yang hidup di permukaan kulit, dengan nama keren Staphylococcus aureus, mereka berfungsi sebagai penyerang penyusup apabila kondisi tubuh manusia sedang fit, namun apabila kondisi kekebalan tubuh menurun, bakteri ini akan berbalik menyerang manusia. 

Mempelajari mereka bisa jadi membosankan bila hanya disikapi sebatas membaca literatur biologi saja. Namun apabila kita mau mengkaji lebih jauh, kita bisa menganalogikan keberadaan bakteri ini dengan keberadaan manusia di bumi ini. Umpamakan bumi adalah tubuh, dan manusia yang hidup didalamnya adalah bakteri. Mirip dengan panggung kehidupan manusia, bahwasanya, kehidupan manusia dan bakteri memiliki satu persamaan, dimana ada kategori "baik" dan "jahat". Manusia pun akan dikategorikan baik, apabila sepanjang aktivitasnya dalam berkehidupan membawa dampak yang baik bagi alam, dan akan dikategorikan jahat apabila aktivitas yang dilakukan membawa kerusakan. Apabila manusia baik jumlahnya jauh lebih banyak daripada manusia jahat, maka bumi ini akan terjaga kelestariannya, dan sebaliknya apabila manusia yang jahat jumlahnya jauh lebih banyak daripada manusia yang baik, maka kebinasaanlah bagi semua. 

Namun, lebih dalam lagi dari sekedar itu, marilah kita cermati, seperti halnya bakteri, bahwa yang dikatakan jahatpun memiliki fungsi dalam kehidupan inangnya, Manusiapun demikian adanya, dengan adanya manusia yang berperilaku tidak baik, maka disitulah tempat kita mendapatkkan tempat untuk berbuat baik yang lebih dalam lagi, disitulah ujian bagi kita, mampukah kita berbuat baik pada orang yang jahat pada kita, dengan kata lain dialah sarana kita bertumbuh secara jiwa. Dan juga seperti halnya koloni Staphylococcus aureus, ada juga golongan manusia yang apabila dalam kondisi kecukupan maka mereka adalah orang-orang yang baik, namun begitu diuji dengan kekurangan atau ibaratnya bumi tak menghasilkan panen bagi mereka, maka mereka berbalik menjadi manusia jahat yang membawa kerusakan. 

Belajar dari kehidupan bakteri, kita manusia yang dipercaya menggunakan tubuh ini untuk hidup, tentunya tak pernah menginginkan adanya kerusakan pada tubuh kita oleh karena keberadaan bakteri jahat yang melebihi semestinya, karenanya di alam ini sebagai manusia mari kita mengusahakan diri kita masing-masing  untuk bisa menjadi manusia baik, agar lebih banyak lagi manusia baik, sehingga bumi ini terhindar dari kerusakan.

Segala puji bagi Allah, yang telah membuat segalanya begitu indah, sempurna dan berimbang. 

Minggu, 24 Maret 2013

Karen Armstrong, Masa Depan Tuhan

Cuplikan tulisan Karen Armstong pada bukunya, Masa Depan Tuhan bab yang diberi judul Iman, halaman 171-190. Sebagai tambahan wawasan, betapa sangatlah tidak mudah untuk mendapatkan padanan kata yang tepat untuk menerjemahkan satu kata dari bahasa yang berbeda. Apalagi untuk menggambarkan pesan yang terkandung dalam suatu kata, dan apabila kata yang hendak diterjemahkan ini menyangkut pesan dari Tuhan, yang diterjemahkan secara kurang tepat, maka dampaknya sungguh langsung mewujud dalam kehidupan.

Kata yang diterjemahkan menjadi "iman" dalam Perjanjian Baru adalah kata bahasa Yunani pistis (bentuk verbal : pisteuo), yang berarti "kepercayaan; kesetiaan; keterlibatan; komitmen" (Ini telah dijelajahi secara luas oleh Wilfred Cantwel Smith dalan Belief and History serta Faith and Belief). Yesus tidak meminta orang untuk "percaya" pada keilahiannya, karena dia tidak membuat klaim yang seperti itu. Dia meminta komitmen. Dia ingin murid-murid yang akan terlibat dengan misinya, memberikan semua yang mereka miliki kepada orang miskin, memberi makan orang yang lapar, menolak untuk terhalangi oleh ikatan keluarga, meninggalkan kesombongan mereka, mengesampingkan kepentingan diri dan rasa berhak mereka, hidup seperti burung-burung di udara dan bunga bakung di padang rumput, dan percaya kepada Allah yang adalah ayah mereka.

Ketika Perjanjian Baru diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Latin oleh St Jerome (kl. 342-420), pistis menjadi fides ("kesetiaan"). Fides tidak memiliki bentuk verbal, sehingga untuk pisteuo, Jerome menggunakan kata kerja latin credo, sebuah kata yang berasal dari cor do ; "aku berikan hatiku". Dia tidak terpikir untuk mengggunakan kata opinor ("aku memegang pendapat"). Ketika Alkitab diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, credo dan pisteuo menjadi "I believe" dalam versi King James (1611). Tetapi kata "belief" sejak itu telah berubah makna. Di Inggris abad pertengahan, bileven berarti"menghargai; mementingkan; menyayangi". Jadi "belief" aslinya berarti "kesetiaan pada satu orang yang kepadanya seseorang terikat dalam janji atau tugas"

Sebagaimana yang dijelaskan Theodore, Uskup dari Mopsuestia di Kilikia dari 392-428, kepada katekumennya : 
Ketika engkau mengatakan "pisteuo" ("aku mengikatkan diriku") di hadapan Tuhan, engkau menunjukkan bahwa dirimu akan tetap teguh bersamanya, bahwa engkau tidak dapat memisahkan diri darinya dan bahwa engkau akan memandangnya lebih tinggi dari apapun yang lain dan hidup dengannya serta membawa dirimu dalam cara yang selaras dengan perintah-Nya (Theodore, Ad Baptizados, Homily 13: 14, dalam Wilfred Cantwell Smith, Faith and Belief, h. 25)
"Kepercayaan" (belief) dalam pengertian modern kita tidak masuk didalamnya. Meskipun Theodore adalah pendukung terkemuka penafsiran harfiah yang dipraktikkan di Antiokha, dia tidak meminta kepada para kandidatnya untuk "memercayai" doktrin "misterius" manapun. Iman adalah murni masalah komitmen dan hidup praktis.

Ini juga berlaku pada monoteisme ketiga, yang baru akan muncul pada tahun awal abad ke-7. Pada 610 M, Muhammad ibn Abdullah (560-632), seorang pedagang dari Makkah, kota komersial yang ramai di HIjaz Arab, mulai menerima wahyu yang diyakini berasal dari Allahnya orang Yahudi dan Kristen. Pesan-pesan Illahi ini akhirnya dikumpulkan bersama dalam kitab suci yang dikenal dengan nama Al Qur'an, "Bacaan", dan teks ini dirampungkan hanya dua puluh tahun setelah wafatnya Nabi. Agama Al Qur'an akan dikenal sebagai Islam, sebuah kata yang berarti "penyerahan diri" kepada Allah, dan didasarkan pada prinsip-prinsip dasar yang sama seperti kedua tradisi monoteistik lain.

Al Qur'an tidak memiliki ketertarikan pada soal "keyakinan"; bahkan konsep ini sangat asing bagi Islam (Wilfred Cantwell Smith, Faith and Belief, hh 37-47). Spekulasi teologis yang menghasilkan perumusan doktrin-doktrin yang muskil ditolak sebagai zhannah, prasangka sekehendak hati tentang hal-hal yang yang tak dapat dibuktikan siapapun dengan satu atau lain cara, tetapi membuat orang suka bertengkar dan bersikap sektarian secara bodoh (Al Qur'an 3 : 64-68; 10 :36; 41: 23). Seperti semua agama atau philosophia lain, Islam adalah cara hidup (din). Pesan fundamental Al Qur'an ini bukanlah sebuah doktrin, melainkan seruan untuk mengungkapkan kasih sayang dalam amal perbuatan : menumpuk kekayaan tidaklah baik dan yang baik adalah berbagi kekayaan secara merata dan menciptakan masyarakat yang adil dimana orang miskin dan lemah diperlakukan dengan hormat (Al Qur'an  92: 18; 9:103; 63 :9; 102 :1)

 Lima "pilar" Islam adalah miqra , panggilan untuk kegiatan khusus : shalat, puasa, bersedekah, dan haji. Hal ini juga berlaku untuk "pilar" yang pertama, yakni pernyataan iman : "aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan lain kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-NYA." Ini bukan sebuah "kredo" dalam pengertian barat modern; seorang muslim yang mengucapkan syahadat ini "bersaksi' dalam hidupnya dan dalam setiap tindakannya bahwa prioritas utamanya adalah Allah dan bahwa tidak ada "allah-allah" lain-termasuk politik, materi, ekonomi, dan ambisi pribadi-yang dapat lebih diutamakan komitmennya kepada Allah semata. Dalam Al Qur'an iman adalah perbuatan yang dilakukan orang : mereka berbagi kekayaan mereka, mengerjakan "amal yang adil" (shalihat), dan menundukkan tubuh mereka ke tanah melalui tindakan kenosis yang menipiskan ego (shalat). (Al Qur'an 90 : 13-20)

Dalam Qur'an, orang yang menentang Islam ketika Muhammad mulai berdakwah di Makkah disebut kafirun.  Terjemahannya biasanya sangat menyesatkan : kata tersebut tidak berarti "orang yang tidak percaya" atau "orang yang tidak setia" ; akar kata KFR berarti "terang terangan tidak tahu berterimakasih", penolakan yang angkuh dan tidak sopan terhadap sesuatu yang ditawarkan dengan sangat baik. (Izutsu, Ethico-Religious Concepts in Th Qur'an, hh 127-57). Mereka dikutuk bukan karena "tidak percaya" melainkan karena sikap kasar dan ofensif mereka kepada orang lain, keangkuhan mereka, merasa diri penting, sovinisme dan ketidakmampuan untuk menerima kritik. (Al Qur'an 7:75-6; 39 :59; 31:17-18; 23: 45-7; 38: 71-5). Kafirun tidak pernah memberikan pertimbangan serius pada sebuah ide yang baru bagi mereka, karena mereka pikir mereka sudah tahu segalanya. Oleh karena itu mereka mengejek Al Qur'an, merebut setiap kesempatan untuk menampilkan kepandaian mereka sendiri (Al Qur'an 15: 94-6; 21:36; 18:108; 40:4-5; 68: 51; 22: 8-9).