Senin, 02 Januari 2012

Espresso

Sudah lewat tengah malam ketika kau menelfonku,   "temeni aku ngopi ya..."  "aku jemput sekarang".  Tak lama, kau sudah didepan gerbang. Lengang jalanan kota Yogyakarta malam itu, setelah malam sebelumnya hiruk pikuk orang-orang merayakan saat-saat pergantian tahun. Kau pacu mobil dengan mengikuti irama jiwamu. Aku tahu kau kalut. Sejurus kau kemudikan pelan, sejurus kemudian kau injak pedal gas dalam-dalam.  Tak sepatah katapun terucap dari mulutku. Begitu sulit mulut ini terbuka, pun ketika kau menanyakan, aku memilih kedai kopi yang mana. "Terserah kamu" cuma itu yang terucap. Kaupun terdiam. Aku tahu kau menyimpan kegalauan yang sangat. Namun malam itu hatiku sekeras batu, rasa sakit dan terluka seperti terbuka lagi, seperti dua tahun lalu. Semua ingatan tentang hari itu melintas bak hujan meteor menghujani otakku. Sakit, marah, cemburu dan terluka mencambuk segenap jiwaku. Sudah habis aku tumpahkan padamu, yang tersisa hanyalah diam. Aku memilih menjadi batu. Bisu.

Tanpa arah yang pasti berputar-putar, akhirnya masih ada juga kedai yang buka. Didepan masih ada beberapa anak muda yang begadang. Kami masuk dan memilih tempat. Tempat yang nyaman, eksotis, dan seharusnya juga romantis. Namun malam ini tidak. Aku memilih membeku. Kecewaku padamu begitu dalam. "Espresso" jawabku singkat ketika memilih menu. Yang lain-lain hanya aku jawab dengan gelengan kepala. Secangkir Espresso terhidang dan kau bertanya, "kenapa pilih itu, dikit banget kan" "ya, tapi caffeinnya paling tinggi" jawabku singkat. "kenapa??" tanyamu, "karena aku suka" aku kembali menjawab singkat. Dalam hati terucap olehku "Sayangku, kau tak pernah tahu, aku pilih ini sebenarnya karena secangkir Espresso inilah ekspresi tentang kita, mewakili semua kepahitan dan kekecewaanku padamu, namun sekaligus disitu aku mencecap manisnya cintamu. Menikmati pahit manis espresso adalah menikmati hidup ini" 

Berjam-jam dalam diam. Hanya duduk, bahkan uluran tanganmupun kutepiskan. Rasa kecewa begitu menguasai diriku, kupalingkan wajahku tak hendak menatapmu. 

Satu bisikan dalam hati kecilku, "benarkah kau tak menghendaki dia ada dalam hidupmu lagi? sebesar apakah kecewamu?" Ingin aku menangis bila harus menjawabnya, "aku masih mencintainya, masih. sangat" Sekilas, aku melihat kearah dia, dia sedang menatapku dengan begitu lekat, gurat-gurat kelelahan dan kecewa atas hidupnya sendiri nampak begitu jelas, "kau begitu terluka Sayangku" namun kata-kata itu lagi-lagi tak pernah terucap olehku. Dia hanya bisa pasrah, menyandarkan kepalanya di bahuku, mungkin dalam hatinya sedang menangis. Matamu, begitu menghiba, berduka, runtuhlah batu karang yang memagari hatiku, berjatuhan, berguguran. Meskipun masih ada sisa sisa keangkuhan yang aku tampakkan, namun sungguh wajahmu malam itu membuatku bertekad untuk bersamamu menghapus semua luka-luka ini. Memanjatkan doa bersamamu, Tuhan tolonglah kami, karena tiadalah  kekuatan kami kecuali dengan pertolonganMU.....

Tetes terakhir espresso kusesap dengan sepenuh jiwa, setelah semua pahitnya kutelan, tinggallah gula di bagian bawah, manis. Semoga begitulah perjalanan kita, berakhir dengan manis, semanis suapan roll cake coklat yang kau suapkan untukku. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar