Kamis, 14 Juni 2012

Asa Terkembang

Kepak sayap lamban bergerak, menembus gemuruh badai di angkasa. Gelisah dalam penantian nan panjang. Bumi mana kan dipijak, jiwa mana kan berlabuh. Kesendirian perjalanan, menyusuri kebisuan yang sunyi, semua hanyalah kabut gelap dan kosong. Aku nyaris putus asa, mulut tak kuasa lagi berkata-kata. 

Dalam kelelahan yang luarbiasa, jiwa terdiam, terpejam pada satu keheningan malam. Satu keheningan panjang, yang membawa usapan lembut  kesadaran. Akan datang satu jiwa tuk melengkapi jiwa yang terbelah. Tak perlu di risaukan, kesabaran senantiasa menghadirkan keindahan pada akhirnya. 

Rajutan hari merangkai luka nestapa dan kekecewaan, namun senyum tetap terkembang kendati air mata mengalir, melengkapi hamparan kain kehidupan. Kain yang pucat tanpa warna, teronggok lemah. 
Masih bisa menari, masih bisa berkibar kendati pucat pasi. Jiwaku masih mencari.

Matahari beranjak tidur, hanyalah menyisakan semburat jingga di langit para dewa, diiringi symphoni angin berdesau, menuju satu malam yang mendamaikan jiwa. 
Ketika jiwa diujung pasrah, cahaya menerangi temaram bayang-bayang, angin membisikkan satu nama, menerbangkan aneka warna kehidupan.  Gemericik air menghanyutkan satu jiwa, membenamkan dalam palung hati yang terdalam. Menyulutkan api yang menghangatkan. Keindahan terangkai dalam setiap butiran kata. 

Kepak sayap kini menggelora, kain kehidupan menjadi berwarna, jiwa tak lagi mencari, hanyalah menanti. Menanti waktu kan tiba tuk menyongsong asa. Selamat datang dalam jiwaku, jiwamu.

Minggu, 10 Juni 2012

Menggenggam Damai Di Tanah Bali

Sebuah jalan hidup, terkadang tak pernah terlintas sedikitpun dalam benak kita. Semakin mendalami, semakin yakin bahwa memang ada Sang Maha Pengatur Kehidupan yang merancang desain hidup sedemikian indah. Semakin malu rasanya pada Sang Pencipta, manakala teringat pada saat-saat kepahitan hidup datang, mulut ini menggerutu, jiwa ini mengeluh. Tak sabar. Padahal bukankan dalam setiap panen harus ada proses yang panjang dan tak mudah??

Suatu malam, di tengah kekecewaan yang begitu dalam, kesedihan yang menguras air mata, jiwa ini terasa begitu lelah. Terabaikan, dalam sebuah relasi yang dipaksakan. Buntu semua nalar. Tak ada manusia yang bisa diajak bercengkerama. Aku hanya bisa terduduk dalam kegelapan, mencoba berdialog dengan kesunyian, hening. "Tuhan, bisikkan sesuatu padaku, aku sungguh lelah dengan semua ini, berikan jalan". Lama, hanya sunyi. Tak sesuatupu terdengar di telingaku, hingga akhinya sebuah kesadaran menyeruak dalam pikiran. Menerobos sel sel abu abu dalam otak, mengalirkan kesadaran menyatu dengan detak jantung, "Sabarlah, bukan dia yang terbaik saat ini, dirimu hanya perlu bersabar".  Damai sekali rasanya ketika kubuka kembali mata ini. Tak ada perasaan gelisah, meskipun aku belum mampu sepenuhnya menggenggam kesabaran itu.

Sepanjang waktu semenjak malam itu, yang adalah hanyalah kosong. Hanya sesekali sosokmu datang dalam sapaku meski akhirnya berakhir tanpa kesan. Hampa.

Hingga datang sebuah pesan singkat dari seseorang yang entah datang dari mana. Berbulan-bulan lalu, berkali kali pesannya aku balas dengan dingin. Namun dia begitu gigih dan keras kepala menyapaku lagi dan lagi. Aku risih. Aku merasa tak mengenalnya, bahkan pikiran buruk sempat mampir, apalagi dia tak pernah memperkenalkan jati diri yang sebenarnya. Malam itu, mungkin memang waktunya sudah tiba, aku tahu siapa dia. Tak seperti yang aku kira, tak seburuk persangkaanku padanya. Aku berada di persimpangan.

Kau masih ada, menatapku dengan cintamu, namun kau tak juga beranjak, kau hanya menatapku bahkan ketika aku terjatuh, tanganmu tak terulur. Kau tetap berdiri di tempatmu dan berharap akan datangnya sebuah keajaiban yang bisa menyatukan kita.

Ditempat lain, dia datang padaku menawarkan genggaman tangan yang tak pernah dilepaskan, menawarkan hati yang tak terbagi. Baginya cinta adalah pemberian yang harus diperjuangkan agar tumbuh dan berkembang.

Aku terdiam dalam kebimbangan.

Kaki harus terus dilangkahkan bila tak ingin hidup berhenti disini. Menentukan arah dalam sejuta kebimbangan, waktu terus berjalan dan tak mau menunggu lagi. Akhirnya hidup harus memilih satu jalan. Satu jalan saja. Jalan yang terbaik adalah jalan yang tidak menimbulkan luka. Hingga senyum kembali merekah dan dunia menjadi terang benderang dalam cahaya cinta. Selamat datang kembali dalam kehidupan nyata. Saling menguatkan dalam genggaman erat tak terlepaskan. 


("aku hanyalah obyek atas cinta, dan menjalaninya dengan penuh syukur"_Rey)