Kamis, 01 Desember 2011

Elegi Kau Aku

Kidung malam, sayup terdengar. Kidung tentang penyesalan kidung kehampaan.. Kau datangi aku dengan segenggam luka nestapa. Betapa setelah perjalanan yang kau tempuh, kau hanya menemui kehampaan. Betapa kau tak mampu menghibur dirimu. Betapa tak mudah kau hidup tanpa kicauanku di sepanjang harimu. 
Aku yang pernah tercampakkan olehmu, aku yang pernah berkeping keping ingin sekali menghindarimu. Namun aku tak mampu melihat sayup kidungmu menjadi elegi yang mengoyak-ngoyak jiwaku. Perih. Aku menyerah.  Aku menyambutmu dengan penghiburan setulus jiwa. Kubiarkan kau tersenyum menikmati indahnya tarianku, tanpa kau harus tau betapa telaga bening ini telah mengalir perlahan menyusuri kelok kelok pipiku. Kau tak pernah tahu, selama ini aku merasa diriku hanyalah remah-remah di matamu, tak pernah lebih penting dari dirimu sendiri. Meskipun sekuat halilintar aku berteriak meyakinkanmu bahwa akulah yang kau cari namun ditelingamu teriakanku hanyalah angin lalu. Aku tak seindah impianmu, aku terlalu buruk untuk beriring denganmu. Bagaikan sampah, aku tak pernah kau biarkan muncul walaupun hanya di pintu pagar rumahmu.  Itu yang aku tangkap dari bahasamu dahulu.

Kau selalu mengatakan, kebenaran adalah waktu, maka inilah kebenaran itu, bahwa kau membutuhkan kicauanku, tarianku, aku. 

Kebenaran adalah kebenaran dan penyesalan tetaplah penyesalan, selalu datang setelah semua terjadi. Tengoklah pada sebuah janji suci, pada seseorang yang tak pernah mengerti untuk apa dia ada disisimu. Terlalu lugu dia untuk mengerti betapa rumitnya hati, betapa tak mudah memilikinya walaupun raga dalam genggaman tangannya. Kau telah memilih membangun istana pasirmu yang selalu membuatmu semakin pedih karena semua yang ada padamu tlah luka terkoyak kesombongan di masa lalumu. Perlahan namun pasti istana pasirmu terkikis angin, saat itu barulah tersadar bahwa yang kau butuhkan bukanlah itu. Kau membutuhkan kicauanku, tarianku, aku.

Kidungmu mengalun di kesunyian malam-malamku, elegi yang menyayat hati. Berharap ada keajaiban yang bisa membawamu padaku. Aku hanya terduduk disini, memandang luka-lukamu, mendengarkan jeritanmu tanpa mampu membuat segalanya seperti sediakala. Tertatih tatih aku bangkit setelah kau hempaskan aku hingga luluh lantak, aku bisa kembali tegak menatap dunia, dan aku berbahagia dengan keadaanku saat ini, tak aku ijinkan seorangpun, termasuk dirimu, menghempaskan aku lagi dan mengambil bahagiaku yang sejati, diriku. Lantas apa yang kau tawarkan untuk kebahagiaanku? Apakah cukup sepenggal cinta untuk membuatku kembali? Entah.

Kebenaran adalah waktu, dan aku tak pernah tahu apakah aku harus bersedih atau berbahagia pada saat kebenaran itu menghampiriku. 
Dan kidungmu pun sayup-sayup menghantar tidur malamku, sebuah elegi dini hari. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar