Minggu, 22 Januari 2012

A Game of Shadows

Hujan malam ini tak menyurutkan niat kami untuk menonton aksi Sherlock Holmes, tanpa berbekal resensi, kami ikuti saja alur cerita yang diawal terasa sangat membingungkan, sampai dua pertiga film masih tak jelas kejahatan apa yang direncanakan oleh sang tokoh antagonis. Aku bahkan tak tahu kasus apa yang akan ditangani Mr Holmes, potongan-potongan kejadian seakan terjadi secara acak. Pelan-pelan mulai terbaca olehku, sebuah penggambaran perlawanan kecil terhadap sesuatu kejahatan yang sangat besar, tersembunyi, rapi dan tanpa meninggalkan jejak ataupun bukti. Adalah sebuah keberanian kemanusiaan yang sungguh luarbiasa dari segolongan kecil kaum gypsi plus Dr Watson dan Mr Holmes, yang mana mereka tak ada apa-apanya dibanding kekuatan, kekuasaan dan kekayaan Mr Moriarty yang harus mereka hadapi. Namun atas nama kemanusiaan, cinta dan solidaritas, mereka memiliki kekuatan yang berlipat-lipat. Perlawanan mereka walaupun tak pernah bisa menumbangkan keserakahan dan kekuasaan jahat yang demikian besar, namun setidaknya bisa menghentikan satu oknum kejahatan. 

Film itu membuat aku teringat sebuah buku yang ditulis John Perkins yang pernah menghebohkan dunia, mengenai sebuah kejahatan perekonomian yang sangat besar yang (seakan-akan) takkan terlawan. Confession of an Economic Hitman, pengakuan seorang mantan preman penjahat ekonomi dunia. Mungkin tak sama persis dengan apa yang dilakukan Moriarty, namun setidaknya ada kesamaan dimana keduanya melakukan kejahatan, menanggalkan hati nurani demi kepuasan keserakahan (yang tak pernah ada titik kepuasannya) dan demi kekayaan. Sehingga bagi mereka adalah sah melakukan penyuapan, pemerasan, pelacuran, serta pembunuhan yang terencana dan keji. Namun apa yang dilakukan penjahat-penjahat seperti itu tak pernah nampak nyata, mereka adalah seperti bayangan, mereka melarutkan diri dalam sistem korporat dan birokrasi, korporatokrasi. Celakanya, apa yang ada di film terasa begitu jauh dari negeri ini, namun tidak dengan apa yang ada di dalam pengakuan John Perkins. Blak-blakan dia mengakui pernah ditugaskan untuk memetakan (mengacak-acak) kekayaan Indonesia untuk secara sistematis disedot oleh mereka.

Bangsa ini sudah berada dalam cengkeraman kekuatan tak terlihat itu. Dan bahkan para pemimpin bukannya menjadi pembela bagi rakyat pemilik negara ini, namun justru, mungkin, menjadi pembela korporatokrasi itu. Undang-undang Dasar yang dibuat para Bapak Bangsa terdahulu sudah tak ada harganya dimata para pemegang kekuasaan dan bahkan yang mengatas namakan wakil rakyat, "Bumi, Air dan Kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." tinggalah sebuah ironi. Segala tambang emas, minyak, bahkan air pun dikuasai oleh kekuatan asing. Air untuk minumpun sekarang kita harus membeli dari galon-galon asing, mungkin nantinya udarapun kita harus membeli. Kesenjangan kehidupan semakin terasa.

Negara ini katanya sudah lebih dari 66 tahun, kekayaan negara ini tak diragukan lagi oleh siapapun, air melimpah, kayu, bahan makanan, tambang, nyaris tak ada bahan-bahan kebutuhan hidup yang tak kita punyai. Tapi masih juga terdengar berita-berita kematian yang mengenaskan hanya karena tak bisa makan. Aku teringat berita di koran Merapi, Sabtu kemarin, di sebuah desa bernama Kedunggong, Jeruksawit, Gondangrejo, Karanganyar, seorang bocah berumur 11 tahun, gantung diri karena pada saat makan dia tak kebagian sambal yang merupakan satu-satunya lauk bagi anak kelima dari tujuh bersaudara itu. Betapa himpitan ekonomi, kemiskinan yang amat sangat sampai membuat seorang anak-anak melakukan hal yang tak seharusnya terjadi di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini. Di negeri yang terjanji subur, banyak rakyat yang mati kelaparan.   

Pertanyaannya adalah, masihkah negara ini akan terus menerus mengikuti permainan yang sudah jelas-jelas diatur siapa yang akan menjadi pemenangnya ini? Dimanakah keyakinan bangsa ini atas kuasa Tuhan terhadap kelangsungan hidup bangsa ini ataukah lebih memilih keyakinan pada bantuan utang luar negeri yang pasti akan bunga-berbunga tiada habisnya hingga kering semua tambang, hingga roboh semua hutan, hingga kering keringat dan darah bangsa ini. Negeri ini memiliki semuanya, namun negeri ini melupakan rakyat dan Tuhannya. (Wallahu'alam)

Ini hanyalah catatan kecil seorang rakyat jelata yang merindukan sosok pemberani, pembela bangsa ini, mungkinkah ada Sherlock Holmes di negeri ini? Tentu saja tidak, karena Sir Arthur Conan Doyle menciptakan tokoh itu ada di Inggris sana. Disini kami membutuhkan Bung Karno, Gadjah Mada, Sultan Hassanudin, Pangeran Diponegoro, Cut Nya Dien dan pahlawan-pahlawan kami yang gagah berani, karena telah terasa sangat lelah kami berjuang hanya untuk sekedar sesuap nasi dan satu tempat untuk berteduh di negeri kami sendiri. Bila kami saja susah memikirkan apa yang akan kami makan besok, bagaimana dengan anak cucu kami nanti. Sudahi permainan ini, let's end the game of shadow, may Allah bless us. 

2 komentar:

  1. Bila satnya tiba Imperium Romawi akan dikalahkan oleh Imperium Persia Baru. Amati yang terjadi selat hormuz. Sebuah kejadian bukanlah hal yang biasa saja tentunya. Ingat, tugas ayam jago bukanlah menerbitkan matahari. Dia berkokok memberi tahu hari akan segera pagi. Dan sebelum pagi, melalui "perahu-perahu kecil" berupa rumah tangga, selamatkan dari bahaya kapitalisme maupun komunisme dan yang sejenis. Tetaplah bersabar, karena tak mungkin kita menjadi "yang sukses" tanpa menginjak orang lain dengan sistim begini. Panggung tak bisa dipaksakan berganti pemain. Siapkan anak-anak kita memasuki etape selanjutnya. Semoga RI menjadi bangsa yang jaya. Insya Allah.

    BalasHapus
  2. amin, terimakasih banyak. Iya tadi pagi baca berita selat hormuz sudah siaga 1. dan disini semua sudah sedemikian amburadulnya. InsyaAllah,menyiapkan generasi selanjutnya. thanks sharingnya..

    BalasHapus