Senin, 10 Desember 2012

Semua Sudah Ada di Dalam Rumah

Keterbatasan kemampuan memahami pesan pesan Tuhan yang dituang dalam bahasa tertulis membuat aku tertatih tatih mengeja pelajaran kehidupan. Terkadang harus berliku-liku untuk sampai pada kata paham. 

Sebuah buku hikmah karangan Abu Thalhah Muhammad Yunus yang aku beli beberapa tahun yang lalu, malam ini aku buka lagi. Tidak banyak yang aku ingat tentang hikmah-hikmah yang disarikan pada buku ini. Agak membosankan, jadi aku baca tidak runtut. "Tidak banyak buku motivasi yang mengusung ajaran agama bisa menarik perhatian, rasanya seperti ikut pengajian klasikal, monoton dan bosenin" selalu itu yang ada dalam pikiranku, namun aku bertekad, harus ada paling tidak satu hikmah, surat ataupun hadits yang bisa aku ambil dari buku ini sekarang. Masa iya sih, buku buku lain bisa dengan mudah kuserap, tapi yang  seharusnya aku pahami malah aku tak bisa mencerna dengan baik.

Kubolak balik bab tentang ilmu sabar dengan agak bosan sembari menikmati suara rintik hujan dan gemuruh kilat. Sabar itu artinya bertahan. "Iya aku sudah tahu." batinku. Dengan cepat berpindah dari satu halaman ke halaman berikutnya, sekilas-sekilas saja kubaca, nyaris saja kututup buku ini hingga mataku tertuju pada alinea keempat,  Dalam hadits Abu Razin "Allah Swt merasa heran kepada seorang hamba yang putus asa padahal Allah Swt dapat merubah segala sesuatu dengan mudah. Allah Swt melihatnya dalam keadaan putus asa, lalu DIA tertawa, kerena jalan keluarnya sudah sangat dekat, " (Ibnu Katsir I/252). Aku diam, tak beranjak dari alinea itu. Aku baca lagi beberapa kali. Aku merasa pernah tahu cerita mirip itu dalam versi lain, dan aku rasa aku cukup jernih mengingatnya, "Three Feet from Gold" karangan Napoleon Hill. Buku itu berwarna kuning, dulu buku itu aku dapat dari salah satu mentorku. Dalam kata pengantarnya diceritakan sekilas tentang buku pertamanya yang berjudul Think & Grow Rich, yang menceritakan tentang seorang pria bernama R U Darby yang melepaskan impiannya menjadi kaya sebagai penambang emas saat ia tinggal tiga kaki (sekitar satu meter) dari galur emas yang besar. Cerita Darby mengingatkan kita  bahwa seringkali prestasi dan kesuksesan terbesar kita lebih besar dari yang kita kira. Namun kadang kadang kita tak memiliki kesabaran yang cukup untuk sampai pada sukses itu dan justru menyerah padahal tinggal sejengkal kesuksesan itu datang.

Buku Three Feet From Gold banyak menjadi sumber inspirasi bagi orang-orang yang ingin "sukses", mungkin termasuk aku yang menjadikan buku ini sebagai sumber inspirasiku agar tak mudah menyerah dalam hidupku, karena kita tak pernah tahu seberapa dekat diri kita dengan apa yang kita cari itu. 

Kembali pada buku hikmah yang semula aku baca, adalah sebuah ironi buatku, aku dikatakan sebagai muslim semenjak dilahirkan, dan seharusnya mempelajari jalan hidup sebagai seorang muslim sebanyak jumlah umurku saat ini. Aku tiba-tiba merasa benar-benar tidak banyak tahu tentang sikap dan pandangan hidup yang aku bilang aku yakini. Aku tak pernah tahu bahwa sebenarnya sudah jauh-jauh hari sebelum buku yang aku kagumi isinya itu dituliskan, Rasulullah sudah mengajarkan betapa manusia sangat mudah putus asa padahal jalannya sudah sangat dekat. Bukan berarti aku mengecilkan arti buku karangan Napoleon Hill tersebut, buku itu tetap inspiratif dan disajikan secara ringan, enak dibaca, namun ini lebih kepada kritik pada diri sendiri, betapa tumpulnya diriku dan betapa tak pernah melihat ilmu yang begitu luas yang ada di sekitarku. Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan justru tampak. Kalau kata Gede prama, kita terlalu sibuk mencari diluar rumah, padahal semua yang kita butuhkan sudah tersedia didalam rumah, hanya kita tak melihat saja. 

Walaupun merasa malu pada diriku sendiri dan malu pada Allah yang begitu baik sudah mengajarkan semuanya, namun setidaknya malam ini ada satu hikmah yang aku dapat, bahwa aku harus lebih banyak membuka segenap panca indera untuk bisa "menangkap" apa yang sudah Allah berikan.  Robbii zidnii 'ilmaan war zuqnii fahmaan amiin...

Jumat, 30 November 2012

Catatan Di Lembaran Pagi

Malam menjelang pagi, merangkak menuju bulan di penghujung tahun. Dalam sunyi aku mencoba mengais ingatan masalalu. Lembar demi lembar ingatan terbuka. Gambaran perjuangan hidup, merangkak setapak demi setapak yang terekam perlahan diputar kembali. Semua hidup kembali dalam ingatan. 

Seorang perempuan diatas sepeda motor hitam, dengan tumpukan kardus di jok belakang dan di depan, dia sungguh tak memperhatikan resikonya sendiri di jalanan nanti. Tak berpikir betapa itu berbahaya bagi dirinya, dia tetap tertawa lebar. Seakan tanpa beban, ia tak pernah berpikir lelah atas semua yang harus ia jalani, karena buatnya, pekerjaan ini adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa, demi tanggung jawabnya atas dua orang buah hatinya. 

Aku tertegun. Mataku tak beranjak dari ingatan itu, kutatap lagi dengan seksama dia. Aku seperti mengenalnya, sayup sampai. Dan aku malu ketika tersadar, dia adalah diriku beberapa tahun yang lalu. Yang gagah perkasa menaklukkan sudut-sudut Yogyakarta, tanpa tangisan, tanpa kemanjaan. Dengan upah alakadarnya saat itu menjalani semua dengan penuh penerimaan dan rasa syukur. 

Beberapa tahun sudah berlalu, banyak yang terjadi. Aku coba mengaca ke dalam diriku saat ini, dan kudapati, kegigihanku, ketabahanku, kegagahperkasaanku nyaris tak kutemui. Terduduk seorang perempuan manja, cengeng,  mudah menyerah dan tak sungkan mengeluhkan keadaannya. Aku kah ini? 
Malu, betapa kenikmatan dunia kadang-kadang justru melemahkan jiwa. Terdiam, dan aku sadar, harusnya aku lebih banyak bersyukur atas semua berkah kehidupan serta berterimakasih kepada semua guru-guru kehidupan. 

~Terimakasih Tuhan atas malam ini ~

Sabtu, 29 September 2012

Berguru Pada Diri


Tanpa perlu penambahan, sebenarnya hidup ini sudah sempurna. Keserakahan manusialah yang membuatnya menjadi nampak tak sempurna. Tatkala pikiran tidak dikotori oleh keluhan dan kekurangan maka, setiap musim adalah musim terbaik. Karena setiap musim membawakan tugasnya masing-masing. Seperti halnya kita tidak bisa mengatakan gula itu lebih baik dari garam, keduanya memiliki tempatnya masing-masing. Kebodohan manusia yang tidak mengetahui fungsi dari gula dan garamlah yang menyebabkan seorang manusia merasa salahsatunya lebih penting dari yang lain. Pun demikian dengan manusia semua dilahirkan dengan fitrahnya dan mengemban tugasnya masing-masing. Menjadi tukang sapu, menjadi buruh, menjadi pesuruh tidaklah lebih buruk dari seorang juragan. Tuhan tak pernah mengatakan bahwa seorang bawahan lebih rendah derajatnya dari seorang atasan, ukuran Tuhan bukanlah ukuran picik manusia. 

Yang Maha Sempurna, tanpa cela telah menciptakan semua dalam satu keseimbangan, keseimbangan senantiasa melahirkan keselarasan, harmoni dan kedamaian. Mulai dari jagad raya, ribuan bintang gemintang berarak dalam orbitnya dengan teratur, tumbukan hanya sesekali terjadi, namun itu tak merusak tatanan besar  semesta. Semua tunduk pada ketetapannya. Dalam jasad kita pun Yang Maha Sempurna, tanpa cela menciptakan satu keseimbangan, satu homestasis. Yaitu suatu konsep dimana setiap organisme memiliki kemampuannya sendiri menjaga dan mengatur keseimbangan internalnya. Setiap hari dalam tubuh kasar ini terjadi pembongkaran, pembuangan bagian bagian tubuh yang aus dan digantikan oleh sel sel baru yang lebih sehat. Namun lagi-lagi, kesombongan, keserakahan dan ketidaktahuan manusialah yang merusak tatanan keseimbangan ini.  Bertuhan pada hawa nafsu, diperbudak oleh rasa nikmat yang dikecap lidah, manusia tak mau mempedulikan jeritan usus, jeritan ginjal, jeritan hepar, tangisan urat-urat nadi yang mengejang karena kolesterol buruk dan seterusnya. Hingga suatu hari tubuh tak kuasa lagi menahan deritanya hingga terkapar dan rusak segala fungsinya. Pun begitu, manusia tak juga mau menoleh kedalam, masih juga sibuk menuding kesana kesini, menyalahkan dokter yang tak becus memberi resep, menyalahkan pabrik obat yang obatnya tidak manjur dan akhirnya menyalahkan Tuhan yang memberinya sakit. 

Bila kita mau sedikit merenung, benarlah kata seorang bijak yang mengatakan, penyakit itu bukanlah kutukan Tuhan, namun penyakit adalah akumulasi kebiasaan makan kita yang buruk selama bertahun-tahun. Tuhan sudah merancang semua dengan sangat sempurna, bukan hanya hardware berupa badan kita, namun satu paket dengan software berupa ilmu untuk mengoperasikan badan ini. Bila sekarang pemerintah giat mengkampanyekan menu gizi berimbang, sebenarnyalah Tuhan sudah berpesan sejak berabad-abad lampau,  ..."makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan." (QS 7 : 31)

Minggu, 05 Agustus 2012

Setengah Putaran Ramadhan

Tak tik tak tik, mengerjakan hal-hal rutin, sekedar menunggu bulan menyelesaikan satu putarannya mengelilingi bumi. Siang malam siang malam siang malam, begitu seterusnya. Ditemani selembar layar yang bisa menghantarkan pembicaraan, setidaknya malam-malam tak terlalu ngelangut untuk dilalui. Berpacu dengan roda dan angka di siang hari, meski melelahkan, tapi itulah harga yang harus dibayar untuk bisa tetap eksis dalam sistem hidup di zaman yang serba materi. Satu, dua, tiga, sepuluh, limabelas, sudah setengah putaran terlewati. Masih ada setengah lagi. Sabar sabar sabar, menahan diri dan terus bertahan bila masih ingin asa itu kan tergapai. 

Setengah putaran lagi, bila menit demi menit kau hitungi, terasa takkan sampai-sampai kau ke tujuanmu. Jalani sajalah dan nikmati, anggap setiap kesulitan adalah tantangan yang menunggu ditaklukkan. Pantang berputus asa, karena tahu setiap pedih, perih dan kerinduan kan bermuara pada puncak keindahan, kebahagiaan.  Setiap tantangan yang berhasil ditaklukkan adalah kemenangan. 

Setengah putaran tidaklah lama, setidaknya nikmatilah setiap denyutannya. Karena kau tak pernah tahu, apakah kau masih akan berjumpa lagi dengan Ramadhan yang seindah Ramadhan tahun ini. 

Setengah putaran rembulan ini akan segera berakhir, dan lihatlah diakhir nanti kau dapatkan kemenangan atau terpuruk dalam kekalahanmu atas hawa nafsu.  

~Barokallahu~

Sabtu, 28 Juli 2012

Mentari Hari Ini



Sudah tengah hari, tapi rasanya malas sekali membuka mata. Anganku masih bergelut dengan mimpi-mimpi barusan, seakan begitu nyata. Baikkah aku? Jahatkah aku? Benarkah langkahku? Atau salahkah? Sejuta tanda tanya berputar-putar, pening. Lalu, tiba-tiba saja aku merasakan dingin dan sepi. Kesepian yang amat sangat, rasa yang sama persis seperti apa yang kurasakan 30 tahun yang lalu, semasa aku masih tinggal di rumah pinggir kali itu. Aku membenamkan diri dalam masa lalu. Mimpi dan halusinasi. Tidak tidur takjuga terjaga.

Dalam satu gerakan kuraih ponselku, kubuka jejaring sosial, satu-satunya kawan yang bisa kuajak bicara ketika kau sedang tak ada. "Kemarin pihak Bank sudah konfirmasi ke nomer telponku, semoga semua lancar" sederet kalimat dari Om aku di Jawa. "Amin, makasih Om" jawabku disitu. Kesadaranku belum pulih benar, aku nggak bisa merasakan apakah aku harus senang atau tidak. Entah kenapa, rasanya enggan begitu menguasai. Mungkin aku kecewa, atau mungkin aku berharap terlalu banyak. Padahal subuh tadi dirimu sudah datang, menemaniku dengan cerita-ceritamu yang selalu bisa membuat aku tertawa lebar dan merasakan bahagia setelah sekian lama itu tak ada lagi. Tapi jujur, ada sedikit gamang dan rasa takut kehilangan semua keindahan itu. 

Kubuka lagi satu pesan, "seperti matahari yang menghangatkan tubuhmu, begitulah semoga Al Qur'an menghangatkan jiwa dan hatimu, sehingga terasa hidup lebih hidup," pesan dari pamanku, lalu aku teringat candamu tadi pagi, "Tahu nggak bedanya kamu dengan matahari?' " Apa?" tanyaku. "Kalau matahari menghangatkan dunia, kalau kamu menghangatkan hatiku,,," hahahaha, kami tertawa berdua menertawakan kekonyolan kami. Seketika itu juga kesadaranku tergugah, tak seharusnya aku merasa sunyi, begitu banyak yang bisa aku syukuri dalam hidupku. Cintamu, cinta anak-anak, cinta orang-orang yang membesarkan aku, cinta semua teman, kerabat dan keluarga, begitu banyak sebanyak sinar matahari yang tercurah di siang ini, hangat dan membahagiakan. Aku harus bangun, hidup dan bersemangat. 


Kamis, 14 Juni 2012

Asa Terkembang

Kepak sayap lamban bergerak, menembus gemuruh badai di angkasa. Gelisah dalam penantian nan panjang. Bumi mana kan dipijak, jiwa mana kan berlabuh. Kesendirian perjalanan, menyusuri kebisuan yang sunyi, semua hanyalah kabut gelap dan kosong. Aku nyaris putus asa, mulut tak kuasa lagi berkata-kata. 

Dalam kelelahan yang luarbiasa, jiwa terdiam, terpejam pada satu keheningan malam. Satu keheningan panjang, yang membawa usapan lembut  kesadaran. Akan datang satu jiwa tuk melengkapi jiwa yang terbelah. Tak perlu di risaukan, kesabaran senantiasa menghadirkan keindahan pada akhirnya. 

Rajutan hari merangkai luka nestapa dan kekecewaan, namun senyum tetap terkembang kendati air mata mengalir, melengkapi hamparan kain kehidupan. Kain yang pucat tanpa warna, teronggok lemah. 
Masih bisa menari, masih bisa berkibar kendati pucat pasi. Jiwaku masih mencari.

Matahari beranjak tidur, hanyalah menyisakan semburat jingga di langit para dewa, diiringi symphoni angin berdesau, menuju satu malam yang mendamaikan jiwa. 
Ketika jiwa diujung pasrah, cahaya menerangi temaram bayang-bayang, angin membisikkan satu nama, menerbangkan aneka warna kehidupan.  Gemericik air menghanyutkan satu jiwa, membenamkan dalam palung hati yang terdalam. Menyulutkan api yang menghangatkan. Keindahan terangkai dalam setiap butiran kata. 

Kepak sayap kini menggelora, kain kehidupan menjadi berwarna, jiwa tak lagi mencari, hanyalah menanti. Menanti waktu kan tiba tuk menyongsong asa. Selamat datang dalam jiwaku, jiwamu.

Minggu, 10 Juni 2012

Menggenggam Damai Di Tanah Bali

Sebuah jalan hidup, terkadang tak pernah terlintas sedikitpun dalam benak kita. Semakin mendalami, semakin yakin bahwa memang ada Sang Maha Pengatur Kehidupan yang merancang desain hidup sedemikian indah. Semakin malu rasanya pada Sang Pencipta, manakala teringat pada saat-saat kepahitan hidup datang, mulut ini menggerutu, jiwa ini mengeluh. Tak sabar. Padahal bukankan dalam setiap panen harus ada proses yang panjang dan tak mudah??

Suatu malam, di tengah kekecewaan yang begitu dalam, kesedihan yang menguras air mata, jiwa ini terasa begitu lelah. Terabaikan, dalam sebuah relasi yang dipaksakan. Buntu semua nalar. Tak ada manusia yang bisa diajak bercengkerama. Aku hanya bisa terduduk dalam kegelapan, mencoba berdialog dengan kesunyian, hening. "Tuhan, bisikkan sesuatu padaku, aku sungguh lelah dengan semua ini, berikan jalan". Lama, hanya sunyi. Tak sesuatupu terdengar di telingaku, hingga akhinya sebuah kesadaran menyeruak dalam pikiran. Menerobos sel sel abu abu dalam otak, mengalirkan kesadaran menyatu dengan detak jantung, "Sabarlah, bukan dia yang terbaik saat ini, dirimu hanya perlu bersabar".  Damai sekali rasanya ketika kubuka kembali mata ini. Tak ada perasaan gelisah, meskipun aku belum mampu sepenuhnya menggenggam kesabaran itu.

Sepanjang waktu semenjak malam itu, yang adalah hanyalah kosong. Hanya sesekali sosokmu datang dalam sapaku meski akhirnya berakhir tanpa kesan. Hampa.

Hingga datang sebuah pesan singkat dari seseorang yang entah datang dari mana. Berbulan-bulan lalu, berkali kali pesannya aku balas dengan dingin. Namun dia begitu gigih dan keras kepala menyapaku lagi dan lagi. Aku risih. Aku merasa tak mengenalnya, bahkan pikiran buruk sempat mampir, apalagi dia tak pernah memperkenalkan jati diri yang sebenarnya. Malam itu, mungkin memang waktunya sudah tiba, aku tahu siapa dia. Tak seperti yang aku kira, tak seburuk persangkaanku padanya. Aku berada di persimpangan.

Kau masih ada, menatapku dengan cintamu, namun kau tak juga beranjak, kau hanya menatapku bahkan ketika aku terjatuh, tanganmu tak terulur. Kau tetap berdiri di tempatmu dan berharap akan datangnya sebuah keajaiban yang bisa menyatukan kita.

Ditempat lain, dia datang padaku menawarkan genggaman tangan yang tak pernah dilepaskan, menawarkan hati yang tak terbagi. Baginya cinta adalah pemberian yang harus diperjuangkan agar tumbuh dan berkembang.

Aku terdiam dalam kebimbangan.

Kaki harus terus dilangkahkan bila tak ingin hidup berhenti disini. Menentukan arah dalam sejuta kebimbangan, waktu terus berjalan dan tak mau menunggu lagi. Akhirnya hidup harus memilih satu jalan. Satu jalan saja. Jalan yang terbaik adalah jalan yang tidak menimbulkan luka. Hingga senyum kembali merekah dan dunia menjadi terang benderang dalam cahaya cinta. Selamat datang kembali dalam kehidupan nyata. Saling menguatkan dalam genggaman erat tak terlepaskan. 


("aku hanyalah obyek atas cinta, dan menjalaninya dengan penuh syukur"_Rey)

Jumat, 11 Mei 2012

Kebo Iwa. Siapakah Dia?

Siang yang terik, seperti hari-hari kemarin kupacu mobil menuju kota Klungkung. Dari daerah Tohpati, tadinya aku masih bimbang, apakah mengambil jalan melalui by pass Ida Bagus Mantra atau melewati dalam kota, namun akhirnya kuputuskan untuk lewat Batubulan-Celuk-Sukawati-Gianyar-Klungkung, sekalian melihat-lihat potensi outlet di sekitar sini. 

Patung-patung, Pura, Pasar Sukawati, ibu-ibu yang membawa canang untuk sejaji, semua kulewati begitu saja, tak ada yang menarik perhatianku. Sepanjang perjalanan kepalaku masih disibukkan oleh target dan route yang akan aku lewati nanti. Aku agak terlambat ke lapangan karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di kantor, "aku harus cepat-cepat agar semua bisa selesai hari ini", pikirku. Hingga akhirnya aku sampai di sebuah simpang jalan yang cukup besar, kubaca petunjuk jalan di papan warna hijau, kuambil arah "Klungkung", ke kanan. Baru kali ini aku melewati jalan ini, tiba-tiba mataku terpesona pada sebuah gapura denga patung besar di tengah pembatas jalan. Biasanya patung-patung di Bali adalah perwujudan dari Dewa-Dewi atau tokoh khayalan, tapi ini berpakaian a'la Gajah Mada dan ada prasasti di bawahnya, tak terlalu jelas, hanya terbaca Kebo Iwa dan sekilas sepertinya tertulis bahwa tokoh ini berjuang untuk kerajaan di Bali. Aku bertanya tanya, nama itu terasa tidak asing bagiku, tapi aku tak ingat siapa dia. Demi mencari jawaban atas penasaranku, aku sms temanku yang memang penggemar sejarah dan pewayangan, tapi ternyata dia pun gak tahu persis.  Siapa Kebo Iwa? Kenapa aku merasa pernah tahu siapa dia? Apakah dia anak buahnya Gajah Mada ya? Gaya berpakaiannya mirip. Duh, perjalanan hari itu diwarnai penasaran jadinya.


Malam harinya, aku coba upload foto patung Kebo Iwa ke akun jejaring sosialku, "Namanya Kebo Iwa, ada yang tahu sejarahnya?", "Itu raksasa yang dipendem di kawah Gunung Agung karena makan orang-orang. Dibuat patung untuk pemujaan, dikasih sesaji, biar gak marah-marah, karena kalo marah dia meronta-ronta hingga Gunung Agung meletus, aku agak-agak lupa Gunung apa tepatnya, yang jelas aku baca di majalah waktu SD dulu" begitu komentar Sigit. Deni berkomentar lain, katanya, " Udah ada di FTV, diperankan Derry Drajad, Kebo Iwa adalah Patih Bali yang membentengi kerajaan Bali dari serangan Majapahit di zaman Gajah Mada. Dia ini punya ilmu kebal". Lalu komentar ketiga dari Mbak Ni'mah tanteku, "Kebo Iwa adalah tokoh legenda masyarakat Bali yang dipercaya memiliki tubuh yang sangat besar. Konon Kebo Iwa menggunakan kuku kukunya yang tajam dan kuat untuk memahat dinding batu cadas sehingga terbentuk sebuah candi, yang diselesaikan dalam sehari semalam. Namanya Candi Gunung Kawi.". Aku semakin bingung, dari 6 orang yang berkomentar, 3 orang mengaku tidak tahu dan 3 orang lagi beda semua penjelasannya. Teman-teman di kantor yang notabene orang Bali pun tak ada yang bisa menjelaskan dengan pasti siapa Kebo Iwa. "Gatau deh mbak, kayaknya ya pahlawan yang melawan Belanda gitu. Kalau setahuku sih, di Jalan Kebo Iwa ada warung ayam Betutu Rama-nya Pak Yota, hehehe" Kata Ni Luh sambil bercanda. Duh, tambah jauh deh, masak iya sih jaman belanda orangnya masih pakai pakaian a'la Majapahit gitu. Ah, sudahlah. Pikirku. Rasa penasaran itu aku simpan, setiap kali melewati jalan itu, aku melihat saja, sambil berpikir, siapa dia.

Sekitar sebulan kemudian, aku jalan-jalan ke toko buku lokal yang menjual buku-buku karangan pengarang lokal Bali, perhatianku tertuju pada sebuah buku tipis "Sejarah Bali". Segera aku masukkan ke keranjang belanjaanku. Malam berikutnya, baru aku sempat membaca buku tersebut. Sebenarnya aku sudah agak lupa dengan penasaranku pada Kebo Iwa, namun membaca sekilas buku aku melihat tertulis nama Kebo Iwa. Rasa penasaranku bangkit lagi, segera aku baca buku tersebut, "Kebo Iwa adalah seorang Patih Muda di Blah batuh di Kerajaan Bedahulu yang hidup sezaman dengan Patih Gajah Mada dari Majapahit sekitar tahun 1300-an Masehi.  Perawakannya tinggi kekar dan kebal, dia ahli dalam hal bangunan. Konon Kerajaan Bedahulu ini amatlah kuat dan tidak mau tunduk dibawah bendera Majapahit, sehingga diutuslah Patih Gajah Mada untuk bersiasat agar negara itu mau tunduk, karena bila di jalankan semata-mata dengan perang terbuka tidak yakin Majapahit bisa memetik kemenangan terhadap Kerajaan Bedahulu yang sangat  kuat dan banyak orang sakti mandraguna, termasuk Pati Muda Kebo Iwa. Maka dijalankanlah siasat, Patih Gajah Mada meminta Kebo Iwa turut serta ke Majapahit, disana dia akan dinikahkan dengan seorang putri cantik. Kebo Iwa dengan ijin dari Raja Bedahulu pun berangkat ke Majapahit, sesampai disana benarlah bahwa memang telah ada seorang putri cantik yang menunggunya. Putri itu meminta Kebo Iwa membuatkan sumur untuk mereka bertamasya seusai pesta pernikahan nantinya. Alkisah, dengan tulus hati tanpa syakwasangka dibuatlah sumur itu dengan baik oleh Kebo Iwa. Namun alangkah malanganya, ternyata ketika sumur itu sudah cukup dalam datanglah berbondong-bondong orang-orang Majapahit melemparinya dengan batu dan menimbun Kebo Iwa didalam sumur. Namun bukan Kebo Iwa namanya bila tidak sakti, Kebo Iwa tidak mati di dalam sumur, dia terkejut, batu-batuan yang berjatuhan kedalam sumur dilemparkan kembali keatas, sehingga justru banyak orang Majapahit yang meninggal. Akhirnya Kebo Iwa tersadar bahwa ia terkena tipu muslihat Gajah Mada yang menghendaki kematiannya. Karena merasa sudah terperangkap, Kebo Iwa menyerahkan jiwanya, ia justru memberitahu Gajah Mada bahwa dia tidak akan mati oleh segala macam senjata, ia hanya bisa dibunuh dengan kapur tohor dan air jeruk. Sesudah mengetahui hal tersebut segeralah Gajah Mada mencari Kapur Tohor dan air jeruk untuk menimbun Kebo Iwa. Maka meninggallah Kebo Iwa."

Aha, aku tahu sekarang, gambaran itu segera muncul dalam pikiranku. Kenapa aku penasaran sekali, aku ingat aku pernah membaca cergam (=cerita bergambar) tentang Kebo Iwa, tapi aku hanya ingat tentang seorang sakti mandraguna yang ditimbun didalam sumur hasil dia menggali sendiri tapi tidak bisa mati, dia akhirnya tewas setelah ditimbun dengan batu gamping. Majalah Ananda, 30 tahun yang lalu. hmm..

Dulu hanya sebatas itu yang aku tahu, tak ada baik buruk, tak ada benar salah. Dulu yang aku tahu Gajah Mada adalah negarawan besar tokoh baik, protagonis dalam sejarah. Dan Kebo Iwa adalah tokoh antagonis, raksasa yang ditimbun karena jahat. Tapi sekarang, membaca sejarah tentang Kebo Iwa, semua menjadi absurd, benar salah, tokoh baik tokoh jahat dalam sejarah bisa jadi sangatlah subyektif, tergantung dari sudut mana yang berbicara. Kebo Iwa adalah pahlawan bagi Kerajaan Bedahulu di Bali dan Gajah Mada adalah pahlawan bagi Kerajaan Majapahit di Jawa. Tak mudah memang membicarakan sejarah tanpa menimbulkan kontroversi. Wallahu a'lam.

Moral cerita :
Setiap orang bisa menilai orang lain benar atau salah, baik atau buruk, tergantung dari sudut pandang mana orang tersebut menilai. (Hiks..ketika aku menulis ini ada yang ngedumel di seberang sana, thanks ya..)

Jumat, 06 April 2012

Once Upon a Time in Bali

Siang ini terik matahari begitu membakar, AC di mobil serasa tak berfungsi, namun semua itu tak menyurutkan niat untuk keluar kota sekedar refreshing, tujuan telah di tentukan, Istana Taman Ujung, daerah Karangasem, satu wilayah ujung timur pulau Bali. Keluar dari Denpasar melewati daerah Sanur, memasuki jalan by pass, seperti yang biasa kulewati bila aku akan ke daerah Klungkung. Tak lepas aku memandang sebelah kananku, lautan menghampar ditingkahi oleh dusun-dusun dan pura-pura kecil, Bali memang sungguh eksotis. Berbagai nama pantai kami lewati, aku tak sanggup menghafalnya satu persatu. Setelah hampir dua jam barulah masuk daerah Candidasa, "Masih terlalu siang untuk ke pantai, kita ke Taman Ujung dulu" kataku.


Memasuki Karangasem dengan kotanya Amlapura, tak terasa lagi hiruk pikuk dan sesak seperti di Denpasar, jalanan lumayan membingungkan karena kami melewati jalan memotong melalui kampung. Sempat kesasar beberapa kali walaupun sudah dipandu dengan GPS canggih, namun akhirnya perjuangan mulai membuahkan hasil. Bendera di GPS terlihat, tinggal 4km lagi. Beberapa menit kemudian tampak satu papan kayu yang tak begitu terawat tertulis "Taman Ujung 500 M". Sampai juga. Pemandangan pertama di sebelah kiri jalan terlihat pilar pilar putih, tapi pintu gerbang di depannya tertutup, kami meneruskan jalan, setelah satu kelokan kecil,  mataku terbelalak, "Masya Allah, Allahu Akbar, indah sekali", Di sebelah kiri jalan terlihat sebuah hamparan taman yang rapi, bangunan istana yang sederhana dengan latar belakang gunung Agung, dan di sebelah kanan adalah laut yang menghampar, satu harmoni, keselarasan yang menentramkan. Istana Impian.
Tak sampai 5 menit, sampailah ke pintu utama. Diawali dengan satu jembatan menuju kompleks istana, segera satu gambaran indah terbayang, sangat indah. Hamparan halaman berumput yang rapih, dan kolam di seputar istana, segerombolan merak betina, dan beberapa ekor angsa menyambut kami. Hilang semua penat yang semula aku rasakan setelah menempuh sekitar dua setengah jam perjalanan. Dengan penuh semangat aku telusuri boulevard di sepanjang taman menuju istana utama. 

Istana utama adalah sebuah bangunan yang tidak terlalu besar, terdiri dari empat kamar, aku membaca sejarah yang tertulis disitu. Dibangun oleh Raja Karangasem terakhir I Gusti Bagus Jelantik pada tahun 1919. Letusan Gunung Agung di tahun 1963 dan gempa bumi tahun 1979 pernah menghancurkan istana ini. Sebuah bangunan yang menurutku seperti istana yang terapung diatas air, dibangun oleh Raja untuk menyambut tamu-tamu dari kerajaan lain yang berkunjung ke Karangasem, namun juga difungsikan sebagai tempat rekreasi keluarga kerajaan. Dari foto yang terlihat, nampak bahwa Raja memiliki putra putri yang cukup banyak. Dan di satu ruangan lagi aku melihat foto anggota kerajaan yang menjabat duta besar setelah republik ini merdeka. Kemanakan mereka saat ini ya? satu tanya yang tak terlalu ingin kucari jawabnya.


Aku lanjutkan langkahku menuju ke atas, satu bangunan yang terdiri dari pilar-pilar seperti lazimnya bangunan di eropa, dari sini mataku bebas menikmati setiap sudut keindahan landskap istana, lautan yang menghampar, aku membayangkan, pada jaman itu pasti istana ini penuh dengan canda tawa. Dan sekarang yang terlihat adalah kesunyian belaka. Tergambarlah satu kenyataan hidup, selalu akan begini, satu bangunan pada akhirnya adalah sebagai saksi kisah panjang perjalanan manusia dan bahkan jatuh bangun satu peradaban terekam dalam bangunan-bangunan bersejarah. 

Satu pelajaran aku petik hari ini, semegah apapun istana yang dimiliki, sebahagia apapun penghuninya, semua perkara di dunia, tidaklah abadi. Astaghfirullah.

Rabu, 07 Maret 2012

Nice Penjor !!!

Kali ini menginjakkan kaki di bandara Internasional Ngurah Rai terasa begitu hampa, masih antara kenyataan dan khayalan. Melewati jalanan di kota Denpasar aku masih belum percaya, aku akan tinggal disini, entah untuk berapa tahun lamanya. Nekad!. Gelap, aku tak punya bayangan sama sekali apa yang akan aku lakukan untuk melewati hari-hariku nanti. Gila gila gila, itu yang ada di otakku, meskipun aku mengenal kota ini, namun aku kenal sebagai tempat wisata saja, bukan tempat aku bekerja. Biasanya disini putar-putar kota, tinggal naik bus pariwisata. Dan sekarang aku harus menghafalkan semua jalanan yang ada. 

Hari-hari pertama, fasilitas yang aku butuhkan belum lengkap, menambah berat isi kepalaku. Belum ada kendaraan, ke kantor mesti harus menunggu jemputan teman. Belum ada laptop, jadi kalo malam hanya bengong ndengerin suara jengkerik. Belum lagi melihat kenyataan kondisi tim dan area yang aku pimpin, benar-benar membutuhkan konsentrasi tinggi dan kecerdasan serta kecermatan tersendiri. Seminggu pertama, aku konsentrasi memikirkan tempat tinggal. Sedih rasanya, benar-benar terasa terasing. Beruntung, dibantu teman-teman dari kantor akhirnya aku menemukan tempat tinggal yang lumayan, dengan ibu kost dan tetangga kost yang baik. Selalu ada pertolongan disaat kita membutuhkan, percaya saja.

Satu persatu bisa teratasi, semua tak lepas dari support penuh dari para senior dan team. Akhirnya, aku mulai enjoy dengan keadaan. Walaupun tentu saja rasa kangen pada anak-anak tetap saja acapkali mendera. Namun dengan seluruh kesibukan semua bisa teratasi. Akhirnya aku bisa menikmati setiap jengkal aspal yang aku lewati ketika aku melakukan kunjungan ke lapangan dan mulailah aku menemukan keindahan-keindahan Bali yang selama beberapa hari ini tertutup beban pikiran. Pura, penjor, bangunan-bangunan banjar, bapak-bapak pecalang, menjadi suatu hal yang akrab.

Beruntung aku datang beberapa hari setelah perayaan Galungan dan Kuningan, sehingga masih bisa melihat "sisa-sisa" perayaannya, berupa Penjor yang berdiri megah dimana-mana. Begitu membekas dalam ingatanku, entah kenapa, Penjor yang berjajar di sepanjang jalanan Banjar Dalung, terlihat asri dan hangat. Lalu ketika burung-burung mengerumuni penjor untuk memakan padi yang dirangkai hingga ujungnya,  terasa begitu mencerminkan bahwa negri ini gemah ripah loh jinawi. Bali, aku harus menempa diriku, aku harus berdiri tegak walau akarku tak kuat disini, seperti penjor itu. ^_^

Jumat, 10 Februari 2012

Bapak


Sudah lewat tengah malam ketika aku terjaga dari tidurku, aku ingat terakhir tadi sore aku makan bersama anak-anak di ruang depan, lalu rasa kantuk yang hebat menyergapku dan akupun tertidur. Aku lihat Bapak, duduk di sebelahku waktu aku terbangun, "Bapak belum sare?" Tanyaku, beliau diam, dan akupun melanjutkan kata-kataku, "Oh, Bapak sekalian nunggu sholat subuh ya Pak?" Entah, beliau menjawab atau tidak, yang jelas perasaanku mengatakan, Bapak membenarkan kalimatku, ya, beliau belum tidur karena sekalian menunggu datangnya waktu sholat subuh. Lalu aku berdiri, aku bangunkan anakku yang tertidur sembarangan diatas karpet, kasihan dia kelelahan belajar, kusuruh pindah tidur di kasur, "Nak, pindah atas sini. Ibu mau disitu, mau nulis.." Anakku terbangun lalu pindah. 

Malam terasa gerah sekali, sudah beberapa hari tak turun hujan, sepanjang siang mataharipun bersinar sangat terik. Siangpun terasa jauh lebih lama dari biasanya, hingga mungkin bumi menyimpan begitu banyak panas, sampai-sampai tengah malam beginipun masih juga terasa panas. Setelah membangunkan anakku, aku berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil wudlu. Air wudlu yang dingin menyiram kesadaranku, aku terhenyak, aku tadi ketemu Bapak kan? Masya Allah, bukannya Bapak sudah seda, tapi tadi itu....

Aku sadar, tadi aku bermimpi, tapi kenapa batas antara mimpi dan bangunku tak begitu jelas? Ah, sudahlah, segera kutuntaskan wudlu ku, dan mengawali sholat malam, aku selalu ingat, ini yang selalu dicontohkan Bapak dahulu, tak pernah tertinggal satu malampun untuk bersujud di tengah malam. Bapak, kukirim serangkai doa untuk Bapak disana. 

Bapak, aku akan selalu ingat, semenjak aku kecil meskipun Bapak lebih banyak diam dan sangat jarang memberikan nasehatnya secara lisan padaku, namun Bapak selalu memberikan contoh bagaimana menjalani hidup, kerja keras, pantang menyerah dan selalu optimis. Bangun pagi-pagi dan bertahajjud sepanjang malam. Bapak, aku akan ingat. Terimakasih Bapak, selamat menjalani episode Bapak di alam selanjutnya, semoga Allah memberkati Bapak disana."Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa'aafihii wa'fu 'anhu" Amin. 

Kamis, 09 Februari 2012

Risalah Air Mata


Bola mata tanpa air mata  seperti danau tanpa air,  danau tanpa air tak lebih hanyalah hamparan tanah yang kehilangan keindahannya. Airmata adalah salah satu bukti kesempurnaan penciptaan Tuhan atas anggota tubuh kita. Karena air mata tak hanya diciptakan sebagai tanda sedih , air mata memiliki peran-perannya yang lain.

Bila bola mata tercipta tanpa airmata, maka bola mata akan kering , bila kering pastinya akan susah untuk sekedar berkedip. Ini disebut airmata basal, dimana airmata berfungsi untuk melembabkan  mata (melindungi kornea),  dan menyediakan oksigen untuk mata, serta masih banyak funsi-fungsi lainnya. Bila bola mata terkena debu, terkena asap, atau uap bawang, airmata akan segera keluar, ini disebut sebagai air mata reflex. Dimana airmata secara reflex akan melindungi bolamata bila ada benda asing masuk, dengan cara membanjiri kotoran tersebut agar keluar dari bola mata. Yang terakhir adalah air mata emosi, yaitu airmata yang keluar akibat perubahan emosi dalam diri manusia, seperti sedih, menangis atau bahkan tertawa.

Setiap jenis airmata yang keluar tsb, konon kata para ahli memiliki komposisi hormon dan bahan kimia yang berbeda-beda. Diantara ketiga jenis airmata tersebut, airmata emosi memiliki kadar hormon prolaktin yang lebih tinggi yang membantu meredakan perasaan. Inilah yang menyebabkan kita menjadi lebih tenang setelah menangis. Jika airmata karena sedih saja mampu menenangkan perasaan, bagaimanakah dengan airmata yang mengalir karena perasaan yang tersentuh ajaran-ajaran Allah, tentunya akan menjadikan ketenangan bathin yang luar biasa. 

Senin, 06 Februari 2012

Path of Life


Pilihan-pilihan yang ditempuh dalam hidup selalu membawa konsekuensinya masing-masing. Yang dibutuhkan hanyalah satu keberanian untuk memilih dan menanggung resiko akibat pilihan hidup tersebut. Manusia tak pernah memiliki hak untuk memaksa orang lain memutuskan pilihan seperti yang dia inginkan, karena itu tak sejalan dengan Tuhan. Tuhan yang Maha Perkasa, Maha Kuasa pun tak pernah memaksa hambaNYA untuk memilih satu jalan hidup saja. DIA memberikan tawaran alternatif kehidupan dengan segala akibatnya yang merupakan pasti alam.

Dalam dudukku, aku melihat sekilas-sekilas wajah orang-orang yang pernah ada (pernah aku pilih untuk ada, lalu aku pilih untuk aku tinggalkan). Melihat mereka sedang menjalani konsekuensi dari pilihan hidupnya, ada yang membuatku miris, karena dengan gagah berani memilih jalan tanpa obor penerang, hidupnya carut cengkarut, penuh dikuasai amarah, hawa nafsu, luka, benci dan dendam. Ada yang membuatku kagum karena memilih mengabaikan hidupnya sendiri,  untuk terluka demi cinta yang lebih agung, memilih jalan kesunyian. Ada juga yang sedang kebingungan berada dalam persimpangan, dan dia tak mampu menentukan pilihannya. Hidupnya penuh dengan gundah gulana, memendam setiap cita-cita dan menyembunyikan dalam-dalam. Gamang dalam setiap keputusan, hingga yang ada adalah jiwanya berada dalam kelelahan. Dia tak sadar bahwa dengan kegamangannya pada pilihannya itu bukan saja melelahkan dirinya sendiri namun juga orang-orang disekitarnya. Karena dengan tidak segeranya dia melangkah, orang lain pun menjadi tertahan langkahnya, tertutup jalan karena dia tak kunjung beranjak.

Lalu kulihat diriku sendiri, aku mendapati diriku hanyut dalam suatu gelombang, aku tahu arah mana yang aku pilih untuk tuju, namun bekalku belum cukup untuk menantang arus kehidupan. Dipermainkan riak dan gelombang, seharusnya aku tahu, ini hanyalah tipuan-tipuan, tapi kebodohanku membuat aku hanyut. Tak seharusnya aku menangis dan ataupun mengeluh, karena itu berarti aku semakin larut dalam permainan ini. Aku tahu, yang harus aku lakukan adalah bangkit berdiri lalu pergi meninggalkan sungai yang mengalirkan air kebodohan dan tipuan ini. Namun, aku terlalu lemah dan manja. Aku butuh pertolongan. Jelaslah sudah, pertolongan hanya bisa aku dapatkan dari orang yang benar-benar kuat, sehingga bisa menarik aku keluar dari pusaran ini. Tak mungkin aku berharap dari orang yang kebingungan, yang bahkan menentukan pilihannya sendiripun tak mampu, manalah mungkin yang seperti itu menolongku. Dia akan terlalu sibuk memikirkan dirinya sendiri yang kebingungan memilih ketika melewati persimpangannya. Dan akupun tak bisa memaksanya memilih jalan dipersimpangannya agar segera bisa menolong aku. Tidak ada pemaksaan. Semua adalah pilihan. 

Minggu, 05 Februari 2012

Sentilan Kecil Guruh Sukarno Putra untuk Kita

Sejarah bagi bangsa ini, saat ini, adalah bagaikan sebentuk cerita purbakala yang sudah hampir musnah terlindas jaman. Anak bangsa sudah tak peduli lagi, darimanakah dia berasal, bagaimanakah dia sampai pada kehidupan sekarang ini. Sejarah berada dalam titik terendah keberadaannya. Generasi bangsa amat sangat apatis pada nilai-nilai kesejarahan bangsanya. Aku juga ada didalamnya, aku dibesarkan dalam zaman orde baru, yang serba teratur, manut dan tidak kritis. Sejarah adalah indoktrinasi diktat, hafalan-hafalan atas tanggal kejadian, peristiwa yang menurutku kuno, dan sejarah itu membosankan. Aku (dulu) tak pernah tertarik pada sejarah, aku tak melihat urgensi dari belajar sejarah, sejarah itu tidak keren (bila dibanding pelajaran fisika, matematika atau kimia), sejarah itu menakutkan. Ya, menakutkan, karena dimana aku belajar tentang sejarah disitulah aku menghafalkan tanggal-tanggal terjadinya perang, terjadinya genocide, pembantaian. Sejarah adalah tanggal-tanggal, kapan terjadinya perang bubat, perang paregreg, perang diponegoro, perang puputan, dan yang paling seram adalah setiap anak muda (=siswa) di jaman itu dipastikan harus menonton film Pemberantasan G 30 S/PKI yang notabene isinya adalah sadisme dan darah. Setidaknya itulah yang aku ingat tentang film tersebut. Aku tak pernah belajar sejarah untuk mempelajari karakter manusia ataupun untuk mengenali bangsaku sendiri, dan aku rasa itu terjadi juga pada generasi setelahku, termasuk anak-anakku. 

Dan sejarah menemukan ironinya, ketika aku tahu Presiden RI yang pertama adalah Sukarno, namun untuk menyebutkan namanya rasanya aku enggan. Karena di alam bawah sadarku tersimpan memori ketakutan bahwa, menyebut dirinya adalah sesuatu yang "terlarang", karena beliau adalah "terlibat" dalam satu tuduhan. Entah, begitu dalam memori tentang itu tertanam. Aku ingat betul, di perpustakaan seorang kerabat berjajar buku-buku karangan beliau, seperti, Sarinah, Di Bawah Bendera Revolusi dan buku-buku lain, namun lagi-lagi seakan-akan ada yang melarang aku membukanya. Obrolan-obralan mengenai pemikiran beliau oleh para kerabat pun aku jauhi. Sungguh pikiran bawah sadar yang diindoktrinasikan padaku teramat kuat. Akhirnya aku sebatas tahu, ya, Sukarno adalah Bapak Proklamator dan Presiden pertama RI. Sudah, hanya itu.

Namun sebuah talkshow yang aku jumpai dengan tidak sengaja di suatu sore di Yogyakarta, membangunkan kesadaranku secara penuh, bahwa ternyata aku tak pernah mengenal negaraku, bangsaku, dan tak pernah menghargai mereka yang berjuang memerdekakan bangsa ini. Aku malu. Sore itu, aku dapati  Mas Guruh Sukarno Putra menyampaikan pemikiran-pemikirannya dan tentu saja pemikiran-pemikiran ayahandanya. Awalnya tak aku ikuti dengan serius, ah biasa, pikirku, tentang Hari Lahir Pancasila, urgensi Pendidikan Karakter untuk generasi muda bangsa ini, lunturnya nilai-nilai Pancasila yang banyak dikhianati oleh bangsa ini sendiri, dan hal-hal lain yang aku sudah bosan. Hingga akhirnya saat pembawa acara meminta beliau berpesan untuk audience, beliau menyampaikan sesuatu yang sederhana, namun maknanya sangat dalam bagi bangsa ini, beliau menyampaikan bahwa penulisan ejaan nama bagi ayahandanya adalah satu kesalahan dimana orang bahkan pemerintah menuliskan dengan kata Soekarno, padahal yang benar adalah Sukarno, karena ejaan Oe adalah serapan dari bahasa belanda dan bila diucapkan dalam bahasa aslinya maka nama Bapak Sukarno menjadi berubah pelafalannya. Gugatan kecil lain adalah, bahwa penulisan nama Sukarno adalah selalu berdiri sendiri, termasuk bila harus mengikuti nama anak-anak beliau, Guruh Sukarno Putra, Sukmawati Sukarno Putri, dan seterusnya, jadi bukan Guruh Sukarnoputra ataupun Sukmawati Sukarnoputri. Karena bila dibiarkan, lama-lama menjadi parah, sebagai contoh, karena begitu seringnya nama Bung Karno dirangkai dengan nama Bung Hatta sebagai Sukarno-Hatta, apalagi sekarang digunakan untuk memberi nama bandara internasional di Jakarta, maka salah kaprah semakin parah, bandara tersebut oleh sebagian orang disebut sebagai singkatan, yakni menjadi Bandara Soetta. Sebagai generasi penerus Bung Karno, Mas Guruh merasa perlu protes, karena dengan adanya singkatan itu, semakin banyak generasi muda yang tak mengenal siapa Sukarno, siapa Hatta, banyak yang menganggap Sukarno Hatta adalah nama satu orang, semacam, Sukarno bin Hatta. Kasus ini bukan hanya satu paranoid atau kekhawatiran beliau saja, namun memang sudah terbukti, yakni manakala beliau bertanya pada salahsatu anak muda murid beliau, "Kamu tahu nama bapakku siapa?" "Tahu Pak, ayah bapak adalah Sukarno Hatta". Aku tertawa mendengar cerita beliau, tapi sungguh miris, betapa kesalahan itu bila tak diluruskan dari sekarang, dan bila dibiarkan terus, maka lama-kelamaan bangsa ini akan menjadi kabur sejarah kebangsaannya.

Lalu kritik lain adalah penulisan Yogya yang akhir-akhir ini banyak ditulis sebagai Jogja. Kembali penggunaan huruf J adalah "ikut-ikutan" bahasa Belanda -menurut beliau-, karena Yogya berasal dari bahasa sansekerta Ayodya, yang berarti juga Surga. Mendengar semua yang beliau sampaikan aku tersadar, bangsa ini benar-benar berucap dan bertindak tanpa tahu apa dasarnya, bangsa yang kehilangan jatidiri kebangsaannya dan lebih bangga pada unsur-unsur serapan asing. Bahwa aku benar-benar anak bangsa yang apatis, cuek, bahkan tanah tumpah darahku sendiri yang diberi nama begitu indah yang bermakna sebagai surga tak pernah aku hargai. Bila itu terjadi secara massal maka wajarlah bila seluruh penduduk-setidaknya kota ini- tak pernah berusaha mewujudkan kota ini menjadi surga bagi kehidupan kami. 

Hanya sebuah sentilan kecil dari mas Guruh, namun apa yang seakan ringan beliau minta itu adalah sebuah konsekuensi besar yang harus ditanggung bila terjadi pembiaran. Dan blog ini aku tulis setidaknya sebagai satu bentuk kepedulian dan jawabanku atas himbauan beliau sore itu, "Tolong teman-teman sebar luaskan informasi ini ya..."

Jumat Malam, 3 Feb 2012 di Halaman Mandala Bhakti Wanitatama 

Senin, 30 Januari 2012

Para-Human

Berawal dari keprihatinan terhadap kemerosotan moral manusia, seorang anak bangsa, koreografer tari bernama Eko Supriyanto mengusung tur tari lintas negara berkeliling Singapura, Kamboja dan Vietnam, bekerjasama dengan sanggar tari dari kamboja, Amrita Performing Arts. Karya tarian tersebut diberi label Para-Human. 

Para-Human tercipta berawal dari seorang Eko Supriyanto alias Eko Pece yang terinspirasi oleh orangutan dan prostitusi. Menurut Eko, Para-Human adalah representasi manusia yang dirasuki sifat kebinatangan.  "Di sebuah desa di Kalimantan, saya pernah menemui fenomena orangutan yang dijadikan komoditas prostitusi. Selama dua tahun praktik ini laku keras sebelum akhirnya diringkus aparat." kata Eko. Selain itu, tambahnya, Para-Human juga menyoroti bisnis prostitusi di Kamboja yang tumbuh kian pesat, "Disana saya pernah ditawari anak umur 16 tahun secara terang-terangan. Sepertinya tabiat manusia kini lebih gawat dibanding hewan." "Pentas ini diperkuat dengan konsep panggung minimalis yang hanya akan menaruh rumah anjing, sebagai simbolisasi rumah manusia yang mulai mengalami kemerosotan moral" pungkasnya.

Berita diatas yang diulas dalam sebuah koran lokal di Jogjakarta kemarin pagi, membuat aku terhenyak membaca kenyataan-kenyataan yang diungkapkan seorang Eko Supriyanto. Isi perut serasa diaduk-aduk melihat betapa disitu ayat-ayat Allah benar-benar terbukti nyata. Allah berfirman bahwa, manusia adalah sebaik-baik makhluk yang telah diciptakan Allah, apabila dia beriman, mau menanggapi dan melaksanakan apa yang menjadi ajaran Allah yang dicontohkan oleh para utusanNYA. Namun bila manusia mempergunakan organ-organ tubuhnya tidak untuk menanggapi ajaran Allah maka manusia seperti hewan ternak bahkan lebih rendah dari itu. Mereka itulah orang-orang yang lengah. Nau'dzubillahi min dzalik.

Sungguh dalam jaman yang  keruwetannya sudah mengglobal ini tak ada lagi yang bisa kita lakukan kecuali, menyelamatkan diri kita masing-masing dan keluarga terdekat kita agar tidak menjadi manusia yang lebih rendah dari binatang, berkarya semampu kita dalam bidang yang ditekuni masing-masing, seperti halnya Eko yang menyuarakan kemanusiaan dari tarian yang dia ciptakan. Semangat!!

sumber : Harian Jogja, 30 januari 2012;
QS At Tiin 4-6
QS Al A'raf 179


Sabtu, 28 Januari 2012

AARRRGGGGHHHHH !!!!!!

Sore tadi pukul 17.15 di Bandara Adisucipto Yogyakarta, kakiku melangkah bergegas, berharap masih bisa  bertemu adik iparku sekadar bersalaman dan urun doa restu. Hari ini dia berangkat ke California, katanya transit dulu di Jakarta lalu lewat Hongkong. Entah, dimanakah itu, pastinya jauh sekali. Meskipun semua sudah kupercepat, tapi ternyata sampai sana aku tinggal melihat ekor pesawatnya yang sudah tinggal landas. Ya sudah setidaknya aku bisa ada di dekat adikku dan ponakanku sekadar membuat tidak sepi sesaat saja. Kami berbincang-bincang sebentar, lalu aku pamit kembali ke tempatku kerja. Entah kenapa, dalam perjalanan pulang, rasa haru menyeruak begitu dalam, aku menangis sendiri, teringat mata berkaca-kaca adikku melepas suaminya. Lalu satu pikiran melintas, semua ini tak perlu terjadi bila negara ini bisa mencukupi semua kebutuhan kami, rakyat negeri ini. Suami adikku tak perlu jauh-jauh mencari uang sampai ke Amerika sana hanya untuk menjadi buruh!!! Dia harus meninggalkan adikku dan ponakanku disini hingga berbulan-bulan, demi dolar yang nilainya 9000 kali nilai rupiah. Karena rupiah tak pernah lagi mampu menutupi kebutuhan hidupnya. Rasa haru, marah dan entah protes apalagi dan pada siapa bercampur aduk jadi satu. Arrrggghhh!!

Ketika bangsa ini memproklamasikan kemerdekaannya kepada dunia, the founding fathers berdiri dengan gagah di mimbar dengan penuh kepercayaan diri, yakin, bahwa kedepan bangsa kita akan mampu berdikari -berdiri diatas kaki sendiri- alias mandiri, berdaulat tidak lagi berada dibawah ketiak bangsa asing, sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. hal tersebut tercermin secara jelas dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yang secara gamblang dan penuh percaya diri mengemukakan sebuah optimisme, harapan  yang begitu tinggi bahwa bangsa kita mampu menghidupi dirinya sendiri dengan baik. "Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausamengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur". Bahkan didalam undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 2 dengan jelas dikemukakan bahwa ,"Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan."  Alangkah indahnya konsep berbangsa yang disusun para pndahulu kita.

66 tahun sudah berjalan. Negeri ini ternyata tak semudah itu berdiri diatas kakinya. Dulu, rakyat melawan penjajah yang berasal dari bangsa asing. Namun sekarang, bangsa ini bahkan tak tahu lagi siapa yang hendak dilawan. Tata kehidupan semakin carut marut, untuk mendapatkan sesuap nasi, bagi sebagian orang terasa begitu sulit. Bekerja dari pagi sampai pagi lagi tak membuat tercukupi kebutuhan hidupnya (apalagi kaya!), bahkan hutang menumpuk dimana-mana, gali lubang tutup lubang sekadar untuk menyambung hidup. Menjadi buruh bagi perusahaan asing di negeri sendiri, dengan pendapatan yang terkadang masih kurang layak. Ironis lagi, bahkan menjadi buruhpun sudah tak ada peluang, hingga harus menengadahkan tangan di tepi jalan, bahkan mati kelaparan. Bagi para pemberani seperti adikku, mereka bagaikan pahlawan yang berjuang di medan laga, di negeri asing. Menantang sejuta resiko.

Salahkah aku bila akhirnya bertanya, lantas dimanakah fungsi Negara bagi kami rakyat kecil, kaum pinggiran? Dimanakah hak kami untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak?? (Apalagi yang layak??, mendapat penghidupan sekadarnya dan pekerjaan seadanya saja kebanyakan tak ada) Maasih perlukah ada Negara?? Lantas, Negara ini ada untuk siapa??

Sayup-sayup syair itu menggema dalam angan-anganku, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, apakah itu negeri di swargaloka yang hanya ada di dalam dongeng?


Dedicated for Jamallu's family (Iqbal, Ima, Ama), semoga Allah selalu memberikan berkah untuk setiap usaha dan pengorbanan kalian, semoga keselamatan, kesehatan dan kemudahan selalu untukmu, amin

Selasa, 24 Januari 2012

Menuju Cahaya

http://leiaazzahra.blog.com/files/2010/01/lightpath.jpg
Hidup harus terus berjalan, dan terus berjalan menuju satu cita-cita, kemuliaan dan tegaknya satu peradaban dalam bimbingan Tuhan. Hari ini sampailah perjalananku pada satu tempat dimana aku harus memilih untuk meninggalkanmu. Tak bisa ditawar lagi. Bukan karena aku tak kasihan padamu, bukan karena aku tak peduli lagi padamu,  bukan karena aku aku tak menyayangimu lagi, namun inilah yang harus aku tempuh, aku merasa inilah jawaban dari Tuhan, atas doa-doa yang setiap hari aku panjatkan.

Aku tahu, tangismu, lumpuhmu, terpurukmu, aku tahu. Tapi inilah yang Tuhan katakan, dan aku lebih mencintai DIA (dan ilmu-ilmunya tentang bagaimana aku harus hidup dan mati) dari segala hal yang ada di dunia.

Aku mengemban tugas kehidupan yang sarat, yang takkan membiarkan aku berada dalam keterombang-ambingan perasaan, karena itu akan mengaburkan makna sejati tugas kehidupan. Namun aku juga menyadari kemanusiaanku yang terkadang masih berada dalam kerendahan derajat kemanusiaan. Tak apa. Wajar bagi seorang manusia dalam pencariannya terkadang harus terjerembab dalam kubangan permasalahan dunia, kebingungan dalam menentukan sikap dan arah. Hingga tak bisa membedakan antara nikmat dan ujian. 

Bukan aku tak bahagia bertemu lagi denganmu, tapi nikmat kehidupan yang datang dariNYA pastilah tidak akan menyisakan kepedihan bagi seseorang yang lain. Bila satu keindahan membuat kesakitan bagi yang lain itulah naar kehidupan. Itu bukan nikmat, namun cobaan. Aku takkan pernah bisa tertawa diatas tangis orang lain, aku tak ingin mewujudkan naar bagi kehidupan seseorang. Aku ingin hidupku menjadi rahmat bagi manusia lain. Dan aku tahu pasti dirimu memahami aku seperti aku memahami diriku sendiri.

Satu terimakasihku yang tak berhingga, karena hari ini melalui dirimu, melalui apa yang kita lewati, aku benar-benar mengerti apakan satu kehidupan Jannah* itu. Satu kehidupan penuh kasih sayang yang diibaratkan kebun yang dibawahnya mengalir sungai-sungai. Sayangku, dalam satu kebun setiap pohon  tak pernah serakah, sehingga air yang mengalir itu akan dia ambil secukupnya saja sehingga makhluk lain tetap bisa menggunakannya hingga sampai di hilir sana. Dan pohon-pohon menghasilkan buah, yang buahnya tersebut tidak berguna bagi dirinya namun sangat berguna bagi makhluk yang lain. Biarkan aku menjadi pohon, dan bisa memaknai kasih sayang dalam arti yang luas, untuk setiap manusia, biarkan buahku menjadi hikmah bagi orang lain yang membutuhkan pelajaran hidup. Satu pintaku, tetap beningkan jiwamu, selalu perbaiki diri dalam pencarianmu akan ilmu Tuhan, jadilah hamba pilihanNYA yang selalu bisa "memilih" jalan cahayaNYA. Tak perlu kau cari aku ada dimana, aku tak kemana-mana, aku dalam genggaman kuasaNYA. Selamat berjuang. 

@untuk seseorang yang pernah ada dan mengisi hidupku, inspirasi terbesarku mengenai Jannah dan cinta pada kedua orangtua yang tak pernah terkalahkan oleh apapun, my beloved puntadewa, selamat berjuang dan berbahagialah selalu.

* Jannah arti asalnya bukanlah surga (surga berasal dari bahasa sansekerta). Hanya para mubaligh di Indonesia menerjemahkan kata Jannah dalam al Quran sebagai surga. Makna harfiah Jannah adalah kebun atau taman. (M Quraish Shihab, 2000, Tafsir Al Misbach.  Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran. Ciputat. Lentera Hati.)

Minggu, 22 Januari 2012

A Game of Shadows

Hujan malam ini tak menyurutkan niat kami untuk menonton aksi Sherlock Holmes, tanpa berbekal resensi, kami ikuti saja alur cerita yang diawal terasa sangat membingungkan, sampai dua pertiga film masih tak jelas kejahatan apa yang direncanakan oleh sang tokoh antagonis. Aku bahkan tak tahu kasus apa yang akan ditangani Mr Holmes, potongan-potongan kejadian seakan terjadi secara acak. Pelan-pelan mulai terbaca olehku, sebuah penggambaran perlawanan kecil terhadap sesuatu kejahatan yang sangat besar, tersembunyi, rapi dan tanpa meninggalkan jejak ataupun bukti. Adalah sebuah keberanian kemanusiaan yang sungguh luarbiasa dari segolongan kecil kaum gypsi plus Dr Watson dan Mr Holmes, yang mana mereka tak ada apa-apanya dibanding kekuatan, kekuasaan dan kekayaan Mr Moriarty yang harus mereka hadapi. Namun atas nama kemanusiaan, cinta dan solidaritas, mereka memiliki kekuatan yang berlipat-lipat. Perlawanan mereka walaupun tak pernah bisa menumbangkan keserakahan dan kekuasaan jahat yang demikian besar, namun setidaknya bisa menghentikan satu oknum kejahatan. 

Film itu membuat aku teringat sebuah buku yang ditulis John Perkins yang pernah menghebohkan dunia, mengenai sebuah kejahatan perekonomian yang sangat besar yang (seakan-akan) takkan terlawan. Confession of an Economic Hitman, pengakuan seorang mantan preman penjahat ekonomi dunia. Mungkin tak sama persis dengan apa yang dilakukan Moriarty, namun setidaknya ada kesamaan dimana keduanya melakukan kejahatan, menanggalkan hati nurani demi kepuasan keserakahan (yang tak pernah ada titik kepuasannya) dan demi kekayaan. Sehingga bagi mereka adalah sah melakukan penyuapan, pemerasan, pelacuran, serta pembunuhan yang terencana dan keji. Namun apa yang dilakukan penjahat-penjahat seperti itu tak pernah nampak nyata, mereka adalah seperti bayangan, mereka melarutkan diri dalam sistem korporat dan birokrasi, korporatokrasi. Celakanya, apa yang ada di film terasa begitu jauh dari negeri ini, namun tidak dengan apa yang ada di dalam pengakuan John Perkins. Blak-blakan dia mengakui pernah ditugaskan untuk memetakan (mengacak-acak) kekayaan Indonesia untuk secara sistematis disedot oleh mereka.

Bangsa ini sudah berada dalam cengkeraman kekuatan tak terlihat itu. Dan bahkan para pemimpin bukannya menjadi pembela bagi rakyat pemilik negara ini, namun justru, mungkin, menjadi pembela korporatokrasi itu. Undang-undang Dasar yang dibuat para Bapak Bangsa terdahulu sudah tak ada harganya dimata para pemegang kekuasaan dan bahkan yang mengatas namakan wakil rakyat, "Bumi, Air dan Kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." tinggalah sebuah ironi. Segala tambang emas, minyak, bahkan air pun dikuasai oleh kekuatan asing. Air untuk minumpun sekarang kita harus membeli dari galon-galon asing, mungkin nantinya udarapun kita harus membeli. Kesenjangan kehidupan semakin terasa.

Negara ini katanya sudah lebih dari 66 tahun, kekayaan negara ini tak diragukan lagi oleh siapapun, air melimpah, kayu, bahan makanan, tambang, nyaris tak ada bahan-bahan kebutuhan hidup yang tak kita punyai. Tapi masih juga terdengar berita-berita kematian yang mengenaskan hanya karena tak bisa makan. Aku teringat berita di koran Merapi, Sabtu kemarin, di sebuah desa bernama Kedunggong, Jeruksawit, Gondangrejo, Karanganyar, seorang bocah berumur 11 tahun, gantung diri karena pada saat makan dia tak kebagian sambal yang merupakan satu-satunya lauk bagi anak kelima dari tujuh bersaudara itu. Betapa himpitan ekonomi, kemiskinan yang amat sangat sampai membuat seorang anak-anak melakukan hal yang tak seharusnya terjadi di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini. Di negeri yang terjanji subur, banyak rakyat yang mati kelaparan.   

Pertanyaannya adalah, masihkah negara ini akan terus menerus mengikuti permainan yang sudah jelas-jelas diatur siapa yang akan menjadi pemenangnya ini? Dimanakah keyakinan bangsa ini atas kuasa Tuhan terhadap kelangsungan hidup bangsa ini ataukah lebih memilih keyakinan pada bantuan utang luar negeri yang pasti akan bunga-berbunga tiada habisnya hingga kering semua tambang, hingga roboh semua hutan, hingga kering keringat dan darah bangsa ini. Negeri ini memiliki semuanya, namun negeri ini melupakan rakyat dan Tuhannya. (Wallahu'alam)

Ini hanyalah catatan kecil seorang rakyat jelata yang merindukan sosok pemberani, pembela bangsa ini, mungkinkah ada Sherlock Holmes di negeri ini? Tentu saja tidak, karena Sir Arthur Conan Doyle menciptakan tokoh itu ada di Inggris sana. Disini kami membutuhkan Bung Karno, Gadjah Mada, Sultan Hassanudin, Pangeran Diponegoro, Cut Nya Dien dan pahlawan-pahlawan kami yang gagah berani, karena telah terasa sangat lelah kami berjuang hanya untuk sekedar sesuap nasi dan satu tempat untuk berteduh di negeri kami sendiri. Bila kami saja susah memikirkan apa yang akan kami makan besok, bagaimana dengan anak cucu kami nanti. Sudahi permainan ini, let's end the game of shadow, may Allah bless us. 

Sabtu, 21 Januari 2012

Rumah Kayu, Sebuah Penantian Panjang


Tepat tengah malam, perempuan itu terbangun ketika aku datang berkunjung, rupanya dia tertidur di beranda rumah kayunya. Dia menggigil kedinginan. Angin malam begitu keras menerpa, dan hujan rintik-rintik menambah dingin udara. Semalaman, masih juga dia setia menunggu kekasihnya yang sudah bertahun-tahun tak pernah lagi datang mengunjunginya. Dia selalu percaya, kekasihnya pasti akan datang padanya walaupun entah kapan. Sebuah keyakinan yang membuatku kagum sekaligus heran. Betapa setianya dia pada sesuatu yang tak pasti. Aku ulurkan jaket yang aku kenakan padanya untuk sekedar menepis dinginnya malam. 

Aku beranjak ke halaman rumahnya, yang berada di tepi sungai dan dikelilingi pepohonan yang cukup rapat, aku ambil beberapa kayu bakar dan mulai menyalakan api unggun. Damai sekali disini, sesekali terdengar suara burung malam diselingi suara katak diantara gemericik air dan desau angin yang menggesek dedaunan. Api mulai menyala menghangatkan badan, perempuan itu beringsut menyodorkan secangkir teh hijau kesayangannya, kami mulai bercakap-cakap, "Mbakyu suka sekali teh hijau ya?" aku memulai percakapan.      "Teh hijau selalu mengingatkanku pada dia" Jawabnya. Mbakyu ini pasti sangat mencintai kekasihnya. "Mbakyu, apakah Mbakyu tidak kesepian di rumah ini sendiri?" aku memberanikan diri bertanya. "Sepi adalah sahabatku, dalam sepi aku menemukan keindahan sebuah penantian, tak tergambarkan olehku bagaimana nanti bahagianya bila dia datang". Trenyuh aku mendengarnya, karena aku tahu, kekasihnya takkan pernah datang, beberapa tahun yang lalu kekasih yang begitu setia menemani hari-harinya tiba-tiba meninggalkan dirinya untuk menjalani hidupnya dengan perempuan lain. "maaf, apakah tidak sebaiknya Mbakyu membuka diri untuk kekasih yang lain, bukankah diluar sana masih banyak harapan?" kataku. "tidak, tak ada yang bisa mengerti dia sebaik aku dan tak ada yang bisa mengerti aku sebaik dia, kami terlahir satu jiwa yang terbelah, kalaupun kami saat ini tak bisa bersama itu hanya karena masih ada tugas yang harus dia selesaikan, dia saat ini tidak bahagia, aku merasakannya tanpa dia mengatakannya padaku, aku merasakannya." mata perempuan itu menerawang, menggenangkan air mata yang segera ia usap. Aku belum pernah melihat kekuatan cinta sebesar ini, hampir aku berfikir, ini cinta, kesetiaan ataukah kebodohan? Perempuan itu melanjutkan kata-katanya, "aku masih teringat ketika terakhir bertemu dengan dia, dia berkata, janganlah bersedih karena cinta yang tak dapat kau raih, cinta ibarat permata yang berkilau dan mengeluarkan cahaya. Kau dapat menikmati keindahannya walau kau tak dapat memilikinya." "Dan Mbakyu meyakini itu?" tanyaku. Dia mengangguk. "Mbakyu, aku justru menangis melihat dirimu, kau akui atau tidak, dirimu terluka Mbakyu. Kalau bagiku, cinta sudah terkubur sejak tak lagi jujur".  Perempuan itu terkejut, terhenyak dan menjawab, "dia jujur padaku, dia menerima cinta lain karena terpaksa". Aku menggelengkan kepalaku, "Mbakyu, kejujuran tetaplah bukan kesetiaan".  Perempuan itu terdiam, airmatanya mengalir deras, jiwanya guncang. Masihkah dia harus menanti di Rumah Kayu nya yang sepi??
cinta bukanlah tempat dimana kau bisa datang dan pergi, cinta adalah rumah dimana kau datang dan tak pernah pergi

Jumat, 20 Januari 2012

If I Should Speak

Dengan susah payah aku terbangun, rasa ngilu masih terasa di sekujur persendian. Masih agak pusing. Aku tengok telepon genggamku, masih seperti semalam, dalam posisi off. Memang, malam tadi aku ingin sendiri, tak ingin seorangpun menggangguku, tak seorangpun. Aku ingin menikmati sejuta galau dan pertempuran dalam kepentingan dalam otakku. Medan perang terbesar adalah di otak, selalu kuingat kata-kata itu. Apalagi ketika kita tak mampu menyuarakan apa yang terjadi sebenarnya, apa yang kita rasakan, apa yang menjadi kehendak kita. Semua hal itu menjadi aliran gelombang yang saling bertabrakan, dan mengacaukan frekuensi otak, merembet ke kacaunya frekuensi jantung dan kacaunya seluruh sel-sel tubuh, rasa sakit yang amat sangat.  

Tak ada yang bisa menolong, karena memang mereka tidak tahu, dan mereka tidak tahu karena memang aku tak bersuara. Aku tak menyuarakan keinginanku karena memang aku tak mampu. If I should speak.

Aku tahu badan ini lelah, luar biasa lelah, namun mata ini tak mau kompromi, masih juga terbuka. Tapi aku tahu bila kubiarkan pasti besok pagi aku tak mampu terbangun. Akhirnya aku berussaha keluar dari semua kekacauan dalam otakku, aku pergi ke sebuah tempat yang teduh, hijau, dipinggir sungai nan gemericik, suara kodok bersahutan, angin dan sayup-sayup suara gamelan. Terasa betapa tenang, tentram, syahdu. Aku terbaring di rerumputan, tanpa beban, dalam hati hanya menyebut nama Tuhan, "Tuhan, tiada daya dan upaya selain dari kuasaMu. Tuhan, Engkaulah sebaik-baik penolong, aku memohon pertolonganMU" "Tuhan semua datang dari Engkau, bila ku tak kuasa lagi, maka aku kembalikan lagi padaMU, terjadilah menurut kehendakMU". Malam itu hanya ada aku, tak ada siapapun di sekitarku, hanya ada pohon-pohon, sebuah rumah kayu ditepi sungai, rerumputan dan aku yang terbaring diatasnya. Aku telah melepas semuanya, ringan, tanpa beban. 

Fajar mulai merekah di ufuk timur ketika mataku terbuka, akhirnya aku tertidur lelap semalam. Gemericik air wudlu membangunkan kesadaranku. Membasuh seluruh kekotoran jiwa. Seusai menghadapNya, kulantun seuntai do'a, Tuhan aku memang bukan hambaMu yang sempurna, namun setidaknya masih kau terangi aku dengan cahaya kasihMu, sehingga tak buta mata hatiku, masih terdengar suara hati nurani di jiwaku dan aku mendengarkannya. meskipun mulutku tak mampu berucap, namun aku yakin Engkau Maha Tahu apa yang telah terjadi padaku, dan Engkau Maha Tahu apa yang menjadi keinginanku, dan aku yakin, pasti, KAU berikan yang terbaik untuk hidupku. Karena cita-citaku masih satu, mendukung tegaknya peradaban berdasar ilmuMU. Amin.



Rabu, 18 Januari 2012

Berlalulah

Lelaki itu mendatangiku, bertahun-tahun yang lalu. Memasuki hidupku yang sedang porak poranda, dan membantuku menata serpih-serpih kehidupanku. Lelaki itu selalu ada disaat aku membutuhkan. Hari demi hari dirajut dengan tawa. Aku yang sendiri tak merasa sepi lagi. Aku bahagia. 

Lelaki itu terdiam pada suatu hari, aku merasakan ada beban yang sangat berat yang dia tanggungkan, aku mencoba menanyakan ada apa, namun jawabannya hanyalah, "aku tak tahu, semua gelap"

Lelaki itu berurai air mata, hari itu dia mengatakan dia harus menjawab panggilan keluarganya untuk membangun sendiri bahteranya, bukan dengan aku, dengan sosok yang lebih sempurna. Seperti dihantam halilintar, hari itu aku limbung. Sulit membedakan akal waras dan kegilaan, sulit memilih akankah aku kuat terus melanjutkan hidupku atau memilih jalan pembebasan dari segala sakit dunia. Aku hampir mati. 

Menghujat, Bersumpah, kemarahan yang menyala-nyala, kesedihan yang begitu dalam, rasa tercampak, tak berguna, serasa manusia terburuk di dunia karena rasa tertolak. 

Adalah sahabat-sahabatku yang bijak, yang setiap hari menuntunku, meyakinkanku bahwa aku pasti bisa berdiri kembali, bahwa hidupku sangatlah indah, bahwa aku masih memiliki kekuatan iman, Tuhan masih ada, begitu kata teman-temanku. Aku mencoba menemukan diriku. Menghilangkan semua hal tentang lelaki itu. Semua hal, tak kusisakan tempat untuknya lagi. Aku tenang, aku bahagia dengan hidupku.

Setiap peristiwa terjadi atas kehendak Tuhan, tanpa kecuali. Tanpa kecuali juga saat lelaki itu mendatangiku lagi, membawa sejuta beban yang sarat di bahunya. Lelaki itu mengulurkan tangannya. Namun aku tahu, tak mungkin aku menerima uluran tangannya. Aku hanya bisa iba. "kenapa kau datang lagi" tanyaku padanya, "tanyalah pada Gusti, kenapa". Jawabnya. "Semua sudah terlambat, biarkan aku mencintaimu hingga terluka, lebih agung untukku melukai diriku daripada merendahkan diri merenggutmu dari istanamu. Biarkan aku sendiri, jalanilah takdirmu yang telah kau pilih sendiri dua tahun yang lalu."

Aku mengeras, kembali menjadi batu karang, memandangmu Lelaki yang hidup dalam bayang-bayang. Berlalulah.

Merindukanmu (di) Ullen Sentalu

Aku tahu tempat itu tepat dua tahun lalu. Beberapa teman mengatakan, tempat itu bagus, unik, apik. "Bagus Rin, kapan-kapan kamu harus kesini...suerrr,,,bagus!!!" Kata seorang teman yang baru saja liburan ke Yogya dan berkunjung kesana. "Iya deh..." Jawabku. Tapi aku tak punya hasrat untuk kesana. Beberapa bulan setelah itu aku ikut pelatihan di Wisma Kinasih, tepat di depannya, dua hari satu malam. Aku tanya kepada trainerku, "Pak, museum Ullen Sentalu yang mana sih? katanya deket sini..." " Lha itu lho mbak, di depan." Kata dia sambil menunjuk tempat di seberang jalan. "Ooo... isinya apa Pak", "Isinya ya macem2, kalo yg suka sejarah ya seneng. Kesana aja mbak,". Aku longokkan kepala melalui jendela wisma, yang terlihat hanya semacam bangunan tua dengan rimbun semak belukar. "Ah, kayaknya serem.. enggak deh Pak" jawabku.
Setahun setelah itu, kembali seorang teman mengajakku kesana, namun dengan beberapa pertimbangan, kamipun urung mengunjungi Ullen Sentalu. Dan akhirnya, Ullen Sentalu tersimpan rapi dalam benakku saja. Hingga hari itu.

Dua tahun kemudian. Suatu sore, tanpa rencana. Aku dan dia menyusuri jalanan, tanpa jalanan. Dia menawarkan Musim Merapi Volcano, "males ahh, gausah" kataku. Kembali kami susuri jalanan tanpa tujuan, berkali-kali aku menghela nafasku, "hhhhhhh...." entah, aku sendiri tak tau beban apa yg ada. "kamu kenapa, dari tadi menghela nafas, kayaknya ada yang berat" "enggak, aku gapapa." Jawabku. "eh, Ullen Sentalu! belok-belok!!" kataku setengah teriak. Lalu kami memasuki satu jalanan kecil, terlihat satu gerbang tua seperti di Jurrasic Park. Amazing. Seperti melompat jantungku, baguuss banget. Inikah tempatnya...? 
"Wah, keren ya" dirimu mengiyakan sambil terlontar khayalan-khayalanmu yang membuatku tertawa. Sepuluh menit kemudian, kami sudah berdiri di depan pintu masuk, "Ndalem Kaswargan" tertulis di depan pintu masuk. Seketika moodku berubah bersemangat, tempat ini begitu indah, eksotis. Seakan-akan kami dibawa ke alam lain, di sebuah taman yang tak mengenal persaingan dan keserakahan. Tenang dan damai. Damai yang dalam... damai, aku senang disini. Just like a heaven maybe... "Aku pingin ke dalam, tiketnya dimana ya?" Dia tidak menjawab, tapi bertanya pada seorang bapak yang baru saja datang, "Pak, kalau masuk lewat mana? lalu loket tiketnya dimana ya?" "waduh mas, hari ini tutup, mas besok aja kesini" Jawab bapak itu. "yahhhhh,,,gada dispensasi ya Pak? dari jauh nih..." kataku. "maaf mbak" hanya itu yang dia katakan, lalu segera menghilang ke balik gerbang tua. Hhhhh.... kembali aku menghela nafas. Aku alihkan pandangan ke atas benteng bangunan  yang sengaja dibiarkan ditumbuhi lumut dan sulur-sulur pohon, paduan yang eksotis sekali, aku hela nafas membuang kecewa, huuuuffhhh. Terbayang dimataku, didalam sana pasti indah sekali, pasti banyak  sejarah terangkai, pasti banyak filosofi hidup utk inspirasi, berkali-kali kubuang nafas kecewa. Seakan tahu, kau segera mengulurkan tanganmu merengkuhku, "Ya udah, besok lain kali kita kesini lagi, oke" katamu. Akhirnya, hari itu tak ada keindahan Ullen Sentalu yang sudah di depan mata. Entah kapan, aku harus kesini lagi. Ullen Sentalu.

Minggu, 15 Januari 2012

Ikhlas was Light On

"Ajari aku tentang tidak melekat, tentang melepaskan sesuatu yang begitu dalam tertancap, " Pintaku pada seorang sahabat. "Pada hakekatnya setiap manusia pasti mudah lekat. Namun, kelekatan itu adanya di perasaan, cobalah renungkan sungguh-sungguh, apakah dengan terlepas dari yang membuatmu lekat itu akan membuatmu mati? Apakah jika kita tidak menjadi bagian hidupnya kemudian menjadikan nilai kemanusiaan kita jadi berkurang? Tidak sahabatku," Katanya, " Melepas itu mencintai sampai terluka demi kebahagiaan orang lain, dan kita akan menemukan kebahagiaan tersendiri ketika melakukan itu" Lanjutnya. 

Ketika sahabatku berbicara padaku masih berontak dalam hatiku, otakku bergejolak, mungkin bila dilihat dalam grafik Elektro Kardio Graf (EKG) dan Elektro EnsefaloGraf (EEG) akan terlihat seperti grafik seismograf waktu terjadi gempa 9 skala richter, ruwet. Aku jalani hari-hari yang penuh dengan perang batin, perang dalam pikiran. Lelah sekali rasanya, tapi aku seperti orang kecanduan, masih juga aku jalani keruwetan-keruwetan itu. Berputar-putar dalam keruwetan tanpa akhir.

Beruntungnya aku, Tuhan masih memberikan aku naluri untuk kembali pada akal budi, eling. Aku merasa di titik terendah kemanusiaan, karena telah menghujat takdir. Terpuruk dalam sujud panjang, "Tuhan hamba sowan, ampuni hamba...". Usaha tak cukup berhenti pada doa, aku harus memperbaiki pikiran dan jiwaku. Aku kumpulkan buku-buku tentang ilmu Ikhlas, Hukum tarik menarik, dan cara-cara meng upgrade otak dan DNA. Bagaimanapun sel sel otak harus di rekonstruksi supaya tidak dikendalikan ego. "Medan perang terbesar adalah otak" kata buku Quantum Ikhlas, ya benar. Pada saat pikiran terasa cemas atau marah, saat itu otak kiri dan kanan tidak harmonis, sehingga perasaan hati menjadi kacau. Pekerjaan berantakan karena sulit berkonsentrasi. Lalu, bila memang demikian adanya untuk apa aku biarkan berkepanjangan, hal ini akan merusak hidup dan kehidupanku dan orang-orang di sekitarku. Aku harus bisa mengatasi ini semua. Aku harus bisa sampai pada satu titik itu, dan menekan tombol "on", ikhlas was light on. 

Aku tersenyum, lepas semua beban yang menghimpit. Melepas justru menjadikanku lebih berharga dan bersinar. Terkadang kita harus terluka untuk keselamatan dunia ini. Bila kita bisa menerima sakitnya, akan menjadi berkat buat kita, dan Tuhan punya hitunganNYA tersendiri atas rasa sakit dan pengorbanan kita. Tak ada yang sia sia dimata Tuhan. Namun bila kita tidak terima atas semua sakit, yang adanya hanyalah rasa sakit itu sendiri. Dalam pasrah sujud malam, aku menemukan makna ikhlas melepaskan, bukan hilang, hanya tidak lekat, dan bila Tuhan mengijinkan pasti akan datang waktunya utk bisa bersama lagi. InsyaAllah.


Terimakasih utk sahabat dan buku-buku yang mengispirasi dan membantu menemukan tombol ikhlas. 
and of course, thanks to Allah for give me a wonderful life, alhamdulillaah