Sabtu, 21 Januari 2012

Rumah Kayu, Sebuah Penantian Panjang


Tepat tengah malam, perempuan itu terbangun ketika aku datang berkunjung, rupanya dia tertidur di beranda rumah kayunya. Dia menggigil kedinginan. Angin malam begitu keras menerpa, dan hujan rintik-rintik menambah dingin udara. Semalaman, masih juga dia setia menunggu kekasihnya yang sudah bertahun-tahun tak pernah lagi datang mengunjunginya. Dia selalu percaya, kekasihnya pasti akan datang padanya walaupun entah kapan. Sebuah keyakinan yang membuatku kagum sekaligus heran. Betapa setianya dia pada sesuatu yang tak pasti. Aku ulurkan jaket yang aku kenakan padanya untuk sekedar menepis dinginnya malam. 

Aku beranjak ke halaman rumahnya, yang berada di tepi sungai dan dikelilingi pepohonan yang cukup rapat, aku ambil beberapa kayu bakar dan mulai menyalakan api unggun. Damai sekali disini, sesekali terdengar suara burung malam diselingi suara katak diantara gemericik air dan desau angin yang menggesek dedaunan. Api mulai menyala menghangatkan badan, perempuan itu beringsut menyodorkan secangkir teh hijau kesayangannya, kami mulai bercakap-cakap, "Mbakyu suka sekali teh hijau ya?" aku memulai percakapan.      "Teh hijau selalu mengingatkanku pada dia" Jawabnya. Mbakyu ini pasti sangat mencintai kekasihnya. "Mbakyu, apakah Mbakyu tidak kesepian di rumah ini sendiri?" aku memberanikan diri bertanya. "Sepi adalah sahabatku, dalam sepi aku menemukan keindahan sebuah penantian, tak tergambarkan olehku bagaimana nanti bahagianya bila dia datang". Trenyuh aku mendengarnya, karena aku tahu, kekasihnya takkan pernah datang, beberapa tahun yang lalu kekasih yang begitu setia menemani hari-harinya tiba-tiba meninggalkan dirinya untuk menjalani hidupnya dengan perempuan lain. "maaf, apakah tidak sebaiknya Mbakyu membuka diri untuk kekasih yang lain, bukankah diluar sana masih banyak harapan?" kataku. "tidak, tak ada yang bisa mengerti dia sebaik aku dan tak ada yang bisa mengerti aku sebaik dia, kami terlahir satu jiwa yang terbelah, kalaupun kami saat ini tak bisa bersama itu hanya karena masih ada tugas yang harus dia selesaikan, dia saat ini tidak bahagia, aku merasakannya tanpa dia mengatakannya padaku, aku merasakannya." mata perempuan itu menerawang, menggenangkan air mata yang segera ia usap. Aku belum pernah melihat kekuatan cinta sebesar ini, hampir aku berfikir, ini cinta, kesetiaan ataukah kebodohan? Perempuan itu melanjutkan kata-katanya, "aku masih teringat ketika terakhir bertemu dengan dia, dia berkata, janganlah bersedih karena cinta yang tak dapat kau raih, cinta ibarat permata yang berkilau dan mengeluarkan cahaya. Kau dapat menikmati keindahannya walau kau tak dapat memilikinya." "Dan Mbakyu meyakini itu?" tanyaku. Dia mengangguk. "Mbakyu, aku justru menangis melihat dirimu, kau akui atau tidak, dirimu terluka Mbakyu. Kalau bagiku, cinta sudah terkubur sejak tak lagi jujur".  Perempuan itu terkejut, terhenyak dan menjawab, "dia jujur padaku, dia menerima cinta lain karena terpaksa". Aku menggelengkan kepalaku, "Mbakyu, kejujuran tetaplah bukan kesetiaan".  Perempuan itu terdiam, airmatanya mengalir deras, jiwanya guncang. Masihkah dia harus menanti di Rumah Kayu nya yang sepi??
cinta bukanlah tempat dimana kau bisa datang dan pergi, cinta adalah rumah dimana kau datang dan tak pernah pergi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar