Selasa, 01 November 2016

Memahami Kebenaran

Dengan perkembangan media sosial akhir-akhir ini, masyarakat awam bisa begitu mudah menumpahkan segala pemikiran, idealisme, keyakinan, dan segala hal yang dianggap sebagai kebenaran. Berjuta-juta orang mengatakan hal yang menurut dirinya benar, lalu beberapa berdebat, saling tuding, dan adu argumen. 
Sebenarnya, bila yang dibicarakan adalah sama-sama kebenaran, mengapa terjadi pertentangan ?  

Teman saya, seorang dokter, pernah mengatakan tentang hal ini, beliau bercerita, “Ya, dulu waktu SD ketika ada orang bertanya kepada saya apakah sehat itu, saya akan menjawab, sehat itu ya nggak sakit. Lalu ketika sudah belajar ilmu kedokteran, sehat itu bukan sekedar tidak sakit, namun ada banyak kriteria sehingga seseorang bisa dikatakan sehat. Saat itu saya merasa definisi sehat yang saya pelajari sudah sempurna. Namun, ketika saya belajar ilmu pengobatan timur yang lebih holistic, kesehatan menurut ilmu kedokteran yang saya pikir sudah sangat sempurna, ternyata masih belum sesempurna definisi kesehatan menurut pengobatan holistic, dimana sehat adalah keseimbangan fisik dan jiwa. Bukan hanya fisik saja.”  “dari situ saya bisa memahami, tentang kebenaran itu bertingkat-tingkat”

Demikian juga bagi dunia ini, ketika kita hanya memahami kehidupan di bumi, maka, teori Newton yang mengatakan bahwa semua benda bila  jatuh akan menuju  ke bawah menuju bumi adalah benar. Namun, ketika umat manusia bisa keluar dari Bumi mencapai planet lain, maka kebenaran teori Newton itu sudah bukan kebenaran lagi. Diluar itu maka teori teori lain akan menjadi kebenaran, misalnya teori relativitas Einstein, teori  antigravitasi, dll

Ketika Anda memahami hal tersebut, tentu anda  akan tertawa, apabila melihat seorang ilmuwan fisika memarahi anak SMP, ketika anak itu ngotot, bahwa teori gravitasi berlaku sama persis untuk semua planet. Coba renungkan.  Saat kita ngotot, berdebat dengan orang lain, dan mengatakan bahwa orang lain itu bodoh, apa yang dikatakan salah, hanya karena kita merasa lebih paham. Atau kita mencibir orang yang baru paham bahwa beragama adalah supaya masuk sorga, sholat supaya tidak masuk neraka, padahal kita sendiri baru paham sedikit makna dan belum benar-benar menjalaninya. Karena orang yang mencibir orang lain, justru karena di belum benar-benar memahami kebenaran itu apa.

Saya teringat sebuah pengalaman, saat di bangku kuliah, saat itu saya baru bergabung dengan salah satu majelis kajian agama, seorang pengajar kajian agama menanyakan beberapa pertanyaan yang saat itu menurut saya agak aneh, dimana dia meragukan saya yang ingin mengikuti kajiannya,  karena cara berpakaian saya menurutnya tidak benar, cara bergaul saya menurutnya tidak benar, sehingga saya tidak dilibatkan, dan bahkan tidak layak bersalaman dengan beliau di saat teman lain diajak bersalaman.  Lalu saya pulang dengan sedih dan bercerita kepada paman saya. Beruntung, saya memiliki paman yang bijaksana, beliau hanya mengatakan, “Ya sudah, biarkan, dia baru melihat sungai lalu bersorak kegirangan, padahal dia belum melihat luasnya samudera.” Kata-kata itu demikian menenangkan saya, sehingga saya tetap belajar dimanapun pada siapapun yang mau mengajari saya hingga saat ini. Itu adalah pembelajaran saya yang pertama tentang kebenaran.

Pada akhirnya, pencarian saya tentang hal tersebut, terjawab dalam buku SOUL Reflection dimana di buku tersebut dikatakan bahwa, "Orang yang bijaksana paham bahwa kebenaran bersifat bertingkat. Ketika pemahaman kita baru pada tingkatan rendah kita menganggap hal itu benar, tetapi apabila kita memahami yang lebih tinggi lagi maka hal itu tidak lagi sebagai kebenaran bagi diri kita" 
"Lakukan proses pencarian kebenaran di dalam diri, terbukalah dengan ilmu pengetahuan, jangan menjadi fanatik yang berlebihan sehingga kita akan terbuka dengan kebenaran. Ingat, kebenaran akan datang apabila kita tidak menyimpan banyak kebohongan." (¹)

Mari merenung dan berbenah diri. Biarlah kita semua layak mengetahui kebenaran sejati

(¹) Arsaningsih 2014, SOUL Reflection Vol I hal 145

Syukru lillaah & Terimakasih kepada Bunda Arsaningsih yang telah membimbing, Om Ajib Setyabudi Bapake Tama, dr. Rastho Mahotama, yang telah menginspirasi. Salam cinta.

Sabtu, 25 Juni 2016

Kehidupan Menarik Kehidupan

"Aku tidak tahu bagaimana menemukan kehidupan di padang pasir," kata si anak. "Aku tahu ada kehidupan di sana, tapi entah bagaimana menemukannya."
"Kehidupan akan menarik kehidupan," sahut sang alkemis.

The Alchemist by Paulo Coelho
"Kehidupan akan menarik kehidupan." ya, terkadang kita merasa galau ketika mendapati diri kita berada pada satu lingkungan yang tidak nyaman, merasa dicuekin, merasa jutekin, merasa "kenapa sih orang ini kok kalau sama aku kasar?". Padahal, apabila kita memahami, di alam ini berlaku hukum sejenis menarik sejenis, bagaimana diri kita, maka itulah yang akan kita temui. 

Seseorang yang penuh kemarahan dan kekecewaan dalam hidupnya, maka (orang jawa bilang ndilalah) dia akan ketemu orang-orang yang nyusahin. Dan orang-orang yang dalam dirinya sudah penuh kedamaian, akan bertemu juga dengan orang-orang yang sama.

Lantas bagaimana bila kita sudah "merasa" jadi orang baik, tapi kok masih bertemu orang-orang yang "nyebelin"?, simpel saja, berarti kitapun belum sepenuhnya baik. Karena ukuran baik disini bukan hanya diukur dari tampilan fisik dan yang kelihatan saja, namun diukur jauh sampai kedalam simpanan di pikiran bawah sadarnya.

Terkadang orang tidak mengenali dirinya dengan baik hingga di kedalaman dirinya, sehingga pada saat dia merasa baik dan lalu bertemu dengan orang lain yang menurutnya jutek, pemarah, lantas malah sibuk mengoreksi orang-orang disekitarnya. Orang tersebut tidak mengerti bahwa orang yang datang itu sesuai dengan apa yang ada dalam diri kita.

Jadi, yuk mulai kenali diri kita sendiri, jujur pada diri sendiri, lebih banyak melihat ke dalam diri dan menerima semua yang datang sebagai cerminan apa yang ada dalam diri kita sehingga kita bisa terus memperbaiki karakter kita. Memahami bagaimana hukum alam ini bekerja, dan mengenali diri kita sendiri, sehingga mampu menyelaraskan diri sesuai dengan kehendak Tuhan, akan membuat kita hidup penuh keindahan.
Dan, "Keindahan di dalam diri akan menarik keindahan dari luar datang," demikian menurut Bunda ArsaningsihFull

Kamis, 16 Juni 2016

Alangkah Indahnya !

Diluar sana, seperti berada ditengah badai gurun, meskipun kau bisa pulang dengan selamat, seluruh tubuhmu akan kotor dengan debu. Kau perlu mandi dan membersihkan semua sisa kotoran itu. 

Bagi yang bisa merasakan, saat kita berada diluar bersama-sama dengan banyak orang, mirip dengan berada di tengah badai gurun, tapi disini lebih kepada badai energi, badai yang dihasilkan oleh aneka gelombang pikiran kecemasan, kekhawatiran, emosi, kebencian dan sebagainya. 
Terkadang, sesampai di rumah, tiba-tiba kita merasakan ketidak nyamanan perasaan, padahal kita rasanya tidak memikirkan apapun, tidak berbuat apapun, tidak melakukan apapun. Disinilah diperlukan awareness tentang apa yang ada disekitar kita. Kita perlu menyadari, bahwa badan kita tidak melulu fisik ini saja. Namun kita memiliki tubuh energi, yang bisa  secara tidak sadar terpengaruh dari lingkungan sekitarnya, karena getaran frekuensi negatif yang dihasilkan oleh pikiran-pikiran negatif diluar sana bisa meresonansi tubuh energi kita. Bila kita teresonansi dengan cukup kuat, misalnya dengan frekuensi kemarahan maka bisa jadi sesampai di rumah tiba-tiba kita uring-uringan. Pastinya ini membuat kita dan orang disekitar kitapun menjadi tidak nyaman. 

Lantas, kita pasti berpikir. Bagaimana sebaiknya, atau apa yang harus dilakukan bila tiba-tiba mood kita berubah tanpa kita sadari "kenapa"nya seperti diatas? 

Jawabannya adalah yang pertama tentu dengan menyadari, mengapa kok tiba-tiba muncul rasa yang tidak nyaman. Lalu lakukan upaya untuk membersihkan diri dari energi negatif yang mengkontaminasi diri kita. Ada satu cara yang manjur untuk itu, yang biasa saya lakukan yaitu metode yang pernah saya pelajari saat mengikuti workshop SOUL Reflection. 

Dalam workshop tersebut semua hal tentang frekuensi energi yang mempengaruhi tubuh kita, dikupas tuntas. Di dalamnya kita diajak mengenali lebih dalam mengenai diri kita, bagaimana kita bereaksi terhadap lingkungan sekitar kita, bagaimana kita mengendalikan diri dan bagaimana tahap-tahap yang harus kita lakukan untuk memurnikan diri kita kembali supaya kitapun kembali dalam kondisi damai, tidak terpengaruh sekitar kita. 

Ah, saya berangan-angan, seandainya saja, setiap orang aware dengan dirinya, sehingga emosi emosi negatif tidak lagi merajalela, setiap orang hidup penuh dengan ketenangan dan kedamaian, alangkah indahnya !

#ngesoul_yukk

Sabtu, 30 April 2016

Pelajaran dalam Setiap Perjalanan

Setiap perjalanan selalu memberikan pelajarannya masing masing.  

Seperti halnya perjalanan-perjalananku sebelumnya, demikian juga kali ini,  Surabaya-Yogya yang kesekian kalinya aku tempuh, mengajarkan tentang sesuatu hal. 

Aku cukup beruntung mendapatkan tempat duduk favoritku, di belakang supir persis, aku suka karena biasanya ruang gerak kaki lebih lega, dan tentu pandangan mataku tak jauh beda dengan ketika aku mengemudikan sendiri kendaraanku, karena mengemudi adalah salah satu kegiatan yang menyenangkan bagiku. Ransel aku taruh di bawah, menutup ac, memasang headset, lalu aku melihat tempat dududk di sebelahku yang masih belum terisi penumpang sambil berdoa dalam pikiran saya, “Ya Tuhan mudah-mudahan nanti yang duduk di sebelah saya orangnya asyik.”  Di Terminal Bungurasih malam itu cukup banyak calon penumpang yang mengantri masuk, satu persatu naik ke bus dan memilih tempat duduknya masing-masing, hampir penuh, tapi sebelahku belum juga ada yang duduk, hingga akhirnya ada seorang ibu dengan perawakan agak gemuk berkaus merah dan celana ¾ santai seperti biasanya ibu-ibu yang biasa naik bus, dia bertanya, “ kosong ini mbak?” “Oh, iya bu, kosong silakan..” Aku mempersilakan beliau duduk, sambil sekilas melihat tas kantong kain yang dibawa. Lalu aku asyik menonton streaming online acara talent search di televisi yang sedang seru. Kebetulan aku lagi suka banget karena coaches acara itu memang singer keren dan legendaries. 

Sejenak aku asyik dengan gadgetku, dan kulihat ibu sebelah juga sibuk dengan handphonenya. Aku duduk santai banget, cenderung koboi malah, satu kaki kutumpangkan diatas ranselku dan aku sadar aku belum berbicara lagi dengan sebelahku hingga acara streaming diinterupsi oleh iklan.   “Tujuannya kemana ibu?” Beliau dengan ramah menjawab, “ke Jogja Mbak, Mbak kemana?” “Saya ke Jogja juga, ibu tujuannya kemana Jogjanya?” “Saya kurang tahu alamatnya,” “Oh, nengok saudara atau liburan bu?” aku nanya sok tahu. “ Saya mau ngisi seminar mbak, kebetulan saya ahli dalam penanganan gigitan ular.” O..o… sejenak aku terperangah, hah,,, pikiranku spontan berbuah pertanyaan, “ ibu pawang ular?” “Bukan mbak, saya dokter.” Aku masih meneruskan sok tahuku (kalo inget malu banget), “ ooh, ibu dokter hewan?”  dan akhirnya ibu dokter itu dengan sabar menjawab aku, “saya dokter manusia mbak, saya dokter umum yang mengambil spesialis kegawat daruratan, kebetulan saya satu-satunya dokter yang mendalami tentang gigitan ular dana penanganannya, “ bla…bla… bla…. Beliau bercerita panjang, bahwa beliau mengawali karir sebagai kepala Puskesmas di Bondowoso, Jawa Timur lalu  sempat di RSUD setempat, dan sekarang berdinas di Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur di Bagian Penanganan Bencana, dan beliau adalah salahsatu perwakilan WHO. Nah, beliau ke Jogja ini dalam rangka memberikan seminar ttg Penanganan Gigitan Ular di Fak Biologi UGM. Ups…. OMG. Mungkin Bu Dokter, yang malam itu, di bis itu tidak mau aku panggil Dok, itu melihat ke-melongo-anku langsung menjelaskan, “Saya tadi  sebenarnya sudah disediakan tiket kereta api, tapi karena saya harus rapat dulu dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana Jatim, dan baru selesai rapat jam 19.00, sehingga saya ketinggalan kereta. Tapi bagi saya tidak masalah, toh kalau diluar pulau sudah biasa naik kendaraan seadanya, kadang dulu di Kalimantan malah numpang truk.” “oh, begitu ya Dok…” jawabku. “Jangan panggil Dok, panggil saja Mbak Ma, “ kata beliau.

Maka perjalanan Surabaya –Jogja selama kira-kira tujuh jam itu menjadi perjalanan yang sangat asyik, kami berbicara segala hal, mulai dari bisa ular, gigitan ular hingga penanganan kebencanaan di negeri ini. Banyak sekali pengetahuan aku dapatkan dari Ibu Dokter Maha (Nama Beliau).  Dan kami sepakat, bahwa banyak kegawat daruratan dalam bencana juga diakibatkan oleh peran karakter orang-orang yang kurang bagus dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Seperti penanganan yang asal-asalan, mentality yang money oriented, dan sebagainya. Menarik sekali. Dan yang pasti, aku yakin, ini bukan suatu kebetulan. Ini adalah jawaban dari do’a saat sebelum berangkat tadi, sebelah saya orangnya asyik. Thanks GOD. Tak henti bersyukur sepanjang jalan, bahwa begitu baiknya Tuhan.  Pelajaran pertama yang kupahami. 

Setelah rehat di Ngawi, bis kembali berjalan menuju Jogja, setelah beliau mempersilakan aku untuk datang di acara seminar beliau besok di UGM lalu Ibu Dokter beristirahat setelah menurunkan sandaran kursinya. Aku belum bisa tidur. Lalu aku sadar, betapa rendah hatinya beliau, dan aku merasa sangat malu pada diriku sendiri. Saat itu aku langsung  teringat tentang pelajaran rendah hati yang sudah sangat seringkali diajarkan guruku, OMG, ini rupanya pelajaran rendah hati yang ditampilkan dalam versi yang benar-benar tak terpikirkan olehku. Dalam hati aku berkata, Tuhan terimakasih pelajaran ini, dan aku juga berterimakasih sekali pada guru yang mengajarkanku tentang kerendahhatian. 

Pukul 04.00 wib sampailah kami di Jogja, namun kami turun di pemberhentian yang berbeda, aku turun terlebih dahulu. Ibu Dokter dengan keramahan beliau kembali mengundangku untuk datang di seminar beliau. Sesampai di rumah aku masih memikirkan kejadian barusan. Untuk memuaskan penasaranku, aku browsing tentang dokter Maha, dan aku kembali terkaget kaget, memang nggak main-main, ternyata beliau adalah dokter spesialis emergency yang sudah bergelar doktor. Oke, aku memutuskan, untuk datang di acara beliau siang nanti.

Sabtu siang, menjelang berangkat ke seminar, aku membeli buku SOUL Reflection, aku berniat memberikan buku ini kepada beliau sebagai wujud terimakasih atas pengetahuan-pengetahuan baru yang beliau bagikan dan terutama tentang pelajaran rendah hati yang bisa aku petik dari beliau. Kenapa SOUL Reflection yang aku pilih, ya, karena aku merasa buku ini sangat cocok dengan perilaku yang beliau tujukkan.

Di Auditorium Fakultas Biologi siang itu, aku kembali melihat sosok beliau yang begitu berwibawa di depan audience, begitu expertnya beliau. Dari pojok belakang, aku berbisik dalam hati, Terimakasih pada Tuhan dan terimakasih pada guruku yang selalu mengajarkan agar kami selalu menjadikan siapapun yang kami temui sebagai guru-guru kehidupan juga, terimakasih karena hari itu aku benar-benar belajar tentang kerendah hatian dari seorang yang telah memiliki jabatan birokrat  yang dengan santai mau naik kendaraan umum tanpa keluhan, dan tetap ceria sepanjang perjalanan. Biarlah semakin banyak pemimpin bangsa kita yang berkarakter budiman dan rendah hati, yang benar-benar mengabdikan jabatannya untuk kemanfaaatan banyak orang. Aamiin.

with all respect & thanks to Dr. dr. Tri Maharani, MSi.,SpEm

Sabtu, 12 Maret 2016

Menjadikan Buku sebagai Pelajaran Hidup

Bukan jaminan seorang yang membaca buku tentang kesabaran, lalu dirinya menjadi sabar, dan bahkan bukan jaminan orang yang menuliskan tentang kesabaran, dirinya benar-benar orang yang sabar. Beberapa orang, termasuk saya dulu, mungkin mengira, untuk memahami kehidupan ini adalah dengan cara banyak membaca dan mengikuti berbagai seminar. Namun, seiring berjalannya waktu, usia bertambah, permasalahan kehidupan dan peristiwa yang dihadapi pun beragam, akhirnya pemahaman saya berkembang.

Dalam buku SOUL Reflection hal ini dikupas lebih detail, pada Bab : Proses Belajar, yang pada salah satu alinea " Maka ketika kita belajar, melalui proses membaca, jangan hanya membaca saja. Renungkanlah setiap kata demi kata, arahkan ke dalam diri kita untuk mengetahui keberadaan diri, inilah cara kita untuk menunjukkan kekurangan diri." Penulis buku tersebut, Bunda Arsaningsih pernah memberikan wejangan kepada saya, saat saya akhirnya bisa sedikit mengatasi diri saya sendiri ketika menghadapi sebuah permasalahan, beliau mengatakan, "berteori itu bikin pinter, tapi mengalami membuat orang menjadi bijaksana, inilah pelajaran kehidupan. Bersyukurlah kita diarahkan Tuhan untuk menjadi bijaksana"

Jadi, pelajaran hidup, bukan semata-mata dengan mendengar atau membaca, lalu diri kita menjadi paham. Itu baru sebagian tahapan. Karena bila kita membaca saja, lalu kita merasa paham, bisa jadi setelah beberapa saat kemudian kita sudah lupa.  
Pelajaran hidup yang paripurna adalah, setelah kita mendengar atau membaca, lalu dibawa ke dalam diri, dirasakan, dilakukan. Proses merasakan adalah proses yang benar-benar membutuhkan awareness dan kesabaran. 

Memasukkan kata ke dalam tulisan itu mudah, namun memasukkan tulisan ke dalam hati itu yang tidak mudah (Profesor Ali Azis, MAg)

Sumber : SOUL Reflection Book & Radio El Victor 93,3 FM