Minggu, 21 Desember 2014

Memilih Rasa

Kehidupan, adalah rangkaian dari berbagai macam peristiwa. Saat menjumpai setiap peristiwa, maka kita akan mendapatkan berbagai pilihan rasa, sedih, marah, kasihan, gembira, bahagia, atau biasa biasa saja. Tuhan menyediakan semua, termasuk kebebasan untuk memilih rasa. 

Mungkin saja, saat peristiwa itu terjadi didepan mata, nafsu dan ego kita berteriak lantang hingga pilihan kitapun mengikuti dia. Ego manusia selalu ingin dimenangkan, tak mau kalah, tak mau mengalah. Hingga apabila tak sesuai kehendaknya maka jalan kemarahan, kekecewaan, dan kesedihanlah yang ditempuh. Padahal, jalan ini tak pernah membawa seseorang kepada tujuan kehidupan, cenderung gelap dan menyesatkan. Bila terus menempuhnya maka seseorang itupun akan merasa sangat lelah karena tak kunjung sampai tujuan dan kehabisan energi dalam menempuhnya. Bahkan tak jarang, dalam kegelapan, dia tersandung, tersungkur, terjerembab dan terjatuh dalam lubang-lubang yang tak dapat dilihatnya. Sebaliknya, apabila ego mendapatkan apa yang diinginkannya, maka seseorang akan merasa menang, hingga teramat sangat gembira, euphoria yang menciptakan kebahagiaan semu, yang menyulut api kesombongan yang menyilaukan. Hingga akhirnya membakar diri sendiri, dan habislah semua menjadi abu kehidupan.

Ajaran bijaksana mengatakan, setiap manusia hendaknya sadar dalam setiap rasa yang hendak dipilihnya. Karena, hakikatnya kehidupan, adalah sebagai wujud penghambaan diri, pengabdian pada Sang Maha Pencipta, sehingga apapun yang didapatkan tentunya tak luput dari ijin dan kehendak-Nya. Saat mendapati apa yang diinginkan, bersyukurlah yang dalam, tak perlu sorak sorai. Dan pada saat belum berhasil bersabarlah sembari terus berusaha mengolah diri, meng-upgrade kemampuan agar menjadi layak dan mendapatkan ridha-Nya.. Dengan menyadari untuk bersabar dan bersyukur, maka kita telah memilih menempuh jalan damai, Yang berarti berdamai dengan segala keadaan yang kita terima. Damai berarti tak ada rasa yang melonjak ataupun terjerembab, semua dalam frekuensi ketenangan belaka. Karena hanya dengan ketenangan maka cahaya dari lentera hati kita takkan menjadi padam dan tak juga membakar diri kita. 

Salam cinta

Senin, 28 Juli 2014

Idul Fithri, Menggemakan Takbir Sebagai Penyatuan Diri Pada Kesadaran Ajaran Ilahi

 Sudah menjadi tradisi turun temurun perayaan Hari Raya Idul Fitri setiap 1 Syawal yang diawali dengan kumandang takbir dimana-mana. Lalu dilanjutkan pada siang harinya sholat Id dan ritual maaf memaafkan. Semarak dan indah memang karena disana biasanya sanak keluarga yang terpisah-pisah bisa berkumpul dan saling berbagi cinta dan kerinduan. 

Sekilas pandang, perayaan Idu Fitri seakan adalah perayaan kebebasan setelah sebulan sebelumnya harus mengekang semua hawa nafsu dan keinginan. Namun, benarkah demikian ajaran yang sebenarnya?
Mungkin memang bisa jadi demikian bagi sebagian orang. Namun sebagian orang merasa sedih karena harus berpisah dengan ramadhan yang syahdu dimana mereka bisa lebih khusyuk beribadah, dan bagi sebagian orang lagi dirasakan, biasa saja, karena mereka menyadari semua adalah bagian dari rutinitas penggemblengan diri, yang memang bukan untuk dilakukan terus menerus karena apapun memang harus dilakukan sesuai porsinya.
Terlihat bahwa, dalam satu peristiwa, dipahami dengan cara yang berbeda-beda.

Alangkah lebih bijaksana, apabila seiring waktu yang berjalan, kita terus menggali pemahaman yang lebih dalam mengenai ajaran Allah yang sudah diberikan kepada kita sebagai way of life. Meskipun diri kita bukanlah pendakwah ataupun ahli agama, namun sudah jelas bahwa Sang Pencipta menghendaki setiap individu agar senantiasa belajar dan menuntut ilmu.

Penggemblengan itu diawali dengan Ramadhan. Ramadhan, yang dimaksudkan Allah sebagai sarana dalam bentuk satu periode yang kondusif untuk latihan pengendalian diri dan benar-benar menyerahkan semua hasil tindakan kita sehari-hari dalam rangka pengabdian pada Allah semata. Ramadhan adalah saran purification. Karena selama ramadhan jiwa kita diharapkan dibersihkan dari segala pikiran, perasaan dan emosi negatif yang mengotori diri kita, sehingga dengan bersihnya diri kita maka ajaran Allah yang suci dan bersih akan mampu menancap dalam kesadaran ruhani. Karena yang suci takkan mau masuk ketika diri kita penuh kekotoran. Hukum alam ini gelap dan terang tak bisa menyatu. Dan akhir ramadhan adalah puncak pemurnian diri yang diwarnai dengan gema takbir dimana-mana. Alangkah indahnya apabila takbir itu menggema dalam setiap kesadaran sel-sel kemanusiaan kita, satu malam yang benar-benar powerful, penuh dengan semangat baru untuk mengujudkan ajaran Allah dalam kehidupan sehari-hari, yang diawali pada 1 Syawal.

1 Syawal dikenal sebagai Hari Idul Fithri, yang dapat dipahami lebih dalam sebagai kembali kepada fitrah (Id : kembali, Fithri : ujud kehidupan menurut hakikat penciptaannya), fitrah disini tentunya fithtratallah, fitrah dari Allah yang menciptakan manusia), jadi Idul fitri adalah kembali kepada konsep awal, yaitu hidup sesuai kehendak Allah yang dapat dipahami melalui ajaran-Nya). Hal ini bisa dibaca pada QS Ar Ruum 30. Pembahasan lebih luas tentunya akan mencakup ajaran Allah yang mencakup konsep kehidupan untuk mengujudkan khasanah fidunnya, Jannah dalam kehidupan. Disitulah nantinya dapat terjawab mengapa zakat juga terkait dengan Idul fithri ini. Karena sistem zakat sebenarnya adalah bagian yang menyatu, yaitu sistem yang merupakan penyokong secara fisik untuk mengujudkan kehidupan indah yang saling tolong menolong dalam kesadaran Ilahiah.

Sudah saatnya umat muslim untuk move on, menggali lebih dalam makna Ramadhan dan Idul Fithri. Maaf memaafkan bisa kita lakukan setiap detik kehidupan. Jadikan itu bagian dari kesadaran diri untuk kebersihan jiwa kita dalam rangka pemahaman yang lebih besar yakni kesadaran bahwa, ajaran Allah tak mungkin menyatu dengan kesadaran diri manakala diri kita penuh dengan niat buruk, pikiran dan perkataan buruk  serta  tindakan yang negatif.

Selamat menempuh satu tahun kedepan dengan penuh kesadaran dan sampai jumpa pada Ramadhan berikutnya, Biarlah keselamatan dan berkat serta rahmat Allah tercurah bagi kita semua.


Jumat, 11 Juli 2014

Kemenangan Cinta

Rembulan beranjak penuh
Pendarnya memeluk erat ibu pertiwi
Pada suatu malam
Menjelang pertengahan ramadhan
Jiwa jiwa nan bercahaya
Tepekur dalam khusyuknya pengharapan agung
Kepada Sang Maha Kuasa
Memenuhi bumi dengan cinta-NYA
Bukanlah kidung merdu
Bukanlah gita membahana
Namun bisik lirih nurani yang menggelorakan kuasa cinta-Nya
Membasuh merah durjana angkara murka
Hingga memerah jambu cinta
Terurai haru 
Bersyukur 
Bersujud
Damai

Jumat, 04 Juli 2014

Suara Setetes Air untuk Indonesiaku

" Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri "

Sebuah kalimat yang datang bukan dari mulut seorang manusia, namun firman dari yang Maha Tinggi, Pencipta Alam Semesta. Tentunya itu bukanlah rangkaian kata tanpa makna, kalimat tersebut berlaku mengikat bagi semua ciptaan-Nya.

Menengok masa lalu bangsa ini, mestinya kita semua tahu, tanah air kita telah banyak merekam segala peristiwa. Negeri nan subur ini pernah menjadi bangsa yang makmur, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja. Namun selain itu jejak sejarah mencatat aneka pergolakan, pertumpahan darah, penjajahan, kemiskinan dan aneka penderitaan. Bila kita cermati, banyak sekali terjadi keonaran dan bahkan pertumpahan darah pada peralihan pemimpin pada kerajaan kerajaan di jaman dahulu kala.
Mau tak mau, tak dapat dipungkiri, semua yang telah terjadi itu mengukirkan pahatan-pahatan dalam alur sejarah. Rasanya pahatan penderitaan jauh lebih panjang daripada pahatan kebahagiaan. Derita tigaratus lima puluh tahun penjajahan rasanya belum sebanding dengan hampir tujuh puluh tahun negeri ini merdeka. Euphoria saat Bung Karno lantang memproklamasikan kemerdekaan bangsa kita, memang sempat mendidihkan semangat persatuan dan kesaatuan bangsa Indonesia. Namun itu tak lama, segera hanya terhitung tak sampai tiga dasawarsa, kembali terekam luka. Jejak jejak berdarah menjelang pergantian kekuasaan. Lalu kembali tiga dasawarsa dalam kedamaian semu, dan kembali aneka pergolakan silih berganti. Kepedihan, darah dan airmata rekaman perpecahan dan kekerasan sarat membebani masa lalu bangsa kita.

Bila satu persatu kita ditanya, tentu kita semua menjawab bahwa kita menginginkan negeri yang damai, tentram, aman dan sejahtera. Namun ironis, rasanya apa yang menjadi keinginan hanyalah sekadar keinginan. Tak berkesesuaian antara keinginan dan tindakan. Menginginkan damai, namun membiarkan ego pribadi melanggar hak orang lain. Itu yang sering terjadi. Semua ini harus diakhiri.

Sudah saatnya, bangsa ini mengubah dirinya, menjadi bangsa yang damai, bangsa yang bahagia. Tuhan sudah membebaskan kita untuk membentuk sendiri hidup kita, memberi hak untuk kita sendiri melakukan perubahan-perubahan, menciptakan hidup kita lebih baik. Bukan siapa presiden kita, sehingga kita bisa menjadi bangsa yang hebat, namun upaya dan kesadaran dari masing masing kita lah yang akan menghebatkan bangsa ini. Berawal dari mengubah masing masing diri menjadi lebih baik. Budi pekerti luhur itu masih ada bila kita mau menggali lagi, marilah. Kembali pada agama masing-masing namun bukan untuk menjadi terkotak kotak dan saling bergesekan, biarlah agama menjadi satu satunya ikatan, bahwa kita meniatkan hidup ini adalah pengabdian, salurat berkat dari Tuhan untuk kebahagiaan seluruh alam.

Meskipun ini hanyalah terdengar selintas lalu sebagai bunyi setetes air nun jauh dalam gua di bawah tanah, namun aku tetap berharap, suara setetes air ini menggema dan suatu saat mewujud seiring harapan semesta raya.

Salam cinta untuk Indonesia yang damai dan berbahagia

Senin, 23 Juni 2014

Ketukan Kesunyian

Tanpa mengetuk pintu, tiba-tiba sekelumit gelisah mengusik diamku. Terbersit sendu sebuah perpisahan. Bayang kehangatan canda, ketulusan dalam setiap senyuman yang harus direlakan tuk ditinggalkan. Berontak dalam keheningan. Akankan sepi? Jalanan sunyi terasa membentang menunggu dilewati. 

Tak lama. Tak kubiarkan rasa merajalela, merenggut damai. Tak ingin damai yang kubangun sekian lama terkoyak sia-sia. Aku pulang dengan diam. Bertanya pada Sang Pemilik Kesunyian. "Haruskah ini direnggut dari hidupku? Haruskah keindahan ini berakhir sedemikian cepatnya?"

Sunyi tetaplah sunyi, tanpa suara. Namun dalam sunyi ada jawaban, nun di dalam sana. Perlahan, aku mencoba menghampar pemahaman.

"Ketakutan akan kesendirian adalah suara keterikatan, keinginan memang selalu berteriak lantang mengharapkan kenyamanan, bermalas malasan. Seharusnya kau paham, bahwa kesedihan hanya terjadi karena masih terikat pada ego yang dibiarkan membelenggu, maka lepaskan belenggu itu, agar ringan langkah ke depan. Serahkan semua kehidupan pada Sang Maha Kuasa, maka tak ada alasan untuk merasakan apalagi mengatakan kesedihan ketika harus meninggalkan tempat dimana diri merasa nyaman. Semua tempat adalah milik Sang Pemilik Kehidupan. Semua tempat adalah wahana untuk bekerja dengan giat sebagai pengabdian pada Sang Pemilik Kehidupan. Semua tempat adalah ladang tempat menanam dengan penuh ketulusan, dan menyerahkan semua hasil panen pada Sang Pemilik Kehidupan. Seluruh daratan di sepenjuru muka bumi adalah sajadah tempat bersujud menyerahkan sepenuh kehidupan. "

Dengan memahami hakikat hidup adalah pengabdian, pelayanan dan berserah dengan segenap kerelaan dan keikhlasan dimanapun tempat, maka seharusnya diriku senantiasa berbahagia dimanapun jiwa ini berkarya. Karena yang membuat satu jiwa menjadi berharga bukanlah seberapa hebat keinginannya mampu diwujudkan, namun seberapa hebat ia mampu menundukkan keinginannya dan berserah pada kehendak Tuhan.

Perlahan, belenggu kesedihanpun mulai merenggang, diriku terbebas, tersenyum lepas dan berbahagia. Kidung malam kembali terdengar indah menemani kesunyian, karena dalam sunyi aku tahu, aku tak pernah sendiri. Terimakasih Tuhan. 

Sabtu, 31 Mei 2014

1 Juni dalam Do'a Pagi

Ingatkah? Hari itu mata tak juga terpejam, masih memilah kata demi kata hingga menjadi baris baris kalimat yang jauh lebih kokoh dari barisan bebatuan. Demi apa? Demi sebuah jati diri bagi bangsa ini.

Ingatkah? Rasanya tidak. Nampaknya hanya beberapa gelintir yang ingat dan masih memahaminya, berjuta juta yang lain, bahkan nyaris hanya mengenalnya sebagai hiasan di dinding sekolah mereka dulu. 

Hari ini fajar pertama, tanggal yang sama dengan saat ketika dia sang perumus meletakkan fondasi bangsa. Fondasi itu masih ada, meski sedikit dimakan rayap kekotoran nafsu kemarahan, kekuasaan, keserakahan, hingga menggoyahkan bangunan bangsa ini. Alangkah sedihnya melihat mereka masih juga tertidur dari kesadarannya. 

Hei pagi telah menjadi riuh!! Fajar telah menyingsing, fajar pertama, tanggal yang sama dengan saat ketika dia, sang perumus meletakkan fondasi bangsa. Ayo kita berbenah, bersihkan semua. 
Jangan menjadi rayap untuk rumahmu sendiri !! 

Sayup terdengar do'a di awal pagi, "Oh, Tuhanku, mohon ijinkan, biarlah di hari ini semua menjadi ingat dan memahami kembali, filosofi indah bangsa di tanah surga ini. Kembali pada pelukan ibu pertiwi dan menjadikan diri kami sebagai abdi abdi-Mu, yang menyerahkan seluruh hidup untuk-Mu dan berpasrah segala harap hanya pada-Mu. Biarlah para pemimpin kami mampu memimpin dengan kebijaksanaan dan bangsa kami mampu untuk saling mencintai, saling tenggang rasa dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.."


" ...di timur matahari mulai bercahya
bangun dan berdiri kawan semua
marilah mengatur barisan kita
pemuda pemudi Indonesia..."




Senin, 26 Mei 2014

Shalat Berkesadaran ( Satu Kritik untuk Diri Sendiri )

Malam ini, seribu tigaratus sekian tahun yang lalu, umat muslim mengenal dengan peristiwa Isra' Mi'raj, yaitu satu perjalanan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam untuk menerima perintah Ilahi. Karena sudah lewat melampaui 13 abad lebih, maka kejadian itu dipahami dalam berbagai versi. 

Terlepas dari berbagai pendapat para ahli agama, disini saya sebagai bukan ahli agama, namun saya berusaha memahami agama semampu saya (boleh dibenarkan bila salah :-) ). Buat saya, yang pasti pada saat Isra' Mi'raj itulah Allah memerintahkan kepada Muhammad agar pengikutnya melaksanakan shalat. Shalat yang dimaksud adalah untuk sarana pembersihan diri, lalu menancapkan kesadaran ilahiah kedalam ruh kita, agar nantinya manusia ini menjadi manusia yang sebenar benar manusia, yang terhindar dari perbuatan/dan berbuat keji dan munkar/buruk. 

Namun berjalannya waktu pemahaman yang terjadi tentang shalat inipun menjadi bertingkat tingkat, mulai dari tingkatan shalat sebagai ritual wajib yang dilakukan lebih dikarenakan ketakutan akan "hukuman" bila tidak melaksanakannya, dan pamrih agar bila melaksanakan nanti mendapatkan "sesuatu" yang menyenangkan. Biasanya yang begini, dia melakukan shalat sekadar gerakan dan hafalan bacaan tanpa memahami artinya. Dan shalat dalam tingkatan tertinggi adalah sebagai pembinaan diri, shalat khusyuk, shalat yang benar benar berkesadaran, memahami apapun do'a yang diucapkan dan menanamkan kesadaran hingga ke seluruh sel sel tubuhnya. Tidak ada yang salah dengan berbagai tingkatan itu, karena semua memang menjalani sesuai dengan pemahaman yang dicapainya. Namun tentu saja nantinya "imbalan" yang didapat juga akan sesuai dengan tingkat pemahamannya. (menurut logika saya)

Yang menjadi masalah adalah salah kaprah di masyarakat, ketika seseorang yang rajin melakukan "shalat" lalu berbuat dzalim, atau orang tersebut terus menerus ditimpa kemalangan, terkadang dengan mudah orang menuding dengan, "halah percuma shalat jengkang jengking, tetap aja begitu." seakan akan shalat itu tidak ada fungsinya. Padahal bila mau kita cermati lebih dalam, pasti ada yang belum pas dengan shalatnya.  Karena tidak mungkin Allah, yang mampu menciptakan alam semesta dengan begitu agung, yang mampu menciptakan sel sel tubuh dan organ dengan begitu cermat, bisa salah membuat metode shalat, iya kan? Justru seharusnya, bila shalatnya benar maka hidupnya pasti akan benar, karena kesadaran sel selnya terbangun dari do'a do'a yang dipanjatkan sepanjang waktu. 

Marilah, Allah sudah memberikan methode-Nya, membuka saluran pribadi-NYA untuk membuat kita bisa terhubung, mengakses channel-NYA, ini adalah sesuatu yang sangat berharga yang seharusnya sangat disyukuri setiap yang mengikrarkan diri sebagai ummat Muhammad. 

Sekedar berbagi dan mengenali peristiwa Isra' Mi'raj Nabi Muhammad lalu mensyukuri atas apapun karunia Allah untuk kita. Dan kebenaran adalah milik Allah semata. 
Assalamu'alaykum Warakhmatullaah Wabarakatuh.

Senin, 05 Mei 2014

Senyuman Embun Pagi

Antara malam dan siang, terselip keindahan pagi yang seringkali terlewat begitu saja. Beruntungnya jiwaku, menemukan seorang Guru yang mengingatkan tentang berharganya waktu. "Pagi hari merupakan saat kita menyusun rencana kerja harian kita dengan lebih terarah dan setelah kiya menyusunnya, kitapun mempersembahkan rencana kerja kita kepada Tuhan untuk mendapat berkat dan rahmat Tuhan sehingga semua dapat berjalan dengan lancar." Dan pagi inipun dengan segenap kesadaran, aku ikhlas membuka mata pada pagi yang masih gulita, bersyukur dan mempersembahkan sepanjang hari ini untuk berkarya dan mengabdikan hidupku sepenuhnya untuk Sang Maha Pencipta. 

Subuh hari ini terasa nikmatNya begitu agung, meski disini telingaku tak mampu menangkap lantang gema adzan, namun panggilanNya menggema dalam semestaku. Menyentuh kilau beningnya air wudhu pagi, menggugah sepenuh kesadaran. Menghampar sajadah bersiap pada satu pertemuan indah. Tak ingin kuberanjak dari sujud pagi ku, meresapi semua makna cinta dalam firman firmanNya. 

Lewat kata dalam do'a menyentuh lembut jiwa jiwa,  berkirim shalawat dan salam, bersenandung harap segala kebaikan memenuhi sepanjang hari kedepan. Mensyukuri keindahan pagi, titik titik embun, merekahnya mentari pagi, kokok ayam dan kicuan burung, alam semesta berbahagia bersama pagiku hari ini.

Sungguh beruntungnya jiwa ini, manakala membuka mata dan menemukan Sang Pencipta sebagai satu satunya yang pertama kali harus disapa dan dtemuinya. Gerbang hari ini pun terbuka dan tersenyum ramah menyambut kita dengan penuh cinta. 

Aku beranjak dan menggenapkan bangun pagiku dengan seduhan secangkir kopi panas. Alangkah indahnya!

Jumat, 07 Maret 2014

Dialah Cinta Apa Adanya

Dialah cinta, yang terbang membubung tinggi, lalu menelusup diantara relung-relung dada. Dialah cinta yang senantiasa mengalirkan kesejukan pada setiap yang berjiwa. Menggetarkan sukma dengan nada-nada lembutnya. Dialah cinta yang tak pernah meminta, tak pernah menuntut dan tak pernah memilih, Dialah cinta yang menebarkan nuansa keindahan pada semesta raya. Dialah cinta apa adanya dia.

Tanah gersang menghijau manakala tersentuh cinta,  kegelisahan manusia berubah menjadi kedamaian, kekerasan luluh berganti kasih, manusia bahagia pada kehidupannya, margasatwapun bebas mengaum, berkicau dan mendengungkan cinta pada hutannya. Semua mendamba akan cinta. 

Dialah cinta yang tak berhasrat memiliki, dialah cinta yang tak berhasrat membelenggu, dialah cinta yang membebaskan setiap yang dicintai menjadi apa adanya, dialah cinta yang berbahagia dengan kebahagiaan makhluk lain yang dilihatnya, dialah cinta yang sejati yang memberi tanpa berharap kembalinya. 

Ketika kau telah mengenal cinta, kau kan bisa merasakan satu keindahan yang tak pernah ada sebelumnya, karena dengan cinta kau mampu menerima apapun yang datang padamu dengan penuh keikhlasan dan syukur senantiasa. Dengan mata penuh cinta, semua makhluk adalah keindahan ciptaanNya, dengan jiwa penuh cinta, semesta raya adalah berkat yang luar biasa.

Masihkah kau tak hendak akan cintaNya??

Sabtu, 01 Maret 2014

Kita untuk Dunia

Berita-berita riuh rendah berseliweran menghiasi aneka media massa. Berita gembira hanya satu dua terpampang, selebihnya adalah gossip, tragedi, korupsi, kriminal dan sebagainya. Para cerdik pandai banyak mengulas tentang hal tersebut, berteori kesana kemari, menggelar dialog, seminar, dan aneka wacana teori-teori yang "sempurna" untuk mengubah dunia. Dari kalangan rakyat jelata pun banyak yang membangun mimpi-mimpi tentang bangkitnya dunia yang adil tentram dan damai dalam angan-angan mereka. 

Nun di sebuah tempat di ujung bumi sana, ada seorang bijak berkata, "ubahlah diri kita dahulu untuk menjadi lebih baik, maka lingkungan tempat kita tinggal pun akan mengikuti kita", Namun telinga-telinga manusia yang terbungkus keangkuhan hanya mendengarkan itu sebagai suatu hal yang tak ada nilainya, mungkin terlalu sederhana menurut benak mereka. Mereka lupa, bahwa satu hal yang besar dimulai dari hal-hal kecil. Pohon yang tumbuh menjadi besar, pada awalnya adalah sebuah kecambah yang terus berproses dan bertumbuh. Bila hal kecil saja tak mau melakukannnya maka, hal besarpun takkan mewujud dalam kehidupan ini. 

Bukan lagi saatnya membangun khayalan tuk mengubah dunia menjadi lebih baik, karena kita tak pernah tahu kapan waktu berhenti berputar untuk kita. Manusia tak memiliki kuasa atas waktu, manusialah yang harus berdamai dengan waktu. Untuk itu satu perubahan besar harus dimulai dari perubahan kecil, pada diri kita, dan harus dilakukan sekarang. 

Setiap manusia menjalani kehidupan dengan tugas dan kemampuan yang berbeda-beda, tak semua orang bisa menjadi birokrat yang mampu mengatur kebijakan dan pemerintahan dengan kekuasaannya, tak semua bisa menjadi ilmuwan yang bisa mengkaji segala teori dan mengujudkannya dalam kehidupan nyata. Tak semua orang bisa mengangkat senjata untuk memerangi kedzaliman dan ketidakadilan. Lantas apa yang bisa dilakukan oleh seorang yang lemah dan tak memiliki kekuasaan atas apapun di dunia? hilangkah perannya untuk terlibat dalam mengubah dunia? Tidak. Karena bahkan seorang yang secara fisik paling lemahpun akan bisa mengambil satu peran dalam bagian perubahan bagi dunia ini. 

Dimulai dari hal paling sederhana yang bisa dilakukan adalah mengubah pemikiran, karena semua berawal dari pemikiran. Bila berpikir sulit maka akan menjadi sulit. Manusia kadang-kadang lupa, karena saking sibuknya dengan aneka ilusi kehidupan, lupa bahwa ada satu kekuatan maha dahsyat yang bisa menggerakkan apa saja di dunia ini Tuhan. Ketika tangan tak mampu berbuat apa-apa, Tuhan menyediakan saluran do'a untuk meminta kepadaNYA. Satu jalur pribadi keterhubungan denganNYA yang bisa diakses siapapun juga, tak peduli manusia itu berfisik lemah ataupun gagah perkasa, bodoh ataupun cerdik cendekia. Tuhan menyediakan untuk semua yang mau menggunakannya. Tak ada yang tak bisa di wujudkan di dunia ini, bila itu melibatkan kehendak Tuhan di dalamnya. 

Satu doa akan memiliki kekuatan yang maha dahsyat ketika seseorang berdoa dengan penuh kebersihan hati dan pikiran. Ketulusan dan besarnya keterhubungan manusia dengan Tuhan akan mampu meneguhkan apapun yang kita perjuangkan. Marilah kawan, kita mulai satu perubahan, dimulai dari pikiran diikuti dengan tindakan-tindakan yang paling sederhana yang bisa kita lakukan, dimulai dari sekarang. Bersama Tuhan kita bisa. Allahu akbar!

Sabtu, 08 Februari 2014

Bumi Juga Butuh Cinta

Hari ini Februari ke-9 di 2014, hujan masih rintik-rintik disini. Hujan deras sudah berlalu malam tadi, hujan yang alirannya mampu membawa kasut kakiku terbawa ke ujung selokan. Waktu masih menunjukkan 07.30 waktu Indonesia bagian tengah. Hari ini cukup santai, sehingga aku punya cukup waktu untuk duduk di teras kamar kostku yang asri, yang biasanya tak pernah sempat kusinggahi. Menghabiskan segelas kopi dan sekerat roti pengganjal perut di penghujung hari-hari menjelang gajian, cukup membuatku kenyang dan nyaman. Mengamati air, mengamati langit biru, namun sesuatu melintas di ingatanku, bencana di belahan lain negeri ini. 

Banjir, tanah longsor, gunung meletus, angin ribut, hampir setiap tahun melanda bagian-bagian nusantara ini, bantuan secara fisik tak kurang diberikan, solidaritas tak kurang digalang, perbaikan-perbaikan, pelatihan mitigasi bencana alam, badan-badan pemantau cuaca, ah banyak sekali yang sudah dilakukan saudara-saudaraku. Namun bencana-bencana masih juga datang, malah seakan-akan meledek manusia. gunung meletus tak cukup berhari-hari namun berbulan-bulan, kota yang tak biasa dibanjiri air bah tiba-tiba kebanjiran. Akhirnya yang terjadi frustrasi gontok2an tuding2an mencari kambing hitam yang patut dipersalahkan. Atau kalau yang tidak mau ambil pusing justru malah ambil kesempatan dalam kesempitan. Duh.
Di bagian daerah lain yang tak terkena bencana, ketika bencana di expose di TV mereka bergumam, ckckck kasihan...  lalu yang beberapa ada yang berbaik hati merogoh kantong, mengirimkan sumbangan. Itu cukup membantu secara fisik, namun itukah esensi yang dibutuhkan?

Mungkin bila ada yang mau bertanya kepada Tuhan, mengapa ini semua terjadi Tuhan hanya akan mengulangi firman yang pernah firmankanNYA, "apa yang menimpamu adalah akibat dari perbuatan tanganmu sendiri". Ada seorang bijaksana yang mengatakan bahwa ketika jalur keterhubungan kepada Tuhan pada suatu tempat tidaklah kuat maka alampun akan bereaksi untuk "menegur" manusia-manusianya.

Mari teman sejenak kita diam dan renungkan. Tengok diri kita masing-masing. Tak ada kambing hitam yang patut kita persalahkan. Selama ini terlalu jauh kita menikmati hidup ini, hingga lupa ada tugas kita sebagai manusia yang seharusnya berfungsi sebagai pemimpin untuk bumi ini, khalifah fil ardh, justru menjadi koruptor fil ardh. Kita numpang tidur, numpang duduk, numpang kerja enak-enakan di bumi, tapi tak pernah berterimakasih pada bumi dan alam ini. Dia hanya minta kita jaga, jaga kebersihannya, biarkan pohon-pohon tumbuh subur, dan bawa juga bumi ini dalam setiap doa kita. Bumi kita juga butuh cinta. 

Allahu akbar!!

"Dan langit telah ditinggikanNYA dan DIA ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu. Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan jangan kamu mengurangi keseimbangan itu"

Senin, 13 Januari 2014

Catatan 12 Rabiul Awwal 1435

Dalam sebuah hening, tiba-tiba satu rasa menyeruak di ruang batinku. Sebuah nama, yang selama ini tak terlalu kuhirau dalam hidupku. Menyebut namanya hanyalah sebatas ritual dan kewajiban saja, namun tak pernah menyentuh apapun dalam diriku. Hingga tiba-tiba dalam satu detik, detik ini, 23.30 Wita, 13-1-13,  seperti ada yang meluncur dalam hatiku, di satu ruang jiwa yang biasa terisi rasa cinta, rasa itu tiba-tiba datang memenuhi. Aku tak tahu kenapa, aku tak tahu dari mana. Yang pasti, dalam sebuah senandung kerinduan, terasa begitu dalam, sangat dalam. Rasa rindu, rasa cinta, rasa kagum pada sosok yang belm pernah kutemui raganya. Malam ini aku bisa menangkap rasa cintamu pada kami. Rasa cinta yang sangat dalam.  Aku merasa sangat mengenalmu, merasa sangat dekat dengan sosokmu, merasakan dalam mimbar pengajaranmu, aku merindukanmu, sangat rindu.

Haru yang tak terperi, meluruhkan butiran-butiran airmata. Merangkaikan untaian-untaian kata. Namun, aku tahu, dia takkan bahagia bila aku hanya berkata-kata, walau sedalam apapun cintaku padanya. Dia hanya menginginkan kebaikan yang diajarkannya mewujud di dunia sekarang ini dan di akhirat nanti. Allahu akbar, terimakasih padaMU Ya Rahmaan Ya Rahiim, di malam yang penuh makna ini kau sentuhkan cahaya dan cintaMU dalam jiwaku hingga terlantun do'a yang memiliki ruh, tak sekadar ucapan belaka, ya nabi salamu'alaika, shalawatullah 'alaika...

"Rindu kami padamu ya rasul
  Rindu tiada terperi..
  Berabad jarak darimu ya rasul
  Serasa engkau disini
  Cinta ikhlasmu
  Pada manusia
  Bagai cahaya suarga
  Dapatkah kami membalas cintamu
  Secara bersahaja.."