Selasa, 20 Desember 2011

Sebatang Pohon dalam Jiwa

Pohon itu masih ada di situ, tumbuh dengan kokoh, dedaunannya menghijau rimbun, dengan akar kuat tertancap ke bumi. Walau angin kencang bertiup pohon itu tetap berdiri dengan gagah pada tempatnya, di sekitar tanah lapang yang kering. Bila hujan turun, daun-daunnya siap melindungi orang-orang yang berteduh di bawahnya. Walaupun, sekilas, bila orang memandang pohon itu tampak tak terlalu menarik. Namun buatku pohon itu menawarkan sejuta ketenangan. Biasanya, tengah hari, saat aku istirahat dari pekerjaanku, aku biasa duduk-duduk dibawahnya. sekedar melepaskan lelah, dan menikmati angin sepoi-sepoi. 

Di siang yang agak mendung, aku kembali menyempatkan duduk di bawahnya. Ketika kupandangi pohon itu, tiba-tiba kilat-kilat ingatan masalalu menyeruak. Membongkar apa yang selama ini kusimpan. Dirimu. Bertahun-tahun aku aku berusaha menghilangkan bayang-bayangmu dari segala ingatan, memori, kenangan dan segala hal gombal tentang kita dan kamu. Namun entah kenapa, hari ini, aku tiba-tiba teringat tentangmu. Aku biarkan semua ingatan itu mengalir, mencair dan meleleh di sepanjang batang-batang syarafku. Rengkuhanmu, uluran tanganmu, kecupanmu, perlindunganmu, pemikiran-pemikiranmu, prinsipmu, pandangan hidupmu, sikap, dan kasih sayangmu. Ternyata aku tak pernah kehilangan semua kenangan tentangmu. Pohon besar ini, mengingatkanku padamu. Dirimu yang selalu mengakar ke bumi, namun juga berpikir jauh ke depan. Selalu memberikan kesejukan dalam setiap emosiku yang bergejolak, selalu kokoh dan siap memberikan bahumu sebagai tempatku bersandar, melepaskan segala penat jiwaku. Dirimu seperti akar pohon yang menyerap setiap tetes airmata yang mengalir dan mengeringkannya. Dirimu selalu menerima segala keluh kesahku seperti pohon ini menyerap karbon dioksida yang aku hembuskan, dan memberikan nasihat seperti pohon ini memberikan oksigen untukku bernapas. Dirimu senantiasa teduh seperti pohon ini. Tak terasa air mataku benar-benar menetes, kerinduan padamu sekonyong-konyong begitu kuat menghantam jiwaku. Dirimu, telah tumbuh menjadi pohon besar dalam jiwaku, membuatku selalu nyaman.

Namun rupanya tak semua suka dengan harmoni kami, hingga datanglah badai itu, yang mencerabutkanmu dengan paksa. Dan memaksamu tumbuh di tempat lain yang kau tak pernah tahu seperti apakah itu, satu tempat tumbuh yang tak pernah kau inginkan. Akarmu masih tertinggal disini, di jiwaku, namun batang, ranting dan daunmu tak ada lagi padaku. Aku sakit karena akarmu masih menancap begitu kuat padaku, sehingga tak memungkinkan pohon lain bisa tumbuh dengan baik disini. Dan aku sangat tahu, dirimupun sakit, sekarat menanggungkan hidup tak sempurna, sebatang pohon besar yang tumbuh tanpa akar, hanya menunggu saat menjadi layu, kemudian tumbang. Tidak. Aku tak mau itu terjadi. dan aku yakin, kuasa Tuhan masih bisa menyelamatkan pohon besarku.

Mudah-mudahan Tuhan mendengarkan semua jerit tangis aku dan pohon besarku, menyatukan kami lagi dalam satu harmoni alam, sehingga pohon besar ini kembali tumbuh dengan rindang, lalu berbuah untuk memberikan manfaat yang lebih banyak bagi kehidupan. Menyimpan mataair yang menyegarkan bagi setiap musafir yang singgah. Tumbuhlah lagi disini pohon besarku, akarmu masih aku pelihara dengan baik, tak kubiarkan membusuk apalagi mati. Siap menyambut kapanpun kau kembali. 

Angin sepoi-sepoi meniup pipiku, membangunkanku dari lamunanku. Aku tersenyum. Pohon besar itu, berdiri kokoh disitu. Melindungiku dari rintik-rintik hujan yang mulai membasahi senja. Mengingatkanku padamu pohon besarku. Aku merindukanmu.

Magelang, 20 Desember 2011
.....everything about you....

Sabtu, 17 Desember 2011

Karena Aku Percaya

'Begitu kau menapakkan kaki ke padang pasir, kau tak bisa mundur lagi. Dan kalau kau tak bisa mundur lagi, kau hanya perlu memikirkan cara terbaik untuk maju terus. Selebihnya terserah Allah, termasuk bahaya yang mungkin terjadi' 
Kalimat yang aku baca dari novel Paulo Coelho itu seakan-akan menyentak kesadaranku. beberapa hari ini aku sempat goyah, akankah kesempatan yang ditawarkan perusahaan itu jadi aku ambil? Sebenarnya aku sudah mengiyakan tawaran itu, yang berarti pula aku meninggalkan semua kenyamanan yang diberikan Yogyakarta, meninggalkan dua buah hatiku yang masih menempuh pendidikan di sini, dan meninggalkan cinta yang kau tawarkan. Keputusan sudah aku ambil, pantang buatku berbalik. Benar, aku hanya perlu memikirkan cara terbaik untuk bertahan  hidup kelak disana, selebihnya terserah Allah. 

Aku harus terus maju, berjuang untuk kehidupan kami bertiga, berjuang untuk harga diri dan kehormatanku. Aku tak menampik, cintamu memang ada untukku, namun tak cukup besar untuk menghadang semua rintangan yang menghalangi kita. Tak cukup besar untuk membuatku tetap bertahan disini. 

Bila terus menoleh kebelakang, yang ada hanyalah sesal, karena kau memilih menempuh jalan yang berbeda, yang membuat keadaan kita tercabik-cabik seperti sekarang ini. Namun aku tetap harus bisa menghargai caramu "cara dia tidak sama dengan caraku, begitu pula sebaliknya. Tapi kami berdua sama-sama sedang mencari takdir kami, dan aku menghormatinya untuk itu" Aku bisa menghormati keputusannya utk tidak hidup bersamaku. "mungkin Tuhan menciptakan padang pasir supaya manusia bisa menghargai pohon-pohon kurma itu " Mungkin juga, Tuhan memberikan dalam hidupmu orang lain, agar kau bisa menghargai kehadiranku dalam hidupmu. Mungkin.

Aku hanya perlu menguatkan niat, membulatkan tekad untuk terus berjuang untuk memenangkan kemanusiaanku dan mengalahkan nafsu serta egoku. Aku sudah mendapatkan hatimu tanpa perlu aku merebut dari siapapun. Bila aku mau, aku bisa mendapatkan dirimu, sepenuhnya. Tapi aku tahu, itu akan merendahkanku sebagai manusia. Aku bukan manusia semacam itu, gagah berani mengembangkan layar, mengarungi hidupku sendiri, hingga Allah lah yang berkehendak memberikanmu padaku, itulah aku. Langsung terjun ke pertempuran tanpa perlu tahu bagaimana hasilnya. Masa depan sudah ditulis Allah, dan apa yang telah ditulisNYA selalu untuk kebaikan manusia. Aku percaya, Allah memberikan yang terbaik untukku.

Yogyakarta, 18 Dec 2011
22.55
inspired by the alchemist_paulo coelho

Sabtu, 10 Desember 2011

Lelah hati

where did you when i need you. easy come easy go. anyway the wind blows. it's really really matter to me...Mulut berkata apa, fikiran berfikir lainnya dan tubuh bertindak yang sebaliknya. Bagaimana aku bisa mempercayaimu. Semua pada akhirnya seperti gurauan dan bualan saja. Hari menjelang pagi, aku masih terjaga, dan kau belum kunjung pulang jua. Aku lelah.

Jumat, 09 Desember 2011

Saat Pergi

Dedaunan di sepanjang jalanan menghijau sejuk, tak nampak lagi jejak-jejak kekeringan sebulan yang lalu. Tanah berwarna merah berganti dengan hijaunya rumput yang mulai meninggi. Daun jati tak lagi meranggas. Demikian pula hidup. Sejenak kita akan berada dalam nestapa, kesedihan namun percayalah pada saatnya itu akan berganti dengan kegembiraan. karena begitulah hidup. Semua silih berganti datang dan pergi. Begitupun cinta, seseorang akan datang menawarkan cintanya padamu, hingga waktunya dia akan merasa cinta tak lagi sekuat manakala pertama kalian bertemu, dan engkaupun berpisah. Bersedih saat cinta pergi, tak seharusnya membuatmu berputus asa terhadap hidup, karena yakinlah, pasti akan datang cinta yang lain, yang memiliki warnanya tersendiri. Nikmatilah setiap keindahannya, namun ingatlah keindahan itu takkan selamanya, Bila cinta itu pergi relakan saja.  Karena semua silih berganti datang dan pergi. 
Dunia, manusia, fana. Hanya satu cinta sejati yang tak pernah berubah, cinta Sang Maha Pencipta pada manusia. 

Ada saat datang, ada saat pergi. Ada saat bertemu, ada saat berpisah. Terkadang kita harus ditinggalkan seseorang, terkadang kita harus meninggalkan seseorang. Semua adalah hal yang wajar dalam hidup, bukan sebuah keluarbiasaan. Bila kita mampu "membaca" maksudNYA, maka tak ada yang perlu dirisaukan, karena semua pasti bermuara pada cinta. Bukankah semua harus berganti agar hidup ini memiliki cerita dan warnanya. Nikmatilah dan pahami karena apa yang kamu alami akan menjadi pelajaran untuk orang-orang sesudahmu nanti. 

Saat aku harus melangkah meninggalkanmu, biarkan aku, aku pergi bukan untuk sekedar materi atau kebendaan duniawi, aku pergi untuk satu nilai dan harga diri seorang manusia. Karena sudah terucap janjimu pada Sang Maha Pencipta, satu ikrar terberat manusia yang aku tempatkan di tempat paling mulia. Aku pergi karena cinta, cintaku padamu, cinta padaNYA. Karena aku tahu suatu kehidupan yang agung takkan pernah terwujud di dunia bila aku tak mampu menghargai janjimu padaNYA. Hanya Allah satu-satunya Pembina Kehidupan Agung. 


Yogyakarta, 12 Desember 2011

Selasa, 06 Desember 2011

Menunggu Separuh Jiwa Pulang

Perempuan itu terus berjalan menyusuri takdirNYA, dengan kerudung lusuh tersampir di pundaknya, tak mengenal lelah dia setapak demi setapak melangkahkan kaki. Peluh dan luka-luka tak ia hirau. Walaupun tak tahu arah harus kemana, dia tetap berjalan. Di ujung desa, seorang laki-laki, kira-kira sebaya dengan perempuan itu, berdiri menatapnya berlalu. ada desiran kecil dalam hati laki-laki itu manakala pandangan mata mereka bertemu.  Senyuman kecil dari perempuan itu untuknya, senyuman ramah dibalik nestapa yang berusaha ditutupinya menambah desiran kecil dalam hatinya menjadi lebih kentara.

Perempuan itu berlalu tanpa sempat memikirkan apapun kecuali dirinya dan hidupnya. 

Takdir adalah kehendakNYA, tak bisa diubah kuasa manusia. Pertemuan selanjutnya adalah bagian dari takdir mereka, laki-laki itu tak mau lagi kehilangan senyum perempuan itu begitu saja, diulurkan tangannya untuk saling mengenal. Dan pertemuan pertemuan selanjutnya sekilas sekilas namun begitu indah, telah menyemaikan sesuatu yang indah adalam masing-masing jiwa. Mungkin itu yang disebut cinta. Walaupun perempuan itu tak pernah tau dengan pasti apakah itu cinta. 

Perlahan-lahan perempuan itu mendapati dirinya berubah, tak lagi muram durja, perempuan itu begitu bahagia berbunga-bunga. Begitupun laki-laki yang dikenalnya  mereka saling memuja, saling mengasihi. Hari, bulan, tahun mereka rajut, berjalan beriringan, bergandengan tangan. Hanya bahagia adanya. Indah.

Namun takdir sudah dituliskan, ada suram ada keindahan, ada kesedihan ada kebahagiaan. Mungkin catatan kepedihan perempuan itu belum tergenapi, hingga Tuhan masih menagihnya utk digenapi. Laki-laki itu harus pergi  untuk satu alasan yang tak pernah dia mengerti. Tangisan kepedihan memenuhi rongga waktu yang dia lalui. Mengapa? tanya itu tak pernah terjawab, kepedihannya seakan tanpa tepi. Tangisan, kepedihan semakin lama menggerogoti jiwanya, meracuni, melahirkan benci, sumpah serapah dan kesakitan yang luar biasa. Perempuan itu hampir sekarat. 
Disaat sekaratnya, bisikan dari berbagai penjuru bumi merasuki hidupnya, bisa meredakan amarahnya, namun tidak kebekuannya. Perempuan itu membeku jiwanya, apatis dan tak peduli pada apapun tentang lelakinya. Tak peduli lelakinya tergolek sakit karena butuh uluran tangannya, perempuan itu mati rasa.

Perempuan itu berjalan kembali menyusuri takdir. Dengan kebekuan dan mati rasa. Dia mengingkari satu rasa dalam hatinya karena terlalu berat beban yang ditanggungya. Dalam hampa dia berjalan tak hirau apapun di dekatnya. Hingga seorang sahabat menghampirinya, mengajarkannya tentang arti sebuah cinta. Cinta sejati yang tak pernah mengenal kata kehilangan. "Mencintai seseorang berarti kau mencintainya dengan jiwamu sepenuhnya, tak peduli dengan siapa dia hidup saat ini, kecemburuan tak layak menjadi kebencian, kecemburuan tak layak mengalahkan keagungan cinta itu sendiri. Belajarlah untuk tidak lekat terhadap sesuatupun, karena tak ada yang abadi di dunia ini. Dengan tidak lekat terhadap sesuatu berarti kau bisa merasakan sebenar-benarnya keberadaan. Dan kehilangan adalah sisi lain keberadaan. Jangan pernah menyesalinya." 

Perempuan itu tersenyum, sekilas. Sebuah pelajaran hidup yang belum sepenuhnya dia mengerti, namun dia yakin suatu saat dia pasti akan mengerti.

Dua tahun dalam dalam kehilangan. Tak ada lagi tangisan atau dendam pada perempuan itu. Takdir kembali menghampirinya, untuk menggenapkan catatan bahagianya, penyerahan diri pada takdirNYA.

Suatu senja, diantara rinai gerimis, nanar perempuan itu menatap tak percaya, laki-laki yang pernah begitu dikenalnya berdiri tegak di hadapannya, seraya berkata, "Dua tahun aku mencarimu, meskipun kau menghindar, meskipun kau tak sudi menatapku aku tetap mencarimu, karena aku tahu, separuh jiwaku telah kau bawa. segumpal hatiku telah kau genggam dan aku tak mampu hidup tanpa dirimu".  Seperti badai kilat yang menyambar bertubi-tubi, tembok keangkuhan yang ia bangun runtuh seketika, perempuan itu bersimpuh seraya berkata, "separuh jiwakupun kau bawa, dan segumpal hatiku kau genggam erat. Akupun tak bisa hidup tanpa dirimu". Sejenak, seperti menemukan sebagian diri yang hilang, mereka bercengkerama, membagi kisah hidup yang dilaluinya, tertawa bersama, mendendangkan nyanyian kehidupan. Namun, mimpi indah harus diakhiri sebelum semuanya terbangun atau berubah menjadi mimpi yang buruk. Dengan mulut bergetar perempuan itu berkata, "kau sudah mengetahui dimana separuh jiwamu terbang, kau sudah mengetahui dimana segumpal hatimu tersimpan, semua akan aku jaga dengan baik dan penuh keyakinan, dirimu pasti akan kembali. Berangkatlah dalam tugasmu dengan tenang, aku disini, menunggumu,  menunggu separuh jiwaku yang hilang akan pulang." 

Yogyakarta, 6 Desember 2011
Untuk separuh jiwaku, yang selalu rajin memohon pada Tuhan, semoga Tuhan mengabulkan doamu.  Amin



Kamis, 01 Desember 2011

Elegi Kau Aku

Kidung malam, sayup terdengar. Kidung tentang penyesalan kidung kehampaan.. Kau datangi aku dengan segenggam luka nestapa. Betapa setelah perjalanan yang kau tempuh, kau hanya menemui kehampaan. Betapa kau tak mampu menghibur dirimu. Betapa tak mudah kau hidup tanpa kicauanku di sepanjang harimu. 
Aku yang pernah tercampakkan olehmu, aku yang pernah berkeping keping ingin sekali menghindarimu. Namun aku tak mampu melihat sayup kidungmu menjadi elegi yang mengoyak-ngoyak jiwaku. Perih. Aku menyerah.  Aku menyambutmu dengan penghiburan setulus jiwa. Kubiarkan kau tersenyum menikmati indahnya tarianku, tanpa kau harus tau betapa telaga bening ini telah mengalir perlahan menyusuri kelok kelok pipiku. Kau tak pernah tahu, selama ini aku merasa diriku hanyalah remah-remah di matamu, tak pernah lebih penting dari dirimu sendiri. Meskipun sekuat halilintar aku berteriak meyakinkanmu bahwa akulah yang kau cari namun ditelingamu teriakanku hanyalah angin lalu. Aku tak seindah impianmu, aku terlalu buruk untuk beriring denganmu. Bagaikan sampah, aku tak pernah kau biarkan muncul walaupun hanya di pintu pagar rumahmu.  Itu yang aku tangkap dari bahasamu dahulu.

Kau selalu mengatakan, kebenaran adalah waktu, maka inilah kebenaran itu, bahwa kau membutuhkan kicauanku, tarianku, aku. 

Kebenaran adalah kebenaran dan penyesalan tetaplah penyesalan, selalu datang setelah semua terjadi. Tengoklah pada sebuah janji suci, pada seseorang yang tak pernah mengerti untuk apa dia ada disisimu. Terlalu lugu dia untuk mengerti betapa rumitnya hati, betapa tak mudah memilikinya walaupun raga dalam genggaman tangannya. Kau telah memilih membangun istana pasirmu yang selalu membuatmu semakin pedih karena semua yang ada padamu tlah luka terkoyak kesombongan di masa lalumu. Perlahan namun pasti istana pasirmu terkikis angin, saat itu barulah tersadar bahwa yang kau butuhkan bukanlah itu. Kau membutuhkan kicauanku, tarianku, aku.

Kidungmu mengalun di kesunyian malam-malamku, elegi yang menyayat hati. Berharap ada keajaiban yang bisa membawamu padaku. Aku hanya terduduk disini, memandang luka-lukamu, mendengarkan jeritanmu tanpa mampu membuat segalanya seperti sediakala. Tertatih tatih aku bangkit setelah kau hempaskan aku hingga luluh lantak, aku bisa kembali tegak menatap dunia, dan aku berbahagia dengan keadaanku saat ini, tak aku ijinkan seorangpun, termasuk dirimu, menghempaskan aku lagi dan mengambil bahagiaku yang sejati, diriku. Lantas apa yang kau tawarkan untuk kebahagiaanku? Apakah cukup sepenggal cinta untuk membuatku kembali? Entah.

Kebenaran adalah waktu, dan aku tak pernah tahu apakah aku harus bersedih atau berbahagia pada saat kebenaran itu menghampiriku. 
Dan kidungmu pun sayup-sayup menghantar tidur malamku, sebuah elegi dini hari. 


Rabu, 30 November 2011

Taman Langit

Dalam duduk sendiriku, kusesap perlahan kopi di cangkirku.
  Tiba2 rasa kehilangan itu menyergapku, 
     menelusup dalam relung2 jiwaku,
         menyebar seirama nafasku.
               Kuhampar pandanganku pada hijaunya sawah, birunya langit, 
                    kucoba menepis rinduku.
                        Kutelusuri sepi yang kelabu, nyanyian jengkerik melengkapi sendiriku.
                               Dan langitpun semakin temaram membawa bayangmu 
                                  menjauh dariku. 




Yogya 30 juli 2011@skygarden


Pada kamu, yang menemaniku menyesap secangkir kopi sore itu. Kusampaikan maafku. Karena saat itu mata jiwaku tak sanggup menangkap apa yang seharusnya kurasakan dan kuhargai. Aku tak pernah hirau setiamu, yang selalu ada, menyediakan bahumu bagiku bersandar dalam lelah letihku. Tak pernah menghargai segala rasamu. Disaat bersamamu pada sebuah keindahan suasana, menikmati remang senja di tepian sawah, justru aku membiarkan sebuah rasa kehilangan pada seseorang yang tak pernah menganggapku ada. Maafkan aku.

Tiga tahun semenjak sore terakhir kita bertemu, aku baru memahami makna. Mengukur kekuatan rasa yang selalu kau berikan tulus untukku. Aku paham kebingunganmu akan perubahanku. Aku hanya bisa mengatakan, biarkan aku menebus waktu yang aku sia siakan untukmu. Biarkan semua mengalir indah dan alami. Takkan kubentang perisai diri lagi. Aku menerimamu, apa adanya dirimu. 

Meski saat ini jarak membuat sekat sekat waktu, namun rasamu tak berjarak untukku.
Terimakasih cinta,

Denpasar Feb 2014 @paonomah


Jumat, 25 November 2011

Senyum Untukmu

Pasir putih menghampar berpadu indah dengan bias-bias kerlip air laut diantara birunya langit dan hijaunya bukit-bukit karang, sosok mu kokoh berdiri di depan mataku. Tanpa beban kau ayun langkahmu diatas pasir putih, meninggalkan jejak-jejak langkah. Seperti jejakmu di hatiku, begitu kentara. Aku berusaha menyelami apa yang sebenarnya ada dalam hati dan pikiranmu. Aku merasa menembus batas ruang dan waktu, terasa seperti mimpi, engkau nyata ada di depanku, terasa nyata dan terjamah, namun engkau bukan milikku. Sakit. 

Keindahan yang menjadi mimpi kita yang pernah terkoyak dan tercabik, pelan-pelan ingin kau bangun lagi. Aku tak tahu lagi, apakah aku harus mengiyakan atau menolak uluran tanganmu. Membangun sebuah istana khayalan adalah tak lebih dari membangun dunia yang tak pernah ada. Keindahan yang semu, yang akan hancur manakala kita harus terbangun untuk melanjutkan hidup. Dan itu akan terasa lebih sakit.
Desau angin membisikkan kata sanjunganmu yang setinggi awan, terimakasih, tapi itu tidak menjadikan semua menjadi nyata. Sanjunganmu adalah bangunan istana mimpi, indah hanya bila mata terpejam. Mengertikah kau?

Engkau juga menyimpan luka, aku tau itu. tapi apakah lukamu seperti lukaku? seperti gelombang air laut yang senantiasa berubah bentuknya, begitupun kata-kata yang kau lontarkan padaku. Semua bisa berubah, begitu ringan kau katakan itu padaku  dulu sewaktu engkau mengambil keputusan yang meruntuhkan tembok harapanku dan air laut itu menyiram luka ini menambah keperihan yang sudah ada. Jernih mataku menerawang jauh ke ufuk batas antara langit dan bumi, seulas senyum getir aku persembahkan untukmu. Penyesalan tak pernah datang di awal. Aku tahu Itu. 

Dalam jebakan pasir waktu, kita menikmati keindahan pantai ini, menunggu aliran pasir itu habis, dan habislah waktu dalam dunia khayal kita, dalam istana mimpi kita. Kembali kealam nyata dan menerima jalan hidup yang sudah kau pilihkan untukku. Terimakasih, meskipun pahit tetap akan aku telan tanpa dendam, dan tetap aku berikan seulas senyum getir untukmu. 

Sabtu, 19 November 2011

Kisah Sepasang Pendekar

Hingga detik ini, aku belum juga menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan dirimu. Seperti melihat dua jiwa dalam satu raga. Belum juga berubah, setelah semua yang terjadi. Masih menjadi pahlawan sekaligus sosok yang menakutkan buat aku. Perjalanan panjang itu sebenarnya cukup untuk mengembalikan ingatan-ingatan di masa lalu, cukup membuat airmataku menetes dan sempat terbetik setitik sesal atas apa yang terjadi. Ingin aku menjamah dan meringankan bebanmu, tapi sekaligus juga rasa ketakutan membuatku menahannya. Satu nyanyian membuatku tersenyum, satu nyanyian berikutnya membuatku teriris sedih. Selalu ada disaat aku membutuhkanmu,  namun juga selalu ada kesalahanku dimatamu. Begitu mudah kita berbagi tawa, begitu mudah kita membagi kisah, namun begitu mudah juga hal remeh kita pertengkarkan. Aku merasa akulah yang selalu mengalah, namun dirimu juga merasa dirimulah yang selalu mengalah. Mungkin kita sama-sama sekeras batu. Entah. 

Kita, seperti sepasang pendekar, gagah berani menempuh perjalanan tuk menemukan kitab pusaka kehidupan,  menghunus pedang menghadang musuh bersama-sama, membagi jurus, menyerang dan bertahan, melewati jurang dan pegunungan, melibas semua tantangan. Namun saat sampai diujung pencapaian, kita seperti manusia yang kehilangan tujuan, sibuk bertempur membela kedirian dan kehilangan kebersamaan. Entah.

Ingin ku berbulat tekad, takkan menolehmu lagi, namun ternyata tak mungkin. Ada tanda hidup yang membuat aku terkadang harus memandang sekeping jiwa dengan dua sisi yang berbeda. Entah.

Jumat, 30 September 2011

Ampuni kami duh Gusti Allah

Lebih mudah memang, melukiskan hati akan cinta manusia. merindu, memuja, dan sejuta kata-kata. Hingga terkadang terlena, lupa bahwa ada satu cinta yang jauh lebih indah dan abadi, satu pemujaan hakiki akan Sang Maha Cinta. Terlalu banyak cinta yang diberikanNYA, terlalu indah semua pemberianNYA, sehingga terkadang mata manusia silau, tak mampu memandanginya. Terlalu asyik berkubang dalam kenikmatan kasihNYA sehingga tak sadar kita bahwa kita sedang menikmati cintaNYA. Sekedar duduk saja, dan memandangi sebutir pasir lalu menyadari bahwa butir pasir itupun bukti cintaNYA. Dengan butiran-butiran pasir berdiri megah sebuah rumah, dimana kita berlindung dari terik matahari dan berteduh dari guyuran hujan. Dengan butiran-butiran pasir, tercipta ruas-ruas jalan, membentang jembatan, dan aneka ragam bangunan. Terlalu banyak cintaNYA sehingga kita terlalu terbiasa menjalaninya tanpa syukur. Begitulah kita, terlena.
DIA tahu kita lupa, sehingga sekali waktu mengingatkan kita, dengan sedikit teguran. Hanya supaya kita ingat, ada DIA. Namun yang ada, bukanlah kita menjadi kembali teringat padaNYA lalu mensyukuri semua nikmatNYA, tapi sedikit teguran itu menjadikan kita berang, marah dan bahkan menghujat titahNYA. Jikalau kita berani marah padaNYA, salahkah bila DIA lebih marah lagi pada kita??? 

Rabu, 21 September 2011

Kemarau tak menyisakan setetes air hujan


Hutan jati yang meranggas, menemani perjalananku sepanjang siang ini. Warna coklat menghampar, gersang. Terik matahari yang menyengat menambah suasana meranggas. Kemarau tak menyisakan setetes air hujan.
Nanar mataku menatap keadaan, pilu. Dimanakah yang dikatakan zamrud khatulistiwa itu? Bukit-bukit kapur di tambang, menyisakan ceruk-ceruk tak terawat, pohon-pohon ditebang  tanpa ditanami pengganti. Inikah gemah ripah loh jinawi? Suasana ini membuatku pening. (belum selesai -juga-)

Jumat, 29 Juli 2011

Duh!!

Siang itu di pinggiran kota kecil Purworejo terasa panas dan berdebu, gersang. Waktu dhuhur sudah masuk sekitar sejam lalu. Kami mampir ke sebuah masjid kecil di jalan menuju sisi barat pegunungan Menoreh. Pertama kali menginjakkan kaki dihalaman masjid masih terasa hawa panas dari terik matahari yang menyengat kulit, namun memasuki serambi masjid, seperti biasa hawa khas sejuk sebuak masjid segera mendinginkan tubuh kami. "Disebelah masjid ini adalah pondok pesantren wanita, kalo yang disana yang cat biru itu pondok pesantren pria" kata teman seperjalananku sambil menunjuk satu bangunan yang agak jauh dari masjid ini. Temanku memang sudah pernah ke masjid ini sebelumnya, kira-kira dua bulan yang lalu. "Itulah makanya disini banyak santri-santri perempuan", lanjutnya. Benar juga, mataku menyapu ke sekeliling masjid, tadinya aku tidak memperhatikan, ternyata di seputar masjid ini, di serambi, di dalam, di dekat tempat wudlu, santri-santri perempuan duduk terpencar, namun semua melakukan kegiatan yang sama, masing-masing memegang kitab dan menggumamkan lafadz-lafadz di dalamnya, pasti, mereka membaca Al Qur'an. Lalu aku berjalan menuju samping masjid, di satu sisi dimana terletak tempat wudlu wanita, disana juga ada satu santriwati yang sedang membaca Al Qur'an. Aku hanya melihat sekilas waktu melewatinya, aku segera menuju tempat berwudlu, tapi, ahai rupanya kran airnya tak meneteskan air, jadi aku tanya mbak santri, "mbak, airnya nggak nyala atau salurannya rusak ya?" "saya nggak tau bu" jawabnya. Duh, batinku kok simple banget dia jawabnya, tadinya aku berharap dia akan menjawab, "o ya bu, pompa airnya belum dinyalakan." tapi rupanya itu hanyalah harapanku, dan bukan jawaban dia. demi mempersingkat waktu, khawatir waktu dhuhur keburu habis, aku berwudhu di tempat wudhu pria. Untungnya sepi, tidak ada makhluk pria berkeliaran di tempat wudhu pria siang itu. Segera aku wudhu dan menuju dalam masjid untuk sholat.

Selesai sholat aku keluar menuju serambi masjid, ada santriwati yang sedang berhenti membaca Al Qur"an,  lalu timbul keinginanku untuk bertanya,
"Mbak, ini sedang menghafal atau mengaji saja",
"ya sambil menghafal mbak", jawab santriwati yang duduk di dekat bedug.
Lalu temanku datang dan ikut nimbrung, "Mbak, kalo nyantri disini sekolah umumnya dimana?"
"Nggak sekolah bu, begitu lulus SD karena nggak mampu sekolah di SMP Karena gada biaya, saya nyantri disini"
"Lha, memangnya mbaknya di Pondok gak bayar mbak?"
"Enggak bu"
Lalu aku bertanya lagi, "Mbaknya gak pengen kerjakah? kalo pengen ibu ini butuh teman buat bantuin momong anaknya di Yogya," sambil aku menunjuk ke arah temanku.
"Enggak lah bu, disini aja"
Aku mulai bertanya-tanya, lha kalau gak kerja, gak sekolah, trus tiap hari baca Qur'an saja, gimana dong... padahal, belum tentu juga anak itu tahu artinya.
" Mbaknya belajar Nahwu Shorof ndak mbak?" tanyaku lagi
" Iya bu, kemarin baru saja khatam"
"Wah, hebat dong mbak, aku aja pengen banget bisa, masih belajar-belajar sendiri nih"
Santriwati itu tersenyum. Lalu terpikir sesuatu olehku, "Mbak, kalo ngapalin Qur'an gitu, sekaligus dengan artinya tidak?", "Ya, pelan-pelan, sambil jalan Bu" Lalu, terpikir olehku, bila seorang anak perempuan, lulus SD, tidak melanjutkan pendidikannya, tidak juga bekerja, lalu wawasan hidup seperti apa yang dia punya. Apa iya dia disini hanya menghabiskan waktu untuk mengaji dan sholat tiap hari sambil menunggu seseorang pria datang melamar, duh, naif sekali.

Dalam mobil di perjalanan pulang, aku mengutarakan pemikiran yang mengusik otakku tadi pada temanku, lalu dijawabnya, "ya kan malah baik to, berarti dia tekun beribadah" "beribadah? beribadah emangnya cuman begitu, lalu kenapa dalam setiap doa ada fidunnya hasanah wa fil akhirati hasanah? lah kalo cuma mau akhirat aja, gak perlu dong ada fidunnya hasanah." " ya tapi kan akhirat itu lebih penting" jawab temanku. "Ah, kata siapa? kalo akhirat lebih penting mengapa ada Hablu minallah dan hablum minannas yg harus berimbang?" aku mulai ngotot, dan temanku menjawab, "ya mungkin untuk mereka begitu"

Iya juga sih, masing-masing kepala punya pemikirannya masing-masing, tapi buatku, alangkah sayangnya ilmu Allah, hanya dihafal dikepala saja, ibadah pada Allah hanya ritual saja. Dangkal sekali pemaknaannya. Mundur lagi jauh ke belakang. Duh!!

Selasa, 28 Juni 2011

Make It Simple

Celoteh buruk tentang diri sendiri yang dilontarkan orang lain, entah berupa gossip, kabar burung, issue ataupun tuduhan langsung tak pelak pasti membuat kita merasa tersakiti, serasa ingin berteriak pada dunia untuk  melakukan pembelaan, meluruskan, membantah dan mencari dukungan dari orang lain yang masih peduli pada kita. 
Begitupun padaku. Merunut beberapa peristiwa lalu, ketika ujian-ujian hidup itu datang. Tentunya setiap manusia melakukan tindakan karena dia merasa tindakan itulah yang paling benar yang harus dilakukan, begitupun diriku, aku yang pada peristiwa itu dalam posisi korban (setidaknya menurutku), justru dianggap menjadi biang keladi dari segala masalah. Sempat ingin emosi dan menanggapi, tapi kemudian terpikir, bukankah itu hal yang wajar bila dia dan siapapun orangnya melakukan pembelaan, pembenaran dirinya sendiri?? Karena yang demikian adalah manusiawi dan sewajarnya manusia diapun tentunya melontarkan  alibi dan pembelaan dirinya atas tuduhan-tuduhan yang aku lontarkan dan berbalik melemparkan tuduhan-tuduhan padaku, relakan saja. Segampang itukah? Ya, coba pikir, karena toh dunia ini berisi bermilyar-milyar manusia dan dalam setiap manusia memiliki latar belakang, cara pandang dan ide yang berbeda-beda. Jadi andaipun orang yang sangat kita sayangi ternyata tak memiliki cara berpikir dan bertindak yang sama dengan kita, terima saja. Andaipun harus berselisih paham dengan orang yang menjadi pasangan, atau bahkan mungkin pernah dianggap asal muasal potongan tulang rusukmu (hiks... itu teori adam dan hawa dari mana sih???), dan saat ini ternyata berseberangan ide, tak perlu emosi ataupun sakit hati, karena itu bukanlah hal yang aneh. Siapapun dia, bahkan manusia yang paling kita cintaipun memiliki kemampuan untuk mengecewakan kita, baik secara dia sadari ataupun tidak. Tinggal keputusan ada pada kita, mampukah diri kita beradaptasi dengan hal itu, bila ya, jalan terus sambil memahami orang tersebut, dan bila tak bisa dikompromikan lagi, ambil saja jarak, menjauh dari hal tersebut. Semua ada jalannya, tak perlu menjadi emosi dan berlarut-larut daling tuduh dan saling menyakiti. That's it. 
Sebenarnya bila kita mau berpikir lebih jauh, mungkin itu adalah cara Tuhan mengatakan pada kita, bahwa di dunia ini tak ada yang segala-galanya kecuali DIA. Seorang sahabat karib, seorang kekasih sekalipun  bukanlah segalanya untuk kita, suatu saat mereka sangat-sangat bisa mengecewakan kita, bahkan menyakiti kita, karena mereka adalah "masih" manusia. Disinilah diperlukan  dimensi-dimensi keluhuran budi,  penerimaan, memaafkan, ikhlas, menjadi pengasih dan penyayang tanpa batas seperti yang diajarkan Tuhan., untuk menyikapinya. Akhirnya, saat disakiti, saat kecewa, maka disitulah satu kesempatan untuk menjadi satu pribadi yang lebih indah.
( Terimakasih untuk seseorang yang sudah menjadi sumber ide masalah dan seseorang yang sudah mengembalikan aku pada cinta dan pada Tuhanku, aku menyayangi kalian  )

Senin, 20 Juni 2011

Life Balance

Tak hirau penat dan letih, tak sempat berfikir jeda. Waktu berpacu, terengah-engah menggapai angka-angka yang membayang semu. Tak sempat lagi mengembangkan senyumku padamu, hingar bingar teriakan, perintah bercampur amarah melecutku untuk senantiasa berlari. Serasa ingin berkeluh kesah, namun memikirkan sepotong kata tuk mengeluhpun tak sempat. Aku seperti raga tanpa jiwa, mati rasa. 

Syair indah tak lagi kuasa kusenandungkan, bahkan mendengarpun ku tak mampu, syairmupun menjadi terdengar hampa, karena kumati rasa.  

Kerasnya kehidupan, karena manusia tak lagi memilih mana gelap mana terang. Tuhan tak pernah mengajarkan sesuatu yang temaram. Tuhan memberi pilihan, gelap atau terang, dan manusia mengingkari dengan membuat remang-remang. Satu pilihan tentulah ada akibatnya, ketika manusia memilih keremangan, tentulah ada sebagian cahaya tertutupi oleh kesombongan kemanusiaannya, mempertuhankan dirinya, bahkan mempertuhankan ciptaan manusia, uang menjadi raja diraja, manusia menjadi penguasa. Manusia kehilangan kemanusiaannya. 

Mengejar uang, menghamba pada pekerjaan, hingga melupakan hakekat hidupnya, hinalah aku ketika begitu.
Melupakan keindahan syair kehidupan, canda dan celoteh anak-anak, bersendagurau dengan mereka. Apakah yang aku cari sehingga aku berani mematikan rasa yang diberikan padaku, yang begitu indah, begitu menenteramkan.

Terhenti aku pada satu titik, di puncak kejenuhan, dipuncak kelelahan. Aku ingin mendengar lagi indahnya petikan dawai gitar, dentingan piano dan suara merdu saxophone.  Aku ingin memandang polah tingkah anak-anak dalam keseharian. Aku ingin mengeja huruf demi huruf dari Kitab Penuntun Kehidupan. Aku merindukan satu kesetimbangan kehidupan.




Kamis, 26 Mei 2011

Biarkan Aku

Tengah malam, diantara sederet lukisan, menikmati warna-warni yang tertuang diatas kanvas. Menyusuri lorong-lorong temaram kita berjalan membagi bahagia.. Kau genggam erat jemariku seakan takkan kau lepaskan. Diantara gemuruh musik yang menghentak, mata kita bertatapan membagikan rasa. Disuatu tempat dimana semua diawali, dititik nol. Ditemani secangkir kopi press aceh  dan secangkir kopi drip toraja, kepahitan hidup seakan lenyap seiring kopi yang larut melalui kerongkongan. Tuhan begitu baik padaku dengan mengirimkanmu kembali dalam hidupku yang tinggal separuh ini. Rengkuhanmu begitu kokoh sehingga aku mampu berdiri tegak dan kembali bisa menatap dunia. Tuturmu begitu sarat sehingga aku ingat untuk kembali selalu padaNYA dalam setiap waktuku. Begitu indah caramu hingga aku tak pernah bisa melupakanmu. 

Tuhan, ketika sampai waktuku pada satu saat aku harus berdiri tanpa dia, biarkan kakiku melangkah kembali kesana, sekedar mengembalikan semua ingatan ke awalnya, ke titik paling awal dalam setiap perhitungan, titik nol. Awal yang indah, akan berakhir dengan indah. Andaipun dia tak mengenangnya, biarkan aku menggenggamnya sepenuh jiwa. Terimakasih Tuhan.


Rabu, 25 Mei 2011

Pada Sebuah Cermin

Aku tahu, beban hidup yang kau jalani memang teramat meletihkan, namun tak ada yang bisa aku lakukan selain merengkuhmu dalam sapa. Sebesar apapun rasa peduliku, sebesar apapun rasa sayangku, tetap saja dunia kita berbeda. Mungkin kamu berpikir, aku tak pernah mempedulikanmu, kelelahanmu, kesedihanmu. Kamu tak tahu,  Satu hal, mungkin dirimu tak pernah tahu apa yang aku rasa jauh dalam hatiku. Ketika kamu bilang, "coba kamu ada disini, bisa nemenin aku jalan, ngopi, pasti aku seneng", aku merasa duniaku runtuh. Kamu nggak tahu, jauh lebih mudah menjadi kamu, kamu bisa dengan mudah mengungkapkan apa yang kamu rasakan, kamu bisa mengatakan pada dunia apa yang kamu inginkan. Tak mudah menjadi aku, segala hal dibatasi dinding-dinding tradisi, yang tak mungkin aku terobos seenaknya. Mengaduh dan mengeluh kepada Tuhan, hanya itu yang meringankan, percayalah. Itu juga yang selalu aku lakukan. Karena kita berasal dari DIA, maka bila bebanmu tak sanggup kau pikul sendiri, mintalah kekuatan padaNYA, kembalikan semua urusan yang telah kau usahakan penyelesaiannya padaNYA. Jangan pernah merasa sendiri, ada Tuhan yang melihatmu selalu, dan ada aku yang menemanimu meskipun hanya lewat mimpi-mimpimu.
Hidup ini jangan kau jadikan bebanmu, berpikirlah bahwa kita adalah wayang. Sesulit apapun masalah yang kau hadapi, percayalah Tuhan sudah menyiapkan penyelesaian yang indah, karenanya mohonlah selalu padaNYA. Cobaan selalu ada tapi kekuatan dari Allah juga selalu tersedia. 
Tak perlu berandai-andai bila tak ingin merasa lebih sakit, biarkan semua berjalan apa adanya. Selalu berserah kepadaNYA itu lebih baik bagi kita manusia.

Selasa, 24 Mei 2011

Satu Kelokan Sunyi

Aku melayang-layang dalam hiruk pikuk dunia, mencobai aneka rasa pahit getir kehidupan demi menemukan separuh jiwa yang hilang. Beberapa kali singgah, hanya menemukan kekecewaan, karena ternyata bukan itu separuh jiwa yang hilang. Begitu mudah percaya, begitu mudah terbujuk. Akhirnya aku lelah mengepakkan sayap, lalu teronggok begitu saja di sudut kolam kehidupan. Nyaris tenggelam. Jiwa ini tanpa hasrat, tanpa keinginan, hanyalah hampa.

Meniti hari-hari sepi, hampa. Hingga terbetik tanya, apakah memang selamanya adalah kehampaan? Dengan gontai meniti labirin kehidupan, muram. Namun pada satu kelokan, aku terpana, seraut wajah yang sangat kukenal ada didepan mata, aku termangu. Dia kah? Seakan tak pernah jauh, tak pernah berpisah, semua mengalir tanpa rasa canggung, pembicaraan menggema di sepanjang lorong waktu yang terlewati, sehari, dua hari, seminggu, sebulan, setahun, tak terasa, labirin ini tak sunyi lagi. Membagi tangisan membagi tawa, membuat hidup tak lagi sunyi dan hampa.

Sejenak aku bisa melupakan akan pencarianku pada separuh jiwa yang hilang. Aku tak lagi berhasrat mencarinya. Biarlah, separuh jiwa itu ada dimana, aku tak terlalu mempedulikan lagi. Dia kah atau bukan dia kah tak penting lagi. Yang jelas aku berjalan tak sepi lagi. Aku bahagia.

Sabtu, 07 Mei 2011

Lembayung Bali


Menatap lembayung di langit Bali
dan kusadari betapa berharga kenanganmu
Di kala jiwaku tak terbatas
bebas berandai memulang waktu

Hingga masih bisa kuraih dirimu
sosok yang mengisi kehampaan kalbuku
Bilakah diriku berucap maaf
masa yang tlah kuingkari dan meninggalkanmu
oh cinta

Teman yang terhanyut arus waktu
mekar mendewasa
masih kusimpan suara tawa kita
kembalilah sahabat lawasku
semarakkan keheningan lubuk

Hingga masih bisa kurangkul kalian
sosok yang mengaliri cawan hidupku
Bilakah kita menangis bersama
tegar melawan tempaan semangatmu itu
oh jingga

Hingga masih bisa kujangkau cahaya
senyum yang menyalakan hasrat diriku
Bilakah kuhentikan pasir waktu
tak terbangun dari khayal keajaiban ini
oh mimpi

Andai ada satu cara
tuk kembali menatap agung surya-Mu
Lembayung Bali

Sabtu, 30 April 2011

It's Part of TOPTEN !!!

Indah Suciati, namanya bagus banget, dari dulu aku suuukkkaaaa dengan namanya... mencerminkan yg punya nama ... , sekarang Indah berprofesi sebagai Perawat di Puskesmas Nanggulan, Kulonprogo. Yustina Devi Ardhiani, biasa kami panggil Ived, sekarang masih tetep kueeeeciiilll, tapi sekarang meskipun masih juga kecil kayak dulu, Ived udah punya anak kecil..hehehe, anaknya umuran 1 tahun, dan Ived menjabat dosen di Univ Atma Jaya Yogyakarta ( eeehh, salah nggak ya? atau di Sanata Dharma ya? hehehe), Elisabeth Ida Purwanti, nah kalo ini temenku yang paling ayu, lha kalo cuma Riyanti Chartwright aja lewat dehhhh, sekarang Ida domisili di Jakarta, dan menjadi Guru Bahasa Inggris dan yang jelas masih tetep ayu.( Muridnya pasti bilangnya gini : dduhhh, guruku cantik sekali...).  Rina Khusnawati adalah aku, yang paling item, tomboy dan geje. (No comment aja deh...hihihi). Cewek kelima yg gada di foto adalah Caecilia Kusumastuti yang bersuara merdu, mmm sekarang kayaknya dia masih tetap berada di desa Minggir  kami yang tercinta, dan menjadi guru juga... (duuh, temen2ku alim2 dan berprofesi mulia semua ya... aku kok geje dewe nih...)

And then, another part of TopTen is about the boys... tapi aku lagi malas nulis tentang mereka... hehehe, yang jelas pastinya mereka, 5 cowok itu, sudah menggendut, jadi om-om dan tidak imut lagi seperti dulu... hahahaha......

Rabu, 27 April 2011

Bersimpuh padaMU

Memijak di rerumputan,
memandang nun di kejauhan, 
aromamu tak lagi lekat.
Aku tak mampu lagi berkata-kata.
Tak tahu lagi masih berartikah secuil beritaku. 
Sedangkan aku tak mampu lagi menggubah bayang-bayangmu dalam gumpalan otakku, 
karena ragaku sudah sedemikian lelah mengejar hari. 
Kesemuan menghampar, 
memberikan segala hal tentang kegalauan. 
Meluntir, meliuk liuk, ingatan berkelebat simpang siur, 
seperti lakon drama tanpa alur. 
Hingga saat aku menemukan diriku bersimpuh pilu, 
Allahku hanya Kau yang tak pernah nampak namun selalu ada untukku,
aku bahagia merasakan kasihMU yang tak pernah semu.

Selasa, 26 April 2011

simphony jiwa


Ibarat dalam sebuah kolaborasi pementasan musik, maka engkaulah conductornya, dan aku adalah seorang pemain musik yang engkau pilih. Beratus-ratus lagu kita pentaskan, hingga kita nyaris terhanyut, hidup dalam iramanya, seakan-akan tak ingin berhenti bersimphony, tak pernah terasa lelah, mengesampingkan semua hal tentang kehidupan, hingga saat engkaupun tersadar, khawatir musik ini akan membunuhmu. 

Aku adalah pemain musikmu, engkaulah conductornya. Engkau pemegang iramanya, ketika tanganmu melambai tanda mulai, aku mainkan musikku, dan ketika engkau berhenti, aku berhenti. Ketika engkau menghendaki musik ini dimainkan lagi, aku akan memainkannya dengan harmoni penuh penjiwaan, dan ketika kau beri tanda aku harus berhenti aku akan diam. Begitulah. Karena aku pemain musikmu dan engkaulah conductornya.

Hingga saat kau tidak sanggup lagi lagi memberikan aba-aba, karena kau ingin musik yang tak berguna ini dihentikan saja, agar tak larut dalam rintihan melodinya, atau agar  tak terbawa euphoria musikalitasnya. Tak perlu kau ragu, aku akan patuh, segera aku akan berhenti memainkannya. Karena seorang pemain musik akan mengikuti aba-aba conductornya.  

Easy going, itu jalan yang aku pilih saat ini, karena itu jauh lebih mudah buatku untuk menjalaninya. Karena sudah cukup kehidupan ini mengajariku tentang kepahitan hidup akibat kekecewaan. So, make it simple and don’t think so. Menyederhanakan hidup, jauh lebih mudah buat aku. 

Jangan khawatirkan tentang aku, mainkan saja musik terbaikmu, dengan atau tanpa iringanku, komposisi yang kau mainkan tetap akan merdu. Biarkan diriku. Karena  buat aku menjalani kembali sunyi hidup. Menikmati setiap tarikan nafas yang masih bisa aku hirup, adalah sebuah melodi tersendiri. 

Terimakasih telah bersama-sama memainkan musik kehidupan yang indah bersamaku, dan bila kini dirasa cukup, maka cukuplah. Berjalanlah, lakukan yang terbaik, yang terbaik buatmu pasti baik juga untukku. Go on.

Jangan bersedih..no..no..no….. please don’t be sad, because life is simple. Easy come easy go, just enjoy whatever happen. Hidup ini pendek sekali, rugi bila hidup harus bersedih. Karena sudah cukup kehidupan ini mengajariku tentang kepahitan hidup akibat kekecewaan. Jadi, aku akan tetap tersenyum dengan atau tanpa iramamu. Karena setiap  tarikan nafas yang masih bisa aku hirup, adalah sebuah melodi tersendiri.

Rabu, 06 April 2011

Petunjuk Kehidupan


Menuju satu abad yang belum bernama, menuju satu harapan yang terjanji oleh Sang Pemilik Segala. Aku terseok ditengah perjalanan, dihempas badai, dibakar matahari, membeku oleh hujan es lalu hancur berkeping-keping oleh sambaran petir. Tapi aku belum mati. aku masih menjalani kehidupan, compang camping dan berbau karena aku berkubang dalam limbah kehidupan yang carut marut tanpa tatanan, hal hal busuk dan munafik yang bertebaran, manusia menyembah maha keuangan. Menggadaikan keayuan ciptaan Sang Pemilik Segala dengan lembar lembar kertas yang dijuluki uang, menukarkan harga kemanusiaan dengan recehan logam yang juga dijuluki uang. Wahai, seratus truk tronton uangpun tak pernah bisa menukar harga keagungan ciptaan Sang Pemilik Segala, tapi lihat, betapa bodohnya manusia, membiarkan dirinya diperbudak oleh ciptaannya sendiri, menghamba pada lembar-lembar kertas. Alangkah meruginya.

Ketika secercah cahaya itu datang, sebenarnya sangatlah terang benderang bagi mata yang bisa menatap. Cahaya diatas cahaya, yang membuat mata bisa melihat satu petunjuk kehidupan yang tak ada keraguan didalamnya, yang akan membawa kita pada satu jalan menuju satu kehidupan indah yang dijanjikan oleh Sang Pemilik Segala, satu abad yang belum bernama. Kusadari Sang Pemilik Segala memberiku mata yang sempurna, namun terkadang kebodohanku yang terlalu sibuk dengan basa basi busuk duniawi yang tiada habisnya, menghalangi mataku melihat cahaya itu. Tanpa cahaya, bagaimana aku bisa membaca petunjuk kehidupan?? Alangkah bodohnya. Alangkah meruginya.

Jumat, 04 Maret 2011

Doakan, aku pulang lewat hutan

Gamang jiwa ketika menerobos pekat gulita malam, dingin menusuk hingga sumsum tulang. Pekerjaan yang harus aku tuntaskan hari ini berakhir hingga agak larut malam. Perjalanan pulang memakan waktu beberapa jam, melewati jalanan bergelombang, di tengah hutan jati, yang sebagian aspalnya telah menghilang dan tinggalah bebatuan berserakan. Tapi setidaknya masih ada yang bisa aku syukuri, yakni perjalananku ini tak ditemani hujan yang deras, hanya rintik-rintik meskipun cukup membasahi. Gelap dan suwung, benar-benar tanpa cahaya, dan malam senantiasa menyembunyikan makhluk-makhluk kegelapan. Hanya lampu motor ku menyorot tajam, menelisik setiap lubang dan bongkah batu di jalanan.

Sobat, doakan, aku pulang lewat hutan, memasuki pekat ini seakan aku memasuki dimensi dunia yang berbeda. Makhluk-makhluk tak kasat mata pasti nyaman tinggal disini karena tak terganggu oleh hiruk pikuk manusia, dan manakala deru mesin motorku membelah kesunyian yang menjadi milik mereka, bukan tak mungkin mereka protes sampai-sampai naik pitam. Ingin kuberkata pada mereka, aku bukan tentara yang datang mengobrak-abrik kediaman mereka, aku hanyalah seorang hamba yang berjuang menunaikan tugas yang diamanatkan untuk sebuah hakekat kemanusiaan, jadi, mohon permisi, nderek langkung, saya numpang lewat.

Sobat, pesan singkatmu menguatkan jiwaku, meskipun aku tahu, Tuhanlah segala, DIA takkan membiarkan sesuatupun menggangguku tanpa seijinNYA, namun sapaanmu tetap kubutuhkan. Doa-doamu berkolaborasi dengan doaku, bersinergi, menghasilkan frekuensi gelombang doa yang lebih kuat, dan Tuhan takkan membiarkan sesuatupun menggangguku tanpa seijinNYA.

"Tuhan, ijinkan aku melewati yang gelap ini, melewati yang pekat ini, melewati yang berlubang ini, melewati yang bergelombang ini,  jangan kau ijinkan makhluk-makhluk kegelapan mengganggu perjalananku, ijinkan keselamatan menemaniku hingga sampai di akhir perjalananku nanti, sehingga aku masih bisa melanjutkan tugas tugas yang KAU percayakan padaku esok hari."

Sobat, tunggu aku dalam terjagamu, nanti begitu sampai di tujuan kan kukirim kabarku padamu.

Salam.

(Kata jinn dalam bahasa Arab menacu pada sesuatu (makhluk) yang tertutup dan tersembunyi.
Al-Jauhari[1] mengatakan bahwa Al-Jãn adalah ayah jin, yang bentuk jamaknya adalah jînãn. Dalam kamus Al-muhît dikatakan: Jannahu Al-Layl berarti malam menutupnya. Segala yang tersembunyi dari anda disebut junna ‘anka. Jinn Al-layl berarti kegelapan malam. Al-Mijannah mengacu pada tanah (kawasan) yang dihuni banyak jin. Al-Jãn adalah jamak dari Al-Jinn.[2]
Kamus Lisãnul-‘Arab mengatakan: janana berarti menutup atau menyembunyikan. Segala yang tersembunyi dari anda diktakan Junna ‘anka. Jannahu al-layl berarti malam menutupnya… Jin adalah sebutan untuk makhluk yang tersembunyi dan tertutup dari pandangan. Bayi dalam kandungan pun dikatakan al-janîn karena ia terlindung di dalam rahim ibunya.[3])

Jumat, 18 Februari 2011

Bunga Padma Kehidupan

"Allah berbicara denganmu, lewat pergumulan hidupmu". Seorang sahabat berpesan demikian, disaat aku mengeluh dada ini terasa sesak, hidup terasa sumpek. Berkeluh kesah pada sesama manusia adalah jalan pintas yang paling sering dilakukan disaat beban terasa tak tertanggungkan. "Aku hanyalah perpanjangan tanganNYA, bergantunglah tetap pada Allah" begitu katanya.

Pada saat seorang manusia mendapati dirinya dalam kubangan permasalahan hidup, terkadang tak sempat lagi berpikir jernih, kemanakah dia hendak berlari. Bahkan terkadang bukan mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi, namun justru menyibukkan diri dengan menikmati dan menenggelamkan diri dalam "penderitaan" nya. Betapa naifnya. Namun begitulah adanya, dan begitupun saya, atau mungkin kita. Disaat mendapati kenyataan tak sesuai harapan, disaat mengalami kegagalan, disaat mengalami kehilangan, hati ini terasa begitu menggelegak, otak tak mau diajak berpikir jernih lagi, dan mulut tak sabar lagi mencari tempat menumpahkan emosi jiwa. Kenapa ini harus terjadi? Kenapa harus aku yang mengalaminya? Lalu, datanglah kita pada orang yang bisa kita ajak bicara, seorang teman, sahabat, orangtua, kekasih, pasangan, atau siapapun yg dianggap bisa kita percayai. Sebenarnya tak ada salahnya, tapi terkadang kita lupa, dalam menyampaikan "penderitaan" yang baru kita alami cara penyampaiannya terkadang seakan-akan penderitaan yang tiada akhir, dunia runtuh, sampai lupa bahwa ada kuasa dari Yang Maha Memiliki Kuasa, yang sewaktu-waktu siap kita mohon pinjaman kuasaNya. Namun, tak juga kita bisa menyalahkan begitu saja keadaan yang demikian. karena seorang yang sedang mengalami masalah, maka dia adalah wayang yang sedang ada di layar pertunjukan. tak mampu melihat jalan cerita dari sang dalang. Lain halnya dengan penonton, sedikit banyak, dia sudah dibekali resensi atau paling tidak tahu judul dari lakon yang tengah dimainkan dalang, sehingga bisa menebak-nebak jalan cerita yang bakal dialami si wayang. 

Seorang aku, beberapa tahun silam, adalah wayang, tentusaja wayang dengan hati dan pikirannya sendiri. Pernah bergulat dengan kekecewaan, kesedihan, kehilangan dan permasalahan yang cukup kompleks akibat kegagalan menjalani kerjasama hidup dengan pasangan. Disaat mengalaminya begitu gelap rasanya dunia ini, curhat berhari-hari tak pernah cukup meringankan "penderitaan". Merasa diri sudah mengadu pada Yang Kuasa tapi tak kunjung lega himpitan dalam dada. Oh, betapa malang rasanya. Aku ingat, ada yang mengatakan, waktu lah yang akan menyembuhkan koreng hati. Tapi ternyata tidak juga, lama tak sembuh-sembuh juga. Hingga akhirnya dengan pencarian-pencarian, trial and error, dan dengan sedikit sentilan dari seorang teman yang bijaksana, aku menemukan bahwa justru hati dan otakku harus berani menantang permasalahan itu, bukan menjadi pengecut dengan mencari pelarian tapi justru harus berdialog dengan diri sendiri, memahami bahwa ini adalah bagian dari skenario hidup yang sudah dibuat patronnya dalam kitab lauh Mahfudz oleh Sang Dalang Kehidupan. Perlahan-lahan, diri ini terasa kisut, mengkerut, mengecil, menjadi setitik debu di padang yang menghampar, berkatalah sang teman "apa kuasamu terhadap kehidupan, apa kuasamu terhadap diri sendiri, sehingga kau begitu sombong dengan ke-aku-anmu, tak sudi menerima lakon hidup yg ditetapkanNYA, tak rela membuka pintu maaf dan penerimaan pada manusia yang lain..."

Oh Tuhanku, astaghfirullahal adzim, mohon ampun atas kesombongan hamba. Cahaya benderang itu memandikan akalku, hatiku terbuka seluas samudera raya, tubuh ini terasa ringan, beban-beban yang sarat menggelayuti hidup seakan terangkat. " Duhai Sang Pemilik Kehidupan, hamba pasrah atas segala kepastianMU, hamba tak berhak menghukum orang yang berbuat dzalim pada hamba, hamba maafkan semua, karena hanya Engkau Yang Maha Berhak atas semua makhluk" 

Ringan sekali, dengan mengembalikan diri pada posisi kemakhlukan, maka dunia kembali berputar pada porosnya, langit kembali ke awang-awang dan aku kembali berjalan pada jalur yang rata, bukan jalan yang penuh onak duri menyiksa hati. Selanjutnya, seorang teman bijak yang lain mengatakan, "Bila kau masih menjadi pemain dalam layar wayang itu, berusahalah keluar dari layar, duduk di kursi penonton." Dan subhanallah, begitu terduduk di kursi penonton dan bisa membaca alur ceritaNYA, semakin terasa alangkah indahnya hidup, semua menjadi tergambar jelas, derita nestapa ataupun sukacita adalah kelengkapan dari sebuah jalan cerita lakon kehidupan, bunga-bunga dari sebuah taman surga yang berwarna warni. Alhamdulillah. Tak salah bila seorang sahabat yang bijaksana berkata, "Allah berbicara denganmu, lewat pergumulan hidupmu" sehingga di pertengahan usia manusia ini aku bisa berkata, terimakasih ya Allah, karena sudah berkenan berbicara banyak padaku. Ilmu yang KAU sampaikan padaku, ini takkan aku sia-siakan, akan aku sampaikan pada yang membutuhkan. InsyaAllah.


Inception

Tamasya ke labirin mimpi. Make a kick to wake me up from the dream, don't let me make an inception.

Selasa, 15 Februari 2011

Sederet Huruf yang Membentuk Sebuah Nama, Sebuah Keajaiban, Sebuah Anugerah

Nama yang dulu pernah sangat akrab dengan kehidupanku, yang kemudian tenggelam dan menghilang dari hiruk pikuk duniaku. Nyaris terlupakan. Kesibukan demi kesibukan, bergelut dengan jalan hidup yang berliku panjang, nama itu tersimpan rapi dalam kotak masalalu.Sebenarnya, tak pernah benar-benar terlupakan, sesekali muncul berkelebat walaupun sebatas  bayangan, tapi tak pula kuberkhayal kehidupan lalu akan hadir kembali selanjutnya.
Namun ternyata, dunia ini memang begitu sering menyimpan keajaiban. Tak pernah terpikirkan nama itu akan kembali muncul menyapa diriku. Hingga pada suatu titik, satu momentum, diluar jangkauan pengharapan,  kehidupan bak gelombang yang mempertemukan dua jalur frekuensi sejenis, sebuah keajaiban telah terjadi dan tak seorangpun mampu menghalanginya. Sederet huruf yang membentuk sebuah nama, yang pernah sangat akrab dengan kehidupanku, tiba-tiba muncul di depan mata, dan dengan satu tarikan jari "klik" dua dunia yang sempat terpisah terhubung begitu saja. Sebuah jembatan maya menghubungkan dua kehidupan yang sejiwa.
Sejiwa terpisah dalam dua dunia yang berbeda, namun kuasaNya memperkenankan kedua belahan jiwa itu mencecap pertemuan nyata, menjalani hari hari bersama, seperti di masa lalu, melewatkan hari-hari melalui dendang dan doa. Bagaikan menemukan mata air yang telah terpendam lama, yang digali kembali, gemericik, menyejukkan, memuaskan dahaga ditengah kemarau kehidupan. Kebahagiaan membuncah, memancarkan cahaya pelangi berwarna warni, senyum mengembang berseri-seri, duhai, terimakasih Gusti Allah.
Alangkah bahagianya, dan alangkah lebih berbahagia manakala kaki tetaplah berpijak di bumi dan tetap pada kesadaran yang utuh, bahwasanya ini adalah anugerah, dan sungguh sebuah kebodohan apabila terlupa daratan darimanakah datangnya anugerah ini. Semua dari Gusti Allah, kebahagiaan ini tak layak bila melebihi kebahagiaan pertemuan dengan Gusti Allah.
Kesadaran yang penuh akan hakekat kehidupan dan kasih sayang Sang pemilik sejati kehidupan, mengisi kekosongan masing-masing belahan jiwa manakala keduanya kembali terpisahkan jarak. Kembali pada  tugas kehidupan masing-masing, sembari senantiasa bersyukur, betapa Gusti Allah masih memperkenankan dua belahan jiwa saling berbagi dalam bingkai indah kasihsayangNya.
Sederet huruf yang membentuk sebuah nama, kembali akrab mengisi hari-hariku seperti kanak-kanak yang penuh ketulusan dan kegembiraan. Membagi cerita indah kehidupan, melantunkan nada-nada pengharapan, menggemakan doa doa saling menguatkan. 
Sederet huruf yang membentuk sebuah nama, terkadang aku masih takjub manakala  nama itu menyapa dan membagi cerita. 
Gusti Allah, syukurku padaMu, terimakasih atas semua anugerah kehidupan, kuatkan aku dan sebuah nama itu dalam menjalani peran-peran yang telah Engkau tetapkan. Amin.

Kamis, 10 Februari 2011

Rumah Putih di Tepi Sungai Van der Wijk

Tahun 1980, kami sekeluarga pindah ke sebuah desa yang sunyi dan asing buatku. Sebelum ini, aku dibesarkan di kota, hingga usia 6 tahun. Hiruk pikuk kota, jalan-jalan di Malioboro di sore hari, Toko Tiga tempat dimana aku bisa melihat aneka mainan yang cantik2, jajanan serabi kocor, lumpia, resoles di Jokteng tak ada lagi disini, yang ada hanya satu pasar yang bila musim hujan becek. Jajanan yang ada gethuk, thiwul, gatot, dan slondhok. Di desa ini orang orang tak punya kamar mandi ataupun WC, mereka buang air diatas blumbang atau di kali, mandi di kali dengan telanjang tanpa malu malu, mencuci pakaian di kali yang airnya coklat dan tentunya kali yang sama yang juga berfungsi sebagai toilet mereka.

Rumah yang kami tempati adalah rumah besar, bangunan jaman dulu dengan tembok lebih tebal daripada tembok bangunan jaman sekarang. Rumah itu sampai sekarang mengingatkan aku pada kesunyian dan berasa seram. Rumah putih besar, dengan 3 longkangan, terletak di ujung dusun, tak bertetangga, dipinggir jalan di tepian sungai van der wijk, dan bersebelahan dengan kebun yang ada pohon munggur yang besarnya lebih dari dua depa orang dewasa. Kebun itu banyak dihuni burung hantu dan burung gagak. Kata orang-orang dusun, rumah yang kami tinggali ini banyak hantunya. Apalagi ruangan senthong yang di pojok belakang barat itu. Konon disitulah hantunya berada. Namun Ibu selalu meyakinkan aku untuk jangan takut, karena sebelum kami pindah ke rumah ini, Mbah Kyai Burhan dari Magelang sudah "membersihkan" rumah ini dari roh jahat, hantu blau dan sejenisnya, diatas masing-masing pintu dan jendela di rumah ini tertulis rajah dalam bahasa arab, yang kata ibu itu adalah Ayat Kursi, untuk tolak bala'. Apalagi rumahku selanjutnya difungsikan untuk tempat mengaji anak-anak kecil di dusun ini, karena di dusun  ini  belum ada mushola, langgar, surau apalagi masjid. Orang-orang disini tidak sholat begitu kata Ibu, mereka belum mengenal agama. Setiap habis maghrib rumahku selalu ramai dengan teman-temanku yang datang untuk diajari mengaji oleh Ibu. Setahuku, ketika itu ibuku sudah sakit, tapi beliau masih bersemangat mengajar mengaji untuk anak-anak di dusunku. Ah, Ibu..engkau sangat baik, sabar, dan selalu berbuat baik, tapi entah kenapa.kadang aku berpikir, kecantikan ibuku seperti rumah ini, putih, gagah, tulus, namun sunyi dan hampa... 

Di dusun ini hampir semua orang memanggil aku dengan sebutan den nganten atau den  rara, kata simbahku, itu adalah salahsatu bentuk penghormatan. Tapi aku terkadang merasa risih, aku ingin seperti teman-temanku yang dipanggil dengan nama mereka masing-masing, ada Rejeb, Parinah, Senik, Bagong, Tumbu, Dami, Rondiyah. Sepulang sekolah teman-temanku membantu simboknya mencari kayu di kebon, tapi aku selalu dilarang ibu bila ikut mereka. Bila selesai dengan pekerjaannya mereka mandi di kali, seru sekali, aku selalu ingin sekali ikut dengan mereka, tapi aku pasti tak diperbolehkan. Ufth...kesal sekali rasanya, sehingga kadang aku mencuri-curi mandi di kali bila Bapak dan Ibu baru bepergian ke kota, dan segera pulang sebelum beliau pulang. Suatu ketika aku ketahuan Bapak dan Ibu habis mandi di kali, tanpa berkata-kata aku dibawa ke sumur oleh Bapak, diomeli, dimarahi sejadi-jadinya sambil dimandikan..

Malam hari sering sekali ada pentas ketoprak, wayang ataupun layar tancap, teman-temanku biasanya ramai ramai menonton, dan kali itupun aku musti gigit jari karena tak diperkenankan bapak keluar rumah selepas maghrib. Aku merasakan keterasingan dalam hidupku, entah, aku tak mau menyalahkan siapapun dalam hal ini. Aku nikmati saja kenangan-kenangan, kenakalan-kenakalan dan pemberontakan-pemberontakan kecilku.
(to be continued, someday... ^_^)

Rabu, 26 Januari 2011

Mozaik Kehidupan

Beberapa hari terombang ambing dalam urusan-urusan yang tak pernah menyisakan waktu untuk sejenak merenung atau melongok kebelakang.Terlalu asyik dengan permainan dunia. Terjebak dalam situasi yang konyol. Membiarkan diri dalam permainan kanak-kanak yang tidak bermutu. Hampir saja pembiaran itu berlarut-larut hingga mematikan karakter diri. Diintimidasi, diawasi dan dicengkeram tanpa kutersadar.
Hingga malam itu terbelalak mataku, betapa selama ini aku buta, ternyata sekian banyak fakta terhampar di sekitar namun tak pernah kutatap sedikitpun. Seperti mozaik, yang bertebaran di hambur-hamburkan si pemiliknya. 
Seharian kujalani dengan sesak napas, menahan kenyataan, bahwa ternyata tak seindah parasnya, tak semerdu suaranya...kubuka tanganku lebar-lebar pada waktu kedatangannya, dan dengan sangat tidak sopan mengobrak abrik tempat ku bersemayam lalu pergi begitu saja. tanpa secuil maaf ataupun pamit. Tapi aku tak menyesalkan kepergiannya sama sekali, setidaknya dari situ, aku jadi mengerti, seberapa kualitas yang dia, miliki hanya sebatas itu dia menghargai  arti  sebuah pertemanan. Pergilah cepat-cepat, dan jangan pernah kembali.
Malam ini, semalam suntuk hingga subuh hari, tak sepicingpun mataku terpejam, gamelan berirama  tembang cublak cublak suweng mengalun syahdu menemaniku yang terduduk di keheningan malam, mozaik-mozaik yang tertinggalkupunguti sambil merangkai  membentuk sebuah gambar, tapi belum sepenuhnya jelas, karena beberapa mozaik darimu belum terpasang. Aku tunggu. aku tunggu mozaikmu dalam sunyiku, jadikan gambar ini jelas untukku

Rabu, 19 Januari 2011

Tembang Malam

Tembang itu mengalun merdu menelusup diantara sepi malam, kau tersenyum penuh kesabaran sembari menahan rasa sakit. Penuh penerimaan. Kesabaranmu membuatku haru. Air mataku menitik, aku merasakan, betapa rasa sakit yang harus kau tanggungkan, kurasakan badanmu panas, tapi dirimu menggigil kedinginan. Aku rengkuh dirimu dalam pelukanku. Ambillah kehangatanku, bagilah sakitmu untukku, biarkan aku turut merasakan dan meringankan sakitmu. Aku lantunkan doa doa sambil kuseka bulir-bulir keringat di dahimu. Allah, kuatkan dia. 

Aku ingin, semua ini segera terlewati, kembali berkarya dan kembalilah tertawa bersamaku, aku menyayangimu.  



Minggu, 16 Januari 2011

Cinta Di Penghujung Senja

Keindahan tembaga di ufuk barat, mengisyaratkan kesunyian di penghujung senja kehidupan. Pertanda dimulainya perjalanan panjang manusia  menuju langit ketujuh. Cepat sekali dunia berputar, mengantarkan kita pada kerentaan. Baru kemarin rasanya kita tertawa bersama bercanda, bersenandung indah, nyaris tanpa beban kehidupan. Kanak-kanak cepat sekali berlalu, benarlah bila dikatakan hidup ini hanyalah sebuah persinggahan sebelum kita memasuki keabadian sejatinya kehidupan. 

Hidup adalah pertemuan dan perpisahan. Dalam setiap pertemuan selalu ada isyarat-isyarat kehidupan dan dalam setiap perpisahan selalu ada isyarat-isyarat kepindahan suatu keberadaan.
Hidup bukan milik kita, begitupun pertemuan dan perpisahan. Saat  diperkenankan menjumpai sang hidup, nikmati setiap tetes air kehidupan, rasakan sejuknya kecupan udara kehidupan, namun jangan pernah katakan itu adalah milikmu. Begitupun manakala Sang Pemilik kehidupan berkehendak memisahkan kehidupan, biarkan saja, tak perlu gundah gulana dan bersedih hati, karena intulah awal perjalanan menuju keberadaan yang sebenarnya.

Manakala senja tlah temaram, bersiaplah bekali diri dengan kepasrahan karena sepanjang siang kita telah mengusahakan segala yang terbaik untuk kehidupan. Sambutlah senja dengan cinta. ^_^

Selasa, 11 Januari 2011

Ketika Tuhan Jatuh Cinta.....

Yang terdengar hanyalah gemerisik dedaunan yang tersapu angin diantara derik binatang malam. Diatas, bulan bersinar terang hingga cahayanya jatuh pada sebagian area pekuburan, membuat permukaan dedaunan seperti berwarna keperakan.

Semua sunyi, namun sejatinya sedang bertasbih penuh kekhusyukan. Dan, mereka lebih mengerti bahwa cinta Tuhan kepada hambaNYA amatlah dalam, hingga DIA menciptakan segala sesuatu atas nama cintaNYA yang sejati. 

17 August 2010 at 20:45  ( Note : Novel Ketika Tuhan Jatuh Cinta By Wahyu Sujani )
Thanks a lot buat yg udah beliin novel   ^_^

I remember you, your pure n simple heart

Mengenalmu kembali sungguh membuat aku lebih dekat kpd Allah, hdupku yg keras sempat membuatku sejenak terlena dg duniawi..mengeraskan jiwaku, mematikan hatiku... Mengenalmu kembali membuat mata ini bisa menjadi danau lagi, menitikkan airmata manakala tenggelam dalam dzikir nan indah... Syukur syukur syukur pada Allah atas ijinNya mempertemukan kita kembali, Pertemuan jiwa kita, sungguh sangat berharga bagiku... Terimakasih, selalu ada buat aku.

Aku teringat kata2 bijak ini  : Sahabat adalah dorongan ketika engkau hampir berhenti, petunjuk jalan ketika engkau tersesat, membiaskan senyum sabar ketika engkau berduka, memapahmu saat engkau hampir tergelincir dan mengalungkan butir-butir mutiara do'a di dadamu, untukmu dimanapun engkau berada saat ini semoga persahabatan kita selalu dipertautkan oleh-Nya...

Terbangun di sepertiga malam, aku teringat dirimu... Aku tenang saat ku tahu dirimu berhenti sejenak beristirahat ditengah perjalananmu, menyusuri hujan, melawan dingin. Aku terbangun, kubersujud padaNYA, setangkup doa kuhaturkan padaNYA utkmu... "Lindungi dia ya Allah" Terimakasih utk sehari yg indah kemarin ya.. Aku tau dirimu lelah, tp msh menyempatkan wkt buat aku... Aku g bs balas keindahan yg km beri, selain setangkup doa utkmu... 
 
09 September 2010 at 03:10
 

Senin, 10 Januari 2011

night in white satin

Notte di luce
Una notte infinita
Una lettera che
Non sara mai spedita

Cos'e la realta
lo non lo so piu
Ad occhi aperti
Il mio sogno sei tu

Io ti amo
Si, ti amo
Quanto ti amo

Guardo la gente
mano per mano
nessuno capisce
quello che provo

respiro il silencio
dei tuoi pensieri
un giorno sarai
Tutto quello che speri

Io ti amo
Si, ti amo
Quanto ti amo

Cahaya Aurat

Ribuan jilbab berwajah cinta
Membungkus rambut, seluruh tubuh, sampai ujung kaki
Karena hakikat cahaya Allah ialah terbungkus di selubung rahasia
Siapa bisa menemukan cahaya?
Ialah suami, bukan asal manusia
Jika aurat dipamerkan di koran dan jalanan
Allah akan mengambil kembali cahaya-Nya
Tinggal paha mulus dan leher jenjang
Tinggal bentuk pinggul dan warna buah dada
Para lelaki memelototkan mata, hanya menemukan benda
Jika wanita bangga sebagai benda
Turun ke tingkat batu derajat kemakhlukannya
Jika lelaki terbius keayuan dunia
Luntur manusia tinggal syahwatnya
(Emha Ainun Nadjib, 1990, Syair Lautan Jilbab, Sipress, Yogyakarta.)

Masyaa Allaah

Bahkan sehelai daun yang sudah menguningpun takkan jatuh ketanah bila Allah tidak mengizinkannya utk jatuh. Maasyaa Allah (=sungguh atas kehendak Allah semua terwujud ), begitupun dengan liku-liku hidup. Segala pemberontakan, protes, keluh, kesah, isak dan tangis adalah isyarat bahwa ilmu yang dimiliki masih terlalu dangkal. Ketika diri menyatakan membuka pikiran dan hati untuk belajar, menerima dan melepaskan segala urusan, dan menemukan mutiara-mutiara kehidupan, disitulah perjumpaan dengan ilmuNYA.

satu demi satu peristiwa terlewati dengan penuh ketabahan, dan benarlah adanya, bahwa Allah tak akan menguji hambanya melebihi kemampuan hambaNYA. setiapkali menyelesaikan satu episode hidup diakhiri dengan ujian, setiap kali hendak mendapat satu kenikmatan, diawali dengan ujian. dan setiapkali lulus dari ujian naiklah derajat kehidupan seseorang.
Ibarat bola salju semakin lama menggelinding, semakin besarlah kadar rintangan yang mampu dilibas. Demikian juga kehidupan semakin banyak cobaan maka semakin banyaklah ilmu tentang hidup dan kehidupan.

Namun sekuat apapun bisa melewati semua ujian, bukan karena kehebatan diri,  kembali lagi harus selalu diingat satu pegangan Maasya Allaah...

MAASYAA ALLAH, LAA QUWWATA ILLAA BILLAH (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah... [QS. 18:39]

by Rina Khusnawati on Monday, 10 January 2011 at 14:40

pencarian jiwa

Tidakkah kau lihat, aku sudah mengepakkan sayapku sekuat tenaga, terbang mengembara, dan menemukan aneka warna jiwa di sudut-sudut dunia. Terbang tinggi, lalu menukik dan terbang lagi. Menemukan badai kegelisahan, kehilangan, kemarahan, nafsu, cinta, kepalsuan, dan segala kesemuan hidup. Membuka mataku melihat keindahan,  kemunafikan, dan sedikit ketulusan, lalu aku membuka telingaku mendengar isak tangis, celoteh, kebohongan, keluhan, pujian, doa, kidung, hujatan..Warna warni, buram, sumbang, merdu, hampa...

Aku masih mencarimu, mencarimu wahai kawan sejiwa, seayun, seirama, yang menggemakan mahabbah, cintaNYA..
Bersama mengarungi luasnya samudera ilmuNYA, meniti kata demi kata dalam kalamNYA.
Menembus kegalauan dunia, menggenggam bara perjuangan menuju DIA

Condongcatur January, 9th, 2011

by Rina Khusnawati on Sunday, 09 January 2011 at 10:01