Senin, 10 Januari 2011

By the River Piedra I Sat Down and Wept ( sebuah catatan)

By the River Piedra I Sat Down and Wept (part one ) by Paulo Coelho

Kami tumbuh bersama. Lalu ia pergi, seperti banyak orang muda yg pergi meninggalkan kota-kota kecil. Katanya ia akan belajar tentang dunia, bahwa mimpi2nya berada diluar padang-padang Soria.
Tahun2 berlalu nyaris tanpa kabar darinya, sesekali ia mengirimiku surat, namun ia tak pernah kembali ke jalan2 setapak, hutan2 masa kanak2 kami.
Aku masuk universitas dan menemukan kekasih. Tapi akhirnya kami berpisah. Setelah itu surat2 dari teman masa kecilku mulai lebih sering datang. Sepertinya ia mengetahui segalanya. Ia telah menumbuhkan sayap, dan kini menjelajahi dunia. Sementara aku sendiri hanya berusaha menancapkan akarku. Sebagian suratnya yg dikirim, bicara mengenai Tuhan. Kemudian ia menulis bahwa ia akan memberikan kuliah kuliah pada sekelompok orang di Madrid, dan memintaku datang. Jadi akupun melakukan perjalanan selama 4 jam dari zaragosa ke Madrid. Aku ingin bertemu dengannya, aku ingin mendengar suaranya. Dia pasti orang terkenal, pikirku. Aku semakin terkejut waktu ia memasuki ruangan. Ia berbeda dengan anak laki-laki yang kukenal dulu. Ia tampak mengagumkan. Bagaimana aku dimatanya? Suaranya tak berubah. Namun kata-katanya sama sekali berbeda. Seusai khotbah, para hadirin merubunginya. Aku menunggu, dalam hati aku mengkhawatirkan kesan pertamanya terhadapku setelah bertahun2 ini. Aku seperti kanak2, gelisah-tegang, karena aku tidak mengenal teman2 barunya, dan cemburu karena ia lebih mementingkan yg lain dan bukannya aku.
Ketika aku menghampirinya, wajahnya merona. Ia tidak lagi tampak seperti laki2 dewasa yg mengatakan hal2 penting, melainkan anak laki2 yg bersembunyi bersamaku di tempat pertapaan di San Saturio.

(s.d hal 25)

By the River Piedra I Sat Down and Wept (2)

by Rina Khusnawati on Sunday, 21 November 2010 at 19:08

Pilar mengatakan, "Aku pernah jatuh cinta sebelumnya. Rasanya seperti narkotik. Mula-mula mendatangkan euforia penyerahan diri, lalu hari berikutnya, kau menginginkan lebih banyak. Kau belum kecanduan tapi kau menyukai sensasinya, dan kau mengira masih bisa mengendalikan semuanya. Kau memikirkan orang yang kau cintai dua menit dan melupakan mereka selama tiga jam.
Tapi kemudian kau terbiasa dengan orang itu, dan mulai bergantung sepenuhnya pada mereka. Sekarang kau memikirkannya selama tiga jam dan melupakannya selama dua menit. Kalau ia tak ada, kau merasa seperti pecandu, yang selalu membutuhkan morfin. Dan seperti halnya pecandu yang akan mencuri dan mempermalukan diri sendiri demi memenuhi kebutuhan mereka, kaupun bersedia melakukan apa saja demi cinta."
- Sebuah cara menggambarkan cinta yang mengerikan -


By the River Piedra I sat Down and Wept (3)

Diri kanak2 kita yang dulu masih ada. Diberkatilah kanak2, karena merekalah yang empunya kerajaan Surga. Jika kita tidak dilahirkan kembali-jika kita tidak bisa memandang kehidupan dengan keluguan dan antusiasme kanak-kanak- tak ada artinya untuk terus hidup. Kita harus memperhatikan apa yg dikatakan kanak2 dalam hati kita. Kita tidak boleh merasa malu dengan keberadaannya. Kita tidak boleh membiarkan kanak2 ini merasa takut, karena ia sendirian dan nyaris tak pernah didengarkan. ...Namun bila kita mendengarkan kanak2 yg tinggal dalam jiwa kita, mata kita akan bercahaya. Jika kita tdk kehilangan kontak dengan kanak2 itu kita tdk akan kehilangan kontak dengan kehidupan.
Hal. 39-40 


By the River Piedra I sat Down and Wept (4)


by Rina Khusnawati on Sunday, 21 November 2010 at 23:03
Namun cinta itu mirip  bendungan, jika kau membiarkan satu celah kecil yg hanya bisa dirembesi sepercik air, percikan itu akan segera meruntuhkan seluruh bendungan, dan tak lama kemudian tak seorangpun bisa mengendalikan kekuatan arusnya. Setelah bendungan itu runtuh, cintapun mengambil kendali, dan apa yg mungkin ataupun tidak, tak lagi berarti. Bahkan bukan masalah apakah orang yg kita cintai itu ada disisi kita atau tidak.
Berhati-hatilah, waspadalah terhadap retakan di bendungan. Jika retakan itu muncul, takkan ada papun didunia ini yg bisa menghentikannya.


By the River Piedra I sat Down and Wept (5)

by Rina Khusnawati on Sunday, 21 November 2010 at 23:01
Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis,  berakhir di halaman 222, kembali Paulo Coelho membawaku serta dalam perjalanan "wisata"nya berkeliling dunia. Bahasa yang mendalam, bahkan terkesan rumit buatku, tapi tetap tak mengurangi daya tariknya, tetap bisa membuat aku terbawa dalam perasaan Pilar dan sahabat kecilnya, bahagia, tangis, kebimbangan, keindahan masa kecil, kekecewaan, penderitaan-penderitaan, pengingkaran pada kasihsayang Sang Pencipta, penemuan kembali cinta, dan kembali menemukan kepercayaanNYA kepada Tuhannyadan kepasrahan dan akhirnya dia menemukan penyerahan diri seorang hamba atas takdir. Semua mengaduk-aduk akal dan perasaanku. Hedew... Setiap cerita, memiliki maknanya utk kehidupan kita,  bila kita bisa menggali ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar