
Menengok masa lalu bangsa ini, mestinya kita semua tahu, tanah air kita telah banyak merekam segala peristiwa. Negeri nan subur ini pernah menjadi bangsa yang makmur, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem karta raharja. Namun selain itu jejak sejarah mencatat aneka pergolakan, pertumpahan darah, penjajahan, kemiskinan dan aneka penderitaan. Bila kita cermati, banyak sekali terjadi keonaran dan bahkan pertumpahan darah pada peralihan pemimpin pada kerajaan kerajaan di jaman dahulu kala.
Mau tak mau, tak dapat dipungkiri, semua yang telah terjadi itu mengukirkan pahatan-pahatan dalam alur sejarah. Rasanya pahatan penderitaan jauh lebih panjang daripada pahatan kebahagiaan. Derita tigaratus lima puluh tahun penjajahan rasanya belum sebanding dengan hampir tujuh puluh tahun negeri ini merdeka. Euphoria saat Bung Karno lantang memproklamasikan kemerdekaan bangsa kita, memang sempat mendidihkan semangat persatuan dan kesaatuan bangsa Indonesia. Namun itu tak lama, segera hanya terhitung tak sampai tiga dasawarsa, kembali terekam luka. Jejak jejak berdarah menjelang pergantian kekuasaan. Lalu kembali tiga dasawarsa dalam kedamaian semu, dan kembali aneka pergolakan silih berganti. Kepedihan, darah dan airmata rekaman perpecahan dan kekerasan sarat membebani masa lalu bangsa kita.
Bila satu persatu kita ditanya, tentu kita semua menjawab bahwa kita menginginkan negeri yang damai, tentram, aman dan sejahtera. Namun ironis, rasanya apa yang menjadi keinginan hanyalah sekadar keinginan. Tak berkesesuaian antara keinginan dan tindakan. Menginginkan damai, namun membiarkan ego pribadi melanggar hak orang lain. Itu yang sering terjadi. Semua ini harus diakhiri.

Meskipun ini hanyalah terdengar selintas lalu sebagai bunyi setetes air nun jauh dalam gua di bawah tanah, namun aku tetap berharap, suara setetes air ini menggema dan suatu saat mewujud seiring harapan semesta raya.
Salam cinta untuk Indonesia yang damai dan berbahagia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar