Minggu, 05 Februari 2012

Sentilan Kecil Guruh Sukarno Putra untuk Kita

Sejarah bagi bangsa ini, saat ini, adalah bagaikan sebentuk cerita purbakala yang sudah hampir musnah terlindas jaman. Anak bangsa sudah tak peduli lagi, darimanakah dia berasal, bagaimanakah dia sampai pada kehidupan sekarang ini. Sejarah berada dalam titik terendah keberadaannya. Generasi bangsa amat sangat apatis pada nilai-nilai kesejarahan bangsanya. Aku juga ada didalamnya, aku dibesarkan dalam zaman orde baru, yang serba teratur, manut dan tidak kritis. Sejarah adalah indoktrinasi diktat, hafalan-hafalan atas tanggal kejadian, peristiwa yang menurutku kuno, dan sejarah itu membosankan. Aku (dulu) tak pernah tertarik pada sejarah, aku tak melihat urgensi dari belajar sejarah, sejarah itu tidak keren (bila dibanding pelajaran fisika, matematika atau kimia), sejarah itu menakutkan. Ya, menakutkan, karena dimana aku belajar tentang sejarah disitulah aku menghafalkan tanggal-tanggal terjadinya perang, terjadinya genocide, pembantaian. Sejarah adalah tanggal-tanggal, kapan terjadinya perang bubat, perang paregreg, perang diponegoro, perang puputan, dan yang paling seram adalah setiap anak muda (=siswa) di jaman itu dipastikan harus menonton film Pemberantasan G 30 S/PKI yang notabene isinya adalah sadisme dan darah. Setidaknya itulah yang aku ingat tentang film tersebut. Aku tak pernah belajar sejarah untuk mempelajari karakter manusia ataupun untuk mengenali bangsaku sendiri, dan aku rasa itu terjadi juga pada generasi setelahku, termasuk anak-anakku. 

Dan sejarah menemukan ironinya, ketika aku tahu Presiden RI yang pertama adalah Sukarno, namun untuk menyebutkan namanya rasanya aku enggan. Karena di alam bawah sadarku tersimpan memori ketakutan bahwa, menyebut dirinya adalah sesuatu yang "terlarang", karena beliau adalah "terlibat" dalam satu tuduhan. Entah, begitu dalam memori tentang itu tertanam. Aku ingat betul, di perpustakaan seorang kerabat berjajar buku-buku karangan beliau, seperti, Sarinah, Di Bawah Bendera Revolusi dan buku-buku lain, namun lagi-lagi seakan-akan ada yang melarang aku membukanya. Obrolan-obralan mengenai pemikiran beliau oleh para kerabat pun aku jauhi. Sungguh pikiran bawah sadar yang diindoktrinasikan padaku teramat kuat. Akhirnya aku sebatas tahu, ya, Sukarno adalah Bapak Proklamator dan Presiden pertama RI. Sudah, hanya itu.

Namun sebuah talkshow yang aku jumpai dengan tidak sengaja di suatu sore di Yogyakarta, membangunkan kesadaranku secara penuh, bahwa ternyata aku tak pernah mengenal negaraku, bangsaku, dan tak pernah menghargai mereka yang berjuang memerdekakan bangsa ini. Aku malu. Sore itu, aku dapati  Mas Guruh Sukarno Putra menyampaikan pemikiran-pemikirannya dan tentu saja pemikiran-pemikiran ayahandanya. Awalnya tak aku ikuti dengan serius, ah biasa, pikirku, tentang Hari Lahir Pancasila, urgensi Pendidikan Karakter untuk generasi muda bangsa ini, lunturnya nilai-nilai Pancasila yang banyak dikhianati oleh bangsa ini sendiri, dan hal-hal lain yang aku sudah bosan. Hingga akhirnya saat pembawa acara meminta beliau berpesan untuk audience, beliau menyampaikan sesuatu yang sederhana, namun maknanya sangat dalam bagi bangsa ini, beliau menyampaikan bahwa penulisan ejaan nama bagi ayahandanya adalah satu kesalahan dimana orang bahkan pemerintah menuliskan dengan kata Soekarno, padahal yang benar adalah Sukarno, karena ejaan Oe adalah serapan dari bahasa belanda dan bila diucapkan dalam bahasa aslinya maka nama Bapak Sukarno menjadi berubah pelafalannya. Gugatan kecil lain adalah, bahwa penulisan nama Sukarno adalah selalu berdiri sendiri, termasuk bila harus mengikuti nama anak-anak beliau, Guruh Sukarno Putra, Sukmawati Sukarno Putri, dan seterusnya, jadi bukan Guruh Sukarnoputra ataupun Sukmawati Sukarnoputri. Karena bila dibiarkan, lama-lama menjadi parah, sebagai contoh, karena begitu seringnya nama Bung Karno dirangkai dengan nama Bung Hatta sebagai Sukarno-Hatta, apalagi sekarang digunakan untuk memberi nama bandara internasional di Jakarta, maka salah kaprah semakin parah, bandara tersebut oleh sebagian orang disebut sebagai singkatan, yakni menjadi Bandara Soetta. Sebagai generasi penerus Bung Karno, Mas Guruh merasa perlu protes, karena dengan adanya singkatan itu, semakin banyak generasi muda yang tak mengenal siapa Sukarno, siapa Hatta, banyak yang menganggap Sukarno Hatta adalah nama satu orang, semacam, Sukarno bin Hatta. Kasus ini bukan hanya satu paranoid atau kekhawatiran beliau saja, namun memang sudah terbukti, yakni manakala beliau bertanya pada salahsatu anak muda murid beliau, "Kamu tahu nama bapakku siapa?" "Tahu Pak, ayah bapak adalah Sukarno Hatta". Aku tertawa mendengar cerita beliau, tapi sungguh miris, betapa kesalahan itu bila tak diluruskan dari sekarang, dan bila dibiarkan terus, maka lama-kelamaan bangsa ini akan menjadi kabur sejarah kebangsaannya.

Lalu kritik lain adalah penulisan Yogya yang akhir-akhir ini banyak ditulis sebagai Jogja. Kembali penggunaan huruf J adalah "ikut-ikutan" bahasa Belanda -menurut beliau-, karena Yogya berasal dari bahasa sansekerta Ayodya, yang berarti juga Surga. Mendengar semua yang beliau sampaikan aku tersadar, bangsa ini benar-benar berucap dan bertindak tanpa tahu apa dasarnya, bangsa yang kehilangan jatidiri kebangsaannya dan lebih bangga pada unsur-unsur serapan asing. Bahwa aku benar-benar anak bangsa yang apatis, cuek, bahkan tanah tumpah darahku sendiri yang diberi nama begitu indah yang bermakna sebagai surga tak pernah aku hargai. Bila itu terjadi secara massal maka wajarlah bila seluruh penduduk-setidaknya kota ini- tak pernah berusaha mewujudkan kota ini menjadi surga bagi kehidupan kami. 

Hanya sebuah sentilan kecil dari mas Guruh, namun apa yang seakan ringan beliau minta itu adalah sebuah konsekuensi besar yang harus ditanggung bila terjadi pembiaran. Dan blog ini aku tulis setidaknya sebagai satu bentuk kepedulian dan jawabanku atas himbauan beliau sore itu, "Tolong teman-teman sebar luaskan informasi ini ya..."

Jumat Malam, 3 Feb 2012 di Halaman Mandala Bhakti Wanitatama 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar