Rabu, 30 November 2011

Taman Langit

Dalam duduk sendiriku, kusesap perlahan kopi di cangkirku.
  Tiba2 rasa kehilangan itu menyergapku, 
     menelusup dalam relung2 jiwaku,
         menyebar seirama nafasku.
               Kuhampar pandanganku pada hijaunya sawah, birunya langit, 
                    kucoba menepis rinduku.
                        Kutelusuri sepi yang kelabu, nyanyian jengkerik melengkapi sendiriku.
                               Dan langitpun semakin temaram membawa bayangmu 
                                  menjauh dariku. 




Yogya 30 juli 2011@skygarden


Pada kamu, yang menemaniku menyesap secangkir kopi sore itu. Kusampaikan maafku. Karena saat itu mata jiwaku tak sanggup menangkap apa yang seharusnya kurasakan dan kuhargai. Aku tak pernah hirau setiamu, yang selalu ada, menyediakan bahumu bagiku bersandar dalam lelah letihku. Tak pernah menghargai segala rasamu. Disaat bersamamu pada sebuah keindahan suasana, menikmati remang senja di tepian sawah, justru aku membiarkan sebuah rasa kehilangan pada seseorang yang tak pernah menganggapku ada. Maafkan aku.

Tiga tahun semenjak sore terakhir kita bertemu, aku baru memahami makna. Mengukur kekuatan rasa yang selalu kau berikan tulus untukku. Aku paham kebingunganmu akan perubahanku. Aku hanya bisa mengatakan, biarkan aku menebus waktu yang aku sia siakan untukmu. Biarkan semua mengalir indah dan alami. Takkan kubentang perisai diri lagi. Aku menerimamu, apa adanya dirimu. 

Meski saat ini jarak membuat sekat sekat waktu, namun rasamu tak berjarak untukku.
Terimakasih cinta,

Denpasar Feb 2014 @paonomah


Jumat, 25 November 2011

Senyum Untukmu

Pasir putih menghampar berpadu indah dengan bias-bias kerlip air laut diantara birunya langit dan hijaunya bukit-bukit karang, sosok mu kokoh berdiri di depan mataku. Tanpa beban kau ayun langkahmu diatas pasir putih, meninggalkan jejak-jejak langkah. Seperti jejakmu di hatiku, begitu kentara. Aku berusaha menyelami apa yang sebenarnya ada dalam hati dan pikiranmu. Aku merasa menembus batas ruang dan waktu, terasa seperti mimpi, engkau nyata ada di depanku, terasa nyata dan terjamah, namun engkau bukan milikku. Sakit. 

Keindahan yang menjadi mimpi kita yang pernah terkoyak dan tercabik, pelan-pelan ingin kau bangun lagi. Aku tak tahu lagi, apakah aku harus mengiyakan atau menolak uluran tanganmu. Membangun sebuah istana khayalan adalah tak lebih dari membangun dunia yang tak pernah ada. Keindahan yang semu, yang akan hancur manakala kita harus terbangun untuk melanjutkan hidup. Dan itu akan terasa lebih sakit.
Desau angin membisikkan kata sanjunganmu yang setinggi awan, terimakasih, tapi itu tidak menjadikan semua menjadi nyata. Sanjunganmu adalah bangunan istana mimpi, indah hanya bila mata terpejam. Mengertikah kau?

Engkau juga menyimpan luka, aku tau itu. tapi apakah lukamu seperti lukaku? seperti gelombang air laut yang senantiasa berubah bentuknya, begitupun kata-kata yang kau lontarkan padaku. Semua bisa berubah, begitu ringan kau katakan itu padaku  dulu sewaktu engkau mengambil keputusan yang meruntuhkan tembok harapanku dan air laut itu menyiram luka ini menambah keperihan yang sudah ada. Jernih mataku menerawang jauh ke ufuk batas antara langit dan bumi, seulas senyum getir aku persembahkan untukmu. Penyesalan tak pernah datang di awal. Aku tahu Itu. 

Dalam jebakan pasir waktu, kita menikmati keindahan pantai ini, menunggu aliran pasir itu habis, dan habislah waktu dalam dunia khayal kita, dalam istana mimpi kita. Kembali kealam nyata dan menerima jalan hidup yang sudah kau pilihkan untukku. Terimakasih, meskipun pahit tetap akan aku telan tanpa dendam, dan tetap aku berikan seulas senyum getir untukmu. 

Sabtu, 19 November 2011

Kisah Sepasang Pendekar

Hingga detik ini, aku belum juga menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan dirimu. Seperti melihat dua jiwa dalam satu raga. Belum juga berubah, setelah semua yang terjadi. Masih menjadi pahlawan sekaligus sosok yang menakutkan buat aku. Perjalanan panjang itu sebenarnya cukup untuk mengembalikan ingatan-ingatan di masa lalu, cukup membuat airmataku menetes dan sempat terbetik setitik sesal atas apa yang terjadi. Ingin aku menjamah dan meringankan bebanmu, tapi sekaligus juga rasa ketakutan membuatku menahannya. Satu nyanyian membuatku tersenyum, satu nyanyian berikutnya membuatku teriris sedih. Selalu ada disaat aku membutuhkanmu,  namun juga selalu ada kesalahanku dimatamu. Begitu mudah kita berbagi tawa, begitu mudah kita membagi kisah, namun begitu mudah juga hal remeh kita pertengkarkan. Aku merasa akulah yang selalu mengalah, namun dirimu juga merasa dirimulah yang selalu mengalah. Mungkin kita sama-sama sekeras batu. Entah. 

Kita, seperti sepasang pendekar, gagah berani menempuh perjalanan tuk menemukan kitab pusaka kehidupan,  menghunus pedang menghadang musuh bersama-sama, membagi jurus, menyerang dan bertahan, melewati jurang dan pegunungan, melibas semua tantangan. Namun saat sampai diujung pencapaian, kita seperti manusia yang kehilangan tujuan, sibuk bertempur membela kedirian dan kehilangan kebersamaan. Entah.

Ingin ku berbulat tekad, takkan menolehmu lagi, namun ternyata tak mungkin. Ada tanda hidup yang membuat aku terkadang harus memandang sekeping jiwa dengan dua sisi yang berbeda. Entah.