Senin, 20 Juni 2011

Life Balance

Tak hirau penat dan letih, tak sempat berfikir jeda. Waktu berpacu, terengah-engah menggapai angka-angka yang membayang semu. Tak sempat lagi mengembangkan senyumku padamu, hingar bingar teriakan, perintah bercampur amarah melecutku untuk senantiasa berlari. Serasa ingin berkeluh kesah, namun memikirkan sepotong kata tuk mengeluhpun tak sempat. Aku seperti raga tanpa jiwa, mati rasa. 

Syair indah tak lagi kuasa kusenandungkan, bahkan mendengarpun ku tak mampu, syairmupun menjadi terdengar hampa, karena kumati rasa.  

Kerasnya kehidupan, karena manusia tak lagi memilih mana gelap mana terang. Tuhan tak pernah mengajarkan sesuatu yang temaram. Tuhan memberi pilihan, gelap atau terang, dan manusia mengingkari dengan membuat remang-remang. Satu pilihan tentulah ada akibatnya, ketika manusia memilih keremangan, tentulah ada sebagian cahaya tertutupi oleh kesombongan kemanusiaannya, mempertuhankan dirinya, bahkan mempertuhankan ciptaan manusia, uang menjadi raja diraja, manusia menjadi penguasa. Manusia kehilangan kemanusiaannya. 

Mengejar uang, menghamba pada pekerjaan, hingga melupakan hakekat hidupnya, hinalah aku ketika begitu.
Melupakan keindahan syair kehidupan, canda dan celoteh anak-anak, bersendagurau dengan mereka. Apakah yang aku cari sehingga aku berani mematikan rasa yang diberikan padaku, yang begitu indah, begitu menenteramkan.

Terhenti aku pada satu titik, di puncak kejenuhan, dipuncak kelelahan. Aku ingin mendengar lagi indahnya petikan dawai gitar, dentingan piano dan suara merdu saxophone.  Aku ingin memandang polah tingkah anak-anak dalam keseharian. Aku ingin mengeja huruf demi huruf dari Kitab Penuntun Kehidupan. Aku merindukan satu kesetimbangan kehidupan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar