Kamis, 10 Februari 2011

Rumah Putih di Tepi Sungai Van der Wijk

Tahun 1980, kami sekeluarga pindah ke sebuah desa yang sunyi dan asing buatku. Sebelum ini, aku dibesarkan di kota, hingga usia 6 tahun. Hiruk pikuk kota, jalan-jalan di Malioboro di sore hari, Toko Tiga tempat dimana aku bisa melihat aneka mainan yang cantik2, jajanan serabi kocor, lumpia, resoles di Jokteng tak ada lagi disini, yang ada hanya satu pasar yang bila musim hujan becek. Jajanan yang ada gethuk, thiwul, gatot, dan slondhok. Di desa ini orang orang tak punya kamar mandi ataupun WC, mereka buang air diatas blumbang atau di kali, mandi di kali dengan telanjang tanpa malu malu, mencuci pakaian di kali yang airnya coklat dan tentunya kali yang sama yang juga berfungsi sebagai toilet mereka.

Rumah yang kami tempati adalah rumah besar, bangunan jaman dulu dengan tembok lebih tebal daripada tembok bangunan jaman sekarang. Rumah itu sampai sekarang mengingatkan aku pada kesunyian dan berasa seram. Rumah putih besar, dengan 3 longkangan, terletak di ujung dusun, tak bertetangga, dipinggir jalan di tepian sungai van der wijk, dan bersebelahan dengan kebun yang ada pohon munggur yang besarnya lebih dari dua depa orang dewasa. Kebun itu banyak dihuni burung hantu dan burung gagak. Kata orang-orang dusun, rumah yang kami tinggali ini banyak hantunya. Apalagi ruangan senthong yang di pojok belakang barat itu. Konon disitulah hantunya berada. Namun Ibu selalu meyakinkan aku untuk jangan takut, karena sebelum kami pindah ke rumah ini, Mbah Kyai Burhan dari Magelang sudah "membersihkan" rumah ini dari roh jahat, hantu blau dan sejenisnya, diatas masing-masing pintu dan jendela di rumah ini tertulis rajah dalam bahasa arab, yang kata ibu itu adalah Ayat Kursi, untuk tolak bala'. Apalagi rumahku selanjutnya difungsikan untuk tempat mengaji anak-anak kecil di dusun ini, karena di dusun  ini  belum ada mushola, langgar, surau apalagi masjid. Orang-orang disini tidak sholat begitu kata Ibu, mereka belum mengenal agama. Setiap habis maghrib rumahku selalu ramai dengan teman-temanku yang datang untuk diajari mengaji oleh Ibu. Setahuku, ketika itu ibuku sudah sakit, tapi beliau masih bersemangat mengajar mengaji untuk anak-anak di dusunku. Ah, Ibu..engkau sangat baik, sabar, dan selalu berbuat baik, tapi entah kenapa.kadang aku berpikir, kecantikan ibuku seperti rumah ini, putih, gagah, tulus, namun sunyi dan hampa... 

Di dusun ini hampir semua orang memanggil aku dengan sebutan den nganten atau den  rara, kata simbahku, itu adalah salahsatu bentuk penghormatan. Tapi aku terkadang merasa risih, aku ingin seperti teman-temanku yang dipanggil dengan nama mereka masing-masing, ada Rejeb, Parinah, Senik, Bagong, Tumbu, Dami, Rondiyah. Sepulang sekolah teman-temanku membantu simboknya mencari kayu di kebon, tapi aku selalu dilarang ibu bila ikut mereka. Bila selesai dengan pekerjaannya mereka mandi di kali, seru sekali, aku selalu ingin sekali ikut dengan mereka, tapi aku pasti tak diperbolehkan. Ufth...kesal sekali rasanya, sehingga kadang aku mencuri-curi mandi di kali bila Bapak dan Ibu baru bepergian ke kota, dan segera pulang sebelum beliau pulang. Suatu ketika aku ketahuan Bapak dan Ibu habis mandi di kali, tanpa berkata-kata aku dibawa ke sumur oleh Bapak, diomeli, dimarahi sejadi-jadinya sambil dimandikan..

Malam hari sering sekali ada pentas ketoprak, wayang ataupun layar tancap, teman-temanku biasanya ramai ramai menonton, dan kali itupun aku musti gigit jari karena tak diperkenankan bapak keluar rumah selepas maghrib. Aku merasakan keterasingan dalam hidupku, entah, aku tak mau menyalahkan siapapun dalam hal ini. Aku nikmati saja kenangan-kenangan, kenakalan-kenakalan dan pemberontakan-pemberontakan kecilku.
(to be continued, someday... ^_^)

1 komentar:

  1. he...he...kenangan yang indah dan sekedar catatan saja ketika itu di desa tsb belum ada listrik. aku, adik2ku dan beberapa teman sering mengandalkan oncor sebagai penerang jalan ketika pulang habis mengaji.
    http://nurhudda-elhasani.blogspot.com/

    BalasHapus