Jumat, 10 Februari 2012

Bapak


Sudah lewat tengah malam ketika aku terjaga dari tidurku, aku ingat terakhir tadi sore aku makan bersama anak-anak di ruang depan, lalu rasa kantuk yang hebat menyergapku dan akupun tertidur. Aku lihat Bapak, duduk di sebelahku waktu aku terbangun, "Bapak belum sare?" Tanyaku, beliau diam, dan akupun melanjutkan kata-kataku, "Oh, Bapak sekalian nunggu sholat subuh ya Pak?" Entah, beliau menjawab atau tidak, yang jelas perasaanku mengatakan, Bapak membenarkan kalimatku, ya, beliau belum tidur karena sekalian menunggu datangnya waktu sholat subuh. Lalu aku berdiri, aku bangunkan anakku yang tertidur sembarangan diatas karpet, kasihan dia kelelahan belajar, kusuruh pindah tidur di kasur, "Nak, pindah atas sini. Ibu mau disitu, mau nulis.." Anakku terbangun lalu pindah. 

Malam terasa gerah sekali, sudah beberapa hari tak turun hujan, sepanjang siang mataharipun bersinar sangat terik. Siangpun terasa jauh lebih lama dari biasanya, hingga mungkin bumi menyimpan begitu banyak panas, sampai-sampai tengah malam beginipun masih juga terasa panas. Setelah membangunkan anakku, aku berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil wudlu. Air wudlu yang dingin menyiram kesadaranku, aku terhenyak, aku tadi ketemu Bapak kan? Masya Allah, bukannya Bapak sudah seda, tapi tadi itu....

Aku sadar, tadi aku bermimpi, tapi kenapa batas antara mimpi dan bangunku tak begitu jelas? Ah, sudahlah, segera kutuntaskan wudlu ku, dan mengawali sholat malam, aku selalu ingat, ini yang selalu dicontohkan Bapak dahulu, tak pernah tertinggal satu malampun untuk bersujud di tengah malam. Bapak, kukirim serangkai doa untuk Bapak disana. 

Bapak, aku akan selalu ingat, semenjak aku kecil meskipun Bapak lebih banyak diam dan sangat jarang memberikan nasehatnya secara lisan padaku, namun Bapak selalu memberikan contoh bagaimana menjalani hidup, kerja keras, pantang menyerah dan selalu optimis. Bangun pagi-pagi dan bertahajjud sepanjang malam. Bapak, aku akan ingat. Terimakasih Bapak, selamat menjalani episode Bapak di alam selanjutnya, semoga Allah memberkati Bapak disana."Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa'aafihii wa'fu 'anhu" Amin. 

Kamis, 09 Februari 2012

Risalah Air Mata


Bola mata tanpa air mata  seperti danau tanpa air,  danau tanpa air tak lebih hanyalah hamparan tanah yang kehilangan keindahannya. Airmata adalah salah satu bukti kesempurnaan penciptaan Tuhan atas anggota tubuh kita. Karena air mata tak hanya diciptakan sebagai tanda sedih , air mata memiliki peran-perannya yang lain.

Bila bola mata tercipta tanpa airmata, maka bola mata akan kering , bila kering pastinya akan susah untuk sekedar berkedip. Ini disebut airmata basal, dimana airmata berfungsi untuk melembabkan  mata (melindungi kornea),  dan menyediakan oksigen untuk mata, serta masih banyak funsi-fungsi lainnya. Bila bola mata terkena debu, terkena asap, atau uap bawang, airmata akan segera keluar, ini disebut sebagai air mata reflex. Dimana airmata secara reflex akan melindungi bolamata bila ada benda asing masuk, dengan cara membanjiri kotoran tersebut agar keluar dari bola mata. Yang terakhir adalah air mata emosi, yaitu airmata yang keluar akibat perubahan emosi dalam diri manusia, seperti sedih, menangis atau bahkan tertawa.

Setiap jenis airmata yang keluar tsb, konon kata para ahli memiliki komposisi hormon dan bahan kimia yang berbeda-beda. Diantara ketiga jenis airmata tersebut, airmata emosi memiliki kadar hormon prolaktin yang lebih tinggi yang membantu meredakan perasaan. Inilah yang menyebabkan kita menjadi lebih tenang setelah menangis. Jika airmata karena sedih saja mampu menenangkan perasaan, bagaimanakah dengan airmata yang mengalir karena perasaan yang tersentuh ajaran-ajaran Allah, tentunya akan menjadikan ketenangan bathin yang luar biasa. 

Senin, 06 Februari 2012

Path of Life


Pilihan-pilihan yang ditempuh dalam hidup selalu membawa konsekuensinya masing-masing. Yang dibutuhkan hanyalah satu keberanian untuk memilih dan menanggung resiko akibat pilihan hidup tersebut. Manusia tak pernah memiliki hak untuk memaksa orang lain memutuskan pilihan seperti yang dia inginkan, karena itu tak sejalan dengan Tuhan. Tuhan yang Maha Perkasa, Maha Kuasa pun tak pernah memaksa hambaNYA untuk memilih satu jalan hidup saja. DIA memberikan tawaran alternatif kehidupan dengan segala akibatnya yang merupakan pasti alam.

Dalam dudukku, aku melihat sekilas-sekilas wajah orang-orang yang pernah ada (pernah aku pilih untuk ada, lalu aku pilih untuk aku tinggalkan). Melihat mereka sedang menjalani konsekuensi dari pilihan hidupnya, ada yang membuatku miris, karena dengan gagah berani memilih jalan tanpa obor penerang, hidupnya carut cengkarut, penuh dikuasai amarah, hawa nafsu, luka, benci dan dendam. Ada yang membuatku kagum karena memilih mengabaikan hidupnya sendiri,  untuk terluka demi cinta yang lebih agung, memilih jalan kesunyian. Ada juga yang sedang kebingungan berada dalam persimpangan, dan dia tak mampu menentukan pilihannya. Hidupnya penuh dengan gundah gulana, memendam setiap cita-cita dan menyembunyikan dalam-dalam. Gamang dalam setiap keputusan, hingga yang ada adalah jiwanya berada dalam kelelahan. Dia tak sadar bahwa dengan kegamangannya pada pilihannya itu bukan saja melelahkan dirinya sendiri namun juga orang-orang disekitarnya. Karena dengan tidak segeranya dia melangkah, orang lain pun menjadi tertahan langkahnya, tertutup jalan karena dia tak kunjung beranjak.

Lalu kulihat diriku sendiri, aku mendapati diriku hanyut dalam suatu gelombang, aku tahu arah mana yang aku pilih untuk tuju, namun bekalku belum cukup untuk menantang arus kehidupan. Dipermainkan riak dan gelombang, seharusnya aku tahu, ini hanyalah tipuan-tipuan, tapi kebodohanku membuat aku hanyut. Tak seharusnya aku menangis dan ataupun mengeluh, karena itu berarti aku semakin larut dalam permainan ini. Aku tahu, yang harus aku lakukan adalah bangkit berdiri lalu pergi meninggalkan sungai yang mengalirkan air kebodohan dan tipuan ini. Namun, aku terlalu lemah dan manja. Aku butuh pertolongan. Jelaslah sudah, pertolongan hanya bisa aku dapatkan dari orang yang benar-benar kuat, sehingga bisa menarik aku keluar dari pusaran ini. Tak mungkin aku berharap dari orang yang kebingungan, yang bahkan menentukan pilihannya sendiripun tak mampu, manalah mungkin yang seperti itu menolongku. Dia akan terlalu sibuk memikirkan dirinya sendiri yang kebingungan memilih ketika melewati persimpangannya. Dan akupun tak bisa memaksanya memilih jalan dipersimpangannya agar segera bisa menolong aku. Tidak ada pemaksaan. Semua adalah pilihan. 

Minggu, 05 Februari 2012

Sentilan Kecil Guruh Sukarno Putra untuk Kita

Sejarah bagi bangsa ini, saat ini, adalah bagaikan sebentuk cerita purbakala yang sudah hampir musnah terlindas jaman. Anak bangsa sudah tak peduli lagi, darimanakah dia berasal, bagaimanakah dia sampai pada kehidupan sekarang ini. Sejarah berada dalam titik terendah keberadaannya. Generasi bangsa amat sangat apatis pada nilai-nilai kesejarahan bangsanya. Aku juga ada didalamnya, aku dibesarkan dalam zaman orde baru, yang serba teratur, manut dan tidak kritis. Sejarah adalah indoktrinasi diktat, hafalan-hafalan atas tanggal kejadian, peristiwa yang menurutku kuno, dan sejarah itu membosankan. Aku (dulu) tak pernah tertarik pada sejarah, aku tak melihat urgensi dari belajar sejarah, sejarah itu tidak keren (bila dibanding pelajaran fisika, matematika atau kimia), sejarah itu menakutkan. Ya, menakutkan, karena dimana aku belajar tentang sejarah disitulah aku menghafalkan tanggal-tanggal terjadinya perang, terjadinya genocide, pembantaian. Sejarah adalah tanggal-tanggal, kapan terjadinya perang bubat, perang paregreg, perang diponegoro, perang puputan, dan yang paling seram adalah setiap anak muda (=siswa) di jaman itu dipastikan harus menonton film Pemberantasan G 30 S/PKI yang notabene isinya adalah sadisme dan darah. Setidaknya itulah yang aku ingat tentang film tersebut. Aku tak pernah belajar sejarah untuk mempelajari karakter manusia ataupun untuk mengenali bangsaku sendiri, dan aku rasa itu terjadi juga pada generasi setelahku, termasuk anak-anakku. 

Dan sejarah menemukan ironinya, ketika aku tahu Presiden RI yang pertama adalah Sukarno, namun untuk menyebutkan namanya rasanya aku enggan. Karena di alam bawah sadarku tersimpan memori ketakutan bahwa, menyebut dirinya adalah sesuatu yang "terlarang", karena beliau adalah "terlibat" dalam satu tuduhan. Entah, begitu dalam memori tentang itu tertanam. Aku ingat betul, di perpustakaan seorang kerabat berjajar buku-buku karangan beliau, seperti, Sarinah, Di Bawah Bendera Revolusi dan buku-buku lain, namun lagi-lagi seakan-akan ada yang melarang aku membukanya. Obrolan-obralan mengenai pemikiran beliau oleh para kerabat pun aku jauhi. Sungguh pikiran bawah sadar yang diindoktrinasikan padaku teramat kuat. Akhirnya aku sebatas tahu, ya, Sukarno adalah Bapak Proklamator dan Presiden pertama RI. Sudah, hanya itu.

Namun sebuah talkshow yang aku jumpai dengan tidak sengaja di suatu sore di Yogyakarta, membangunkan kesadaranku secara penuh, bahwa ternyata aku tak pernah mengenal negaraku, bangsaku, dan tak pernah menghargai mereka yang berjuang memerdekakan bangsa ini. Aku malu. Sore itu, aku dapati  Mas Guruh Sukarno Putra menyampaikan pemikiran-pemikirannya dan tentu saja pemikiran-pemikiran ayahandanya. Awalnya tak aku ikuti dengan serius, ah biasa, pikirku, tentang Hari Lahir Pancasila, urgensi Pendidikan Karakter untuk generasi muda bangsa ini, lunturnya nilai-nilai Pancasila yang banyak dikhianati oleh bangsa ini sendiri, dan hal-hal lain yang aku sudah bosan. Hingga akhirnya saat pembawa acara meminta beliau berpesan untuk audience, beliau menyampaikan sesuatu yang sederhana, namun maknanya sangat dalam bagi bangsa ini, beliau menyampaikan bahwa penulisan ejaan nama bagi ayahandanya adalah satu kesalahan dimana orang bahkan pemerintah menuliskan dengan kata Soekarno, padahal yang benar adalah Sukarno, karena ejaan Oe adalah serapan dari bahasa belanda dan bila diucapkan dalam bahasa aslinya maka nama Bapak Sukarno menjadi berubah pelafalannya. Gugatan kecil lain adalah, bahwa penulisan nama Sukarno adalah selalu berdiri sendiri, termasuk bila harus mengikuti nama anak-anak beliau, Guruh Sukarno Putra, Sukmawati Sukarno Putri, dan seterusnya, jadi bukan Guruh Sukarnoputra ataupun Sukmawati Sukarnoputri. Karena bila dibiarkan, lama-lama menjadi parah, sebagai contoh, karena begitu seringnya nama Bung Karno dirangkai dengan nama Bung Hatta sebagai Sukarno-Hatta, apalagi sekarang digunakan untuk memberi nama bandara internasional di Jakarta, maka salah kaprah semakin parah, bandara tersebut oleh sebagian orang disebut sebagai singkatan, yakni menjadi Bandara Soetta. Sebagai generasi penerus Bung Karno, Mas Guruh merasa perlu protes, karena dengan adanya singkatan itu, semakin banyak generasi muda yang tak mengenal siapa Sukarno, siapa Hatta, banyak yang menganggap Sukarno Hatta adalah nama satu orang, semacam, Sukarno bin Hatta. Kasus ini bukan hanya satu paranoid atau kekhawatiran beliau saja, namun memang sudah terbukti, yakni manakala beliau bertanya pada salahsatu anak muda murid beliau, "Kamu tahu nama bapakku siapa?" "Tahu Pak, ayah bapak adalah Sukarno Hatta". Aku tertawa mendengar cerita beliau, tapi sungguh miris, betapa kesalahan itu bila tak diluruskan dari sekarang, dan bila dibiarkan terus, maka lama-kelamaan bangsa ini akan menjadi kabur sejarah kebangsaannya.

Lalu kritik lain adalah penulisan Yogya yang akhir-akhir ini banyak ditulis sebagai Jogja. Kembali penggunaan huruf J adalah "ikut-ikutan" bahasa Belanda -menurut beliau-, karena Yogya berasal dari bahasa sansekerta Ayodya, yang berarti juga Surga. Mendengar semua yang beliau sampaikan aku tersadar, bangsa ini benar-benar berucap dan bertindak tanpa tahu apa dasarnya, bangsa yang kehilangan jatidiri kebangsaannya dan lebih bangga pada unsur-unsur serapan asing. Bahwa aku benar-benar anak bangsa yang apatis, cuek, bahkan tanah tumpah darahku sendiri yang diberi nama begitu indah yang bermakna sebagai surga tak pernah aku hargai. Bila itu terjadi secara massal maka wajarlah bila seluruh penduduk-setidaknya kota ini- tak pernah berusaha mewujudkan kota ini menjadi surga bagi kehidupan kami. 

Hanya sebuah sentilan kecil dari mas Guruh, namun apa yang seakan ringan beliau minta itu adalah sebuah konsekuensi besar yang harus ditanggung bila terjadi pembiaran. Dan blog ini aku tulis setidaknya sebagai satu bentuk kepedulian dan jawabanku atas himbauan beliau sore itu, "Tolong teman-teman sebar luaskan informasi ini ya..."

Jumat Malam, 3 Feb 2012 di Halaman Mandala Bhakti Wanitatama