Selasa, 20 Desember 2011

Sebatang Pohon dalam Jiwa

Pohon itu masih ada di situ, tumbuh dengan kokoh, dedaunannya menghijau rimbun, dengan akar kuat tertancap ke bumi. Walau angin kencang bertiup pohon itu tetap berdiri dengan gagah pada tempatnya, di sekitar tanah lapang yang kering. Bila hujan turun, daun-daunnya siap melindungi orang-orang yang berteduh di bawahnya. Walaupun, sekilas, bila orang memandang pohon itu tampak tak terlalu menarik. Namun buatku pohon itu menawarkan sejuta ketenangan. Biasanya, tengah hari, saat aku istirahat dari pekerjaanku, aku biasa duduk-duduk dibawahnya. sekedar melepaskan lelah, dan menikmati angin sepoi-sepoi. 

Di siang yang agak mendung, aku kembali menyempatkan duduk di bawahnya. Ketika kupandangi pohon itu, tiba-tiba kilat-kilat ingatan masalalu menyeruak. Membongkar apa yang selama ini kusimpan. Dirimu. Bertahun-tahun aku aku berusaha menghilangkan bayang-bayangmu dari segala ingatan, memori, kenangan dan segala hal gombal tentang kita dan kamu. Namun entah kenapa, hari ini, aku tiba-tiba teringat tentangmu. Aku biarkan semua ingatan itu mengalir, mencair dan meleleh di sepanjang batang-batang syarafku. Rengkuhanmu, uluran tanganmu, kecupanmu, perlindunganmu, pemikiran-pemikiranmu, prinsipmu, pandangan hidupmu, sikap, dan kasih sayangmu. Ternyata aku tak pernah kehilangan semua kenangan tentangmu. Pohon besar ini, mengingatkanku padamu. Dirimu yang selalu mengakar ke bumi, namun juga berpikir jauh ke depan. Selalu memberikan kesejukan dalam setiap emosiku yang bergejolak, selalu kokoh dan siap memberikan bahumu sebagai tempatku bersandar, melepaskan segala penat jiwaku. Dirimu seperti akar pohon yang menyerap setiap tetes airmata yang mengalir dan mengeringkannya. Dirimu selalu menerima segala keluh kesahku seperti pohon ini menyerap karbon dioksida yang aku hembuskan, dan memberikan nasihat seperti pohon ini memberikan oksigen untukku bernapas. Dirimu senantiasa teduh seperti pohon ini. Tak terasa air mataku benar-benar menetes, kerinduan padamu sekonyong-konyong begitu kuat menghantam jiwaku. Dirimu, telah tumbuh menjadi pohon besar dalam jiwaku, membuatku selalu nyaman.

Namun rupanya tak semua suka dengan harmoni kami, hingga datanglah badai itu, yang mencerabutkanmu dengan paksa. Dan memaksamu tumbuh di tempat lain yang kau tak pernah tahu seperti apakah itu, satu tempat tumbuh yang tak pernah kau inginkan. Akarmu masih tertinggal disini, di jiwaku, namun batang, ranting dan daunmu tak ada lagi padaku. Aku sakit karena akarmu masih menancap begitu kuat padaku, sehingga tak memungkinkan pohon lain bisa tumbuh dengan baik disini. Dan aku sangat tahu, dirimupun sakit, sekarat menanggungkan hidup tak sempurna, sebatang pohon besar yang tumbuh tanpa akar, hanya menunggu saat menjadi layu, kemudian tumbang. Tidak. Aku tak mau itu terjadi. dan aku yakin, kuasa Tuhan masih bisa menyelamatkan pohon besarku.

Mudah-mudahan Tuhan mendengarkan semua jerit tangis aku dan pohon besarku, menyatukan kami lagi dalam satu harmoni alam, sehingga pohon besar ini kembali tumbuh dengan rindang, lalu berbuah untuk memberikan manfaat yang lebih banyak bagi kehidupan. Menyimpan mataair yang menyegarkan bagi setiap musafir yang singgah. Tumbuhlah lagi disini pohon besarku, akarmu masih aku pelihara dengan baik, tak kubiarkan membusuk apalagi mati. Siap menyambut kapanpun kau kembali. 

Angin sepoi-sepoi meniup pipiku, membangunkanku dari lamunanku. Aku tersenyum. Pohon besar itu, berdiri kokoh disitu. Melindungiku dari rintik-rintik hujan yang mulai membasahi senja. Mengingatkanku padamu pohon besarku. Aku merindukanmu.

Magelang, 20 Desember 2011
.....everything about you....

Sabtu, 17 Desember 2011

Karena Aku Percaya

'Begitu kau menapakkan kaki ke padang pasir, kau tak bisa mundur lagi. Dan kalau kau tak bisa mundur lagi, kau hanya perlu memikirkan cara terbaik untuk maju terus. Selebihnya terserah Allah, termasuk bahaya yang mungkin terjadi' 
Kalimat yang aku baca dari novel Paulo Coelho itu seakan-akan menyentak kesadaranku. beberapa hari ini aku sempat goyah, akankah kesempatan yang ditawarkan perusahaan itu jadi aku ambil? Sebenarnya aku sudah mengiyakan tawaran itu, yang berarti pula aku meninggalkan semua kenyamanan yang diberikan Yogyakarta, meninggalkan dua buah hatiku yang masih menempuh pendidikan di sini, dan meninggalkan cinta yang kau tawarkan. Keputusan sudah aku ambil, pantang buatku berbalik. Benar, aku hanya perlu memikirkan cara terbaik untuk bertahan  hidup kelak disana, selebihnya terserah Allah. 

Aku harus terus maju, berjuang untuk kehidupan kami bertiga, berjuang untuk harga diri dan kehormatanku. Aku tak menampik, cintamu memang ada untukku, namun tak cukup besar untuk menghadang semua rintangan yang menghalangi kita. Tak cukup besar untuk membuatku tetap bertahan disini. 

Bila terus menoleh kebelakang, yang ada hanyalah sesal, karena kau memilih menempuh jalan yang berbeda, yang membuat keadaan kita tercabik-cabik seperti sekarang ini. Namun aku tetap harus bisa menghargai caramu "cara dia tidak sama dengan caraku, begitu pula sebaliknya. Tapi kami berdua sama-sama sedang mencari takdir kami, dan aku menghormatinya untuk itu" Aku bisa menghormati keputusannya utk tidak hidup bersamaku. "mungkin Tuhan menciptakan padang pasir supaya manusia bisa menghargai pohon-pohon kurma itu " Mungkin juga, Tuhan memberikan dalam hidupmu orang lain, agar kau bisa menghargai kehadiranku dalam hidupmu. Mungkin.

Aku hanya perlu menguatkan niat, membulatkan tekad untuk terus berjuang untuk memenangkan kemanusiaanku dan mengalahkan nafsu serta egoku. Aku sudah mendapatkan hatimu tanpa perlu aku merebut dari siapapun. Bila aku mau, aku bisa mendapatkan dirimu, sepenuhnya. Tapi aku tahu, itu akan merendahkanku sebagai manusia. Aku bukan manusia semacam itu, gagah berani mengembangkan layar, mengarungi hidupku sendiri, hingga Allah lah yang berkehendak memberikanmu padaku, itulah aku. Langsung terjun ke pertempuran tanpa perlu tahu bagaimana hasilnya. Masa depan sudah ditulis Allah, dan apa yang telah ditulisNYA selalu untuk kebaikan manusia. Aku percaya, Allah memberikan yang terbaik untukku.

Yogyakarta, 18 Dec 2011
22.55
inspired by the alchemist_paulo coelho

Sabtu, 10 Desember 2011

Lelah hati

where did you when i need you. easy come easy go. anyway the wind blows. it's really really matter to me...Mulut berkata apa, fikiran berfikir lainnya dan tubuh bertindak yang sebaliknya. Bagaimana aku bisa mempercayaimu. Semua pada akhirnya seperti gurauan dan bualan saja. Hari menjelang pagi, aku masih terjaga, dan kau belum kunjung pulang jua. Aku lelah.

Jumat, 09 Desember 2011

Saat Pergi

Dedaunan di sepanjang jalanan menghijau sejuk, tak nampak lagi jejak-jejak kekeringan sebulan yang lalu. Tanah berwarna merah berganti dengan hijaunya rumput yang mulai meninggi. Daun jati tak lagi meranggas. Demikian pula hidup. Sejenak kita akan berada dalam nestapa, kesedihan namun percayalah pada saatnya itu akan berganti dengan kegembiraan. karena begitulah hidup. Semua silih berganti datang dan pergi. Begitupun cinta, seseorang akan datang menawarkan cintanya padamu, hingga waktunya dia akan merasa cinta tak lagi sekuat manakala pertama kalian bertemu, dan engkaupun berpisah. Bersedih saat cinta pergi, tak seharusnya membuatmu berputus asa terhadap hidup, karena yakinlah, pasti akan datang cinta yang lain, yang memiliki warnanya tersendiri. Nikmatilah setiap keindahannya, namun ingatlah keindahan itu takkan selamanya, Bila cinta itu pergi relakan saja.  Karena semua silih berganti datang dan pergi. 
Dunia, manusia, fana. Hanya satu cinta sejati yang tak pernah berubah, cinta Sang Maha Pencipta pada manusia. 

Ada saat datang, ada saat pergi. Ada saat bertemu, ada saat berpisah. Terkadang kita harus ditinggalkan seseorang, terkadang kita harus meninggalkan seseorang. Semua adalah hal yang wajar dalam hidup, bukan sebuah keluarbiasaan. Bila kita mampu "membaca" maksudNYA, maka tak ada yang perlu dirisaukan, karena semua pasti bermuara pada cinta. Bukankah semua harus berganti agar hidup ini memiliki cerita dan warnanya. Nikmatilah dan pahami karena apa yang kamu alami akan menjadi pelajaran untuk orang-orang sesudahmu nanti. 

Saat aku harus melangkah meninggalkanmu, biarkan aku, aku pergi bukan untuk sekedar materi atau kebendaan duniawi, aku pergi untuk satu nilai dan harga diri seorang manusia. Karena sudah terucap janjimu pada Sang Maha Pencipta, satu ikrar terberat manusia yang aku tempatkan di tempat paling mulia. Aku pergi karena cinta, cintaku padamu, cinta padaNYA. Karena aku tahu suatu kehidupan yang agung takkan pernah terwujud di dunia bila aku tak mampu menghargai janjimu padaNYA. Hanya Allah satu-satunya Pembina Kehidupan Agung. 


Yogyakarta, 12 Desember 2011

Selasa, 06 Desember 2011

Menunggu Separuh Jiwa Pulang

Perempuan itu terus berjalan menyusuri takdirNYA, dengan kerudung lusuh tersampir di pundaknya, tak mengenal lelah dia setapak demi setapak melangkahkan kaki. Peluh dan luka-luka tak ia hirau. Walaupun tak tahu arah harus kemana, dia tetap berjalan. Di ujung desa, seorang laki-laki, kira-kira sebaya dengan perempuan itu, berdiri menatapnya berlalu. ada desiran kecil dalam hati laki-laki itu manakala pandangan mata mereka bertemu.  Senyuman kecil dari perempuan itu untuknya, senyuman ramah dibalik nestapa yang berusaha ditutupinya menambah desiran kecil dalam hatinya menjadi lebih kentara.

Perempuan itu berlalu tanpa sempat memikirkan apapun kecuali dirinya dan hidupnya. 

Takdir adalah kehendakNYA, tak bisa diubah kuasa manusia. Pertemuan selanjutnya adalah bagian dari takdir mereka, laki-laki itu tak mau lagi kehilangan senyum perempuan itu begitu saja, diulurkan tangannya untuk saling mengenal. Dan pertemuan pertemuan selanjutnya sekilas sekilas namun begitu indah, telah menyemaikan sesuatu yang indah adalam masing-masing jiwa. Mungkin itu yang disebut cinta. Walaupun perempuan itu tak pernah tau dengan pasti apakah itu cinta. 

Perlahan-lahan perempuan itu mendapati dirinya berubah, tak lagi muram durja, perempuan itu begitu bahagia berbunga-bunga. Begitupun laki-laki yang dikenalnya  mereka saling memuja, saling mengasihi. Hari, bulan, tahun mereka rajut, berjalan beriringan, bergandengan tangan. Hanya bahagia adanya. Indah.

Namun takdir sudah dituliskan, ada suram ada keindahan, ada kesedihan ada kebahagiaan. Mungkin catatan kepedihan perempuan itu belum tergenapi, hingga Tuhan masih menagihnya utk digenapi. Laki-laki itu harus pergi  untuk satu alasan yang tak pernah dia mengerti. Tangisan kepedihan memenuhi rongga waktu yang dia lalui. Mengapa? tanya itu tak pernah terjawab, kepedihannya seakan tanpa tepi. Tangisan, kepedihan semakin lama menggerogoti jiwanya, meracuni, melahirkan benci, sumpah serapah dan kesakitan yang luar biasa. Perempuan itu hampir sekarat. 
Disaat sekaratnya, bisikan dari berbagai penjuru bumi merasuki hidupnya, bisa meredakan amarahnya, namun tidak kebekuannya. Perempuan itu membeku jiwanya, apatis dan tak peduli pada apapun tentang lelakinya. Tak peduli lelakinya tergolek sakit karena butuh uluran tangannya, perempuan itu mati rasa.

Perempuan itu berjalan kembali menyusuri takdir. Dengan kebekuan dan mati rasa. Dia mengingkari satu rasa dalam hatinya karena terlalu berat beban yang ditanggungya. Dalam hampa dia berjalan tak hirau apapun di dekatnya. Hingga seorang sahabat menghampirinya, mengajarkannya tentang arti sebuah cinta. Cinta sejati yang tak pernah mengenal kata kehilangan. "Mencintai seseorang berarti kau mencintainya dengan jiwamu sepenuhnya, tak peduli dengan siapa dia hidup saat ini, kecemburuan tak layak menjadi kebencian, kecemburuan tak layak mengalahkan keagungan cinta itu sendiri. Belajarlah untuk tidak lekat terhadap sesuatupun, karena tak ada yang abadi di dunia ini. Dengan tidak lekat terhadap sesuatu berarti kau bisa merasakan sebenar-benarnya keberadaan. Dan kehilangan adalah sisi lain keberadaan. Jangan pernah menyesalinya." 

Perempuan itu tersenyum, sekilas. Sebuah pelajaran hidup yang belum sepenuhnya dia mengerti, namun dia yakin suatu saat dia pasti akan mengerti.

Dua tahun dalam dalam kehilangan. Tak ada lagi tangisan atau dendam pada perempuan itu. Takdir kembali menghampirinya, untuk menggenapkan catatan bahagianya, penyerahan diri pada takdirNYA.

Suatu senja, diantara rinai gerimis, nanar perempuan itu menatap tak percaya, laki-laki yang pernah begitu dikenalnya berdiri tegak di hadapannya, seraya berkata, "Dua tahun aku mencarimu, meskipun kau menghindar, meskipun kau tak sudi menatapku aku tetap mencarimu, karena aku tahu, separuh jiwaku telah kau bawa. segumpal hatiku telah kau genggam dan aku tak mampu hidup tanpa dirimu".  Seperti badai kilat yang menyambar bertubi-tubi, tembok keangkuhan yang ia bangun runtuh seketika, perempuan itu bersimpuh seraya berkata, "separuh jiwakupun kau bawa, dan segumpal hatiku kau genggam erat. Akupun tak bisa hidup tanpa dirimu". Sejenak, seperti menemukan sebagian diri yang hilang, mereka bercengkerama, membagi kisah hidup yang dilaluinya, tertawa bersama, mendendangkan nyanyian kehidupan. Namun, mimpi indah harus diakhiri sebelum semuanya terbangun atau berubah menjadi mimpi yang buruk. Dengan mulut bergetar perempuan itu berkata, "kau sudah mengetahui dimana separuh jiwamu terbang, kau sudah mengetahui dimana segumpal hatimu tersimpan, semua akan aku jaga dengan baik dan penuh keyakinan, dirimu pasti akan kembali. Berangkatlah dalam tugasmu dengan tenang, aku disini, menunggumu,  menunggu separuh jiwaku yang hilang akan pulang." 

Yogyakarta, 6 Desember 2011
Untuk separuh jiwaku, yang selalu rajin memohon pada Tuhan, semoga Tuhan mengabulkan doamu.  Amin



Kamis, 01 Desember 2011

Elegi Kau Aku

Kidung malam, sayup terdengar. Kidung tentang penyesalan kidung kehampaan.. Kau datangi aku dengan segenggam luka nestapa. Betapa setelah perjalanan yang kau tempuh, kau hanya menemui kehampaan. Betapa kau tak mampu menghibur dirimu. Betapa tak mudah kau hidup tanpa kicauanku di sepanjang harimu. 
Aku yang pernah tercampakkan olehmu, aku yang pernah berkeping keping ingin sekali menghindarimu. Namun aku tak mampu melihat sayup kidungmu menjadi elegi yang mengoyak-ngoyak jiwaku. Perih. Aku menyerah.  Aku menyambutmu dengan penghiburan setulus jiwa. Kubiarkan kau tersenyum menikmati indahnya tarianku, tanpa kau harus tau betapa telaga bening ini telah mengalir perlahan menyusuri kelok kelok pipiku. Kau tak pernah tahu, selama ini aku merasa diriku hanyalah remah-remah di matamu, tak pernah lebih penting dari dirimu sendiri. Meskipun sekuat halilintar aku berteriak meyakinkanmu bahwa akulah yang kau cari namun ditelingamu teriakanku hanyalah angin lalu. Aku tak seindah impianmu, aku terlalu buruk untuk beriring denganmu. Bagaikan sampah, aku tak pernah kau biarkan muncul walaupun hanya di pintu pagar rumahmu.  Itu yang aku tangkap dari bahasamu dahulu.

Kau selalu mengatakan, kebenaran adalah waktu, maka inilah kebenaran itu, bahwa kau membutuhkan kicauanku, tarianku, aku. 

Kebenaran adalah kebenaran dan penyesalan tetaplah penyesalan, selalu datang setelah semua terjadi. Tengoklah pada sebuah janji suci, pada seseorang yang tak pernah mengerti untuk apa dia ada disisimu. Terlalu lugu dia untuk mengerti betapa rumitnya hati, betapa tak mudah memilikinya walaupun raga dalam genggaman tangannya. Kau telah memilih membangun istana pasirmu yang selalu membuatmu semakin pedih karena semua yang ada padamu tlah luka terkoyak kesombongan di masa lalumu. Perlahan namun pasti istana pasirmu terkikis angin, saat itu barulah tersadar bahwa yang kau butuhkan bukanlah itu. Kau membutuhkan kicauanku, tarianku, aku.

Kidungmu mengalun di kesunyian malam-malamku, elegi yang menyayat hati. Berharap ada keajaiban yang bisa membawamu padaku. Aku hanya terduduk disini, memandang luka-lukamu, mendengarkan jeritanmu tanpa mampu membuat segalanya seperti sediakala. Tertatih tatih aku bangkit setelah kau hempaskan aku hingga luluh lantak, aku bisa kembali tegak menatap dunia, dan aku berbahagia dengan keadaanku saat ini, tak aku ijinkan seorangpun, termasuk dirimu, menghempaskan aku lagi dan mengambil bahagiaku yang sejati, diriku. Lantas apa yang kau tawarkan untuk kebahagiaanku? Apakah cukup sepenggal cinta untuk membuatku kembali? Entah.

Kebenaran adalah waktu, dan aku tak pernah tahu apakah aku harus bersedih atau berbahagia pada saat kebenaran itu menghampiriku. 
Dan kidungmu pun sayup-sayup menghantar tidur malamku, sebuah elegi dini hari.