Selasa, 06 Desember 2011

Menunggu Separuh Jiwa Pulang

Perempuan itu terus berjalan menyusuri takdirNYA, dengan kerudung lusuh tersampir di pundaknya, tak mengenal lelah dia setapak demi setapak melangkahkan kaki. Peluh dan luka-luka tak ia hirau. Walaupun tak tahu arah harus kemana, dia tetap berjalan. Di ujung desa, seorang laki-laki, kira-kira sebaya dengan perempuan itu, berdiri menatapnya berlalu. ada desiran kecil dalam hati laki-laki itu manakala pandangan mata mereka bertemu.  Senyuman kecil dari perempuan itu untuknya, senyuman ramah dibalik nestapa yang berusaha ditutupinya menambah desiran kecil dalam hatinya menjadi lebih kentara.

Perempuan itu berlalu tanpa sempat memikirkan apapun kecuali dirinya dan hidupnya. 

Takdir adalah kehendakNYA, tak bisa diubah kuasa manusia. Pertemuan selanjutnya adalah bagian dari takdir mereka, laki-laki itu tak mau lagi kehilangan senyum perempuan itu begitu saja, diulurkan tangannya untuk saling mengenal. Dan pertemuan pertemuan selanjutnya sekilas sekilas namun begitu indah, telah menyemaikan sesuatu yang indah adalam masing-masing jiwa. Mungkin itu yang disebut cinta. Walaupun perempuan itu tak pernah tau dengan pasti apakah itu cinta. 

Perlahan-lahan perempuan itu mendapati dirinya berubah, tak lagi muram durja, perempuan itu begitu bahagia berbunga-bunga. Begitupun laki-laki yang dikenalnya  mereka saling memuja, saling mengasihi. Hari, bulan, tahun mereka rajut, berjalan beriringan, bergandengan tangan. Hanya bahagia adanya. Indah.

Namun takdir sudah dituliskan, ada suram ada keindahan, ada kesedihan ada kebahagiaan. Mungkin catatan kepedihan perempuan itu belum tergenapi, hingga Tuhan masih menagihnya utk digenapi. Laki-laki itu harus pergi  untuk satu alasan yang tak pernah dia mengerti. Tangisan kepedihan memenuhi rongga waktu yang dia lalui. Mengapa? tanya itu tak pernah terjawab, kepedihannya seakan tanpa tepi. Tangisan, kepedihan semakin lama menggerogoti jiwanya, meracuni, melahirkan benci, sumpah serapah dan kesakitan yang luar biasa. Perempuan itu hampir sekarat. 
Disaat sekaratnya, bisikan dari berbagai penjuru bumi merasuki hidupnya, bisa meredakan amarahnya, namun tidak kebekuannya. Perempuan itu membeku jiwanya, apatis dan tak peduli pada apapun tentang lelakinya. Tak peduli lelakinya tergolek sakit karena butuh uluran tangannya, perempuan itu mati rasa.

Perempuan itu berjalan kembali menyusuri takdir. Dengan kebekuan dan mati rasa. Dia mengingkari satu rasa dalam hatinya karena terlalu berat beban yang ditanggungya. Dalam hampa dia berjalan tak hirau apapun di dekatnya. Hingga seorang sahabat menghampirinya, mengajarkannya tentang arti sebuah cinta. Cinta sejati yang tak pernah mengenal kata kehilangan. "Mencintai seseorang berarti kau mencintainya dengan jiwamu sepenuhnya, tak peduli dengan siapa dia hidup saat ini, kecemburuan tak layak menjadi kebencian, kecemburuan tak layak mengalahkan keagungan cinta itu sendiri. Belajarlah untuk tidak lekat terhadap sesuatupun, karena tak ada yang abadi di dunia ini. Dengan tidak lekat terhadap sesuatu berarti kau bisa merasakan sebenar-benarnya keberadaan. Dan kehilangan adalah sisi lain keberadaan. Jangan pernah menyesalinya." 

Perempuan itu tersenyum, sekilas. Sebuah pelajaran hidup yang belum sepenuhnya dia mengerti, namun dia yakin suatu saat dia pasti akan mengerti.

Dua tahun dalam dalam kehilangan. Tak ada lagi tangisan atau dendam pada perempuan itu. Takdir kembali menghampirinya, untuk menggenapkan catatan bahagianya, penyerahan diri pada takdirNYA.

Suatu senja, diantara rinai gerimis, nanar perempuan itu menatap tak percaya, laki-laki yang pernah begitu dikenalnya berdiri tegak di hadapannya, seraya berkata, "Dua tahun aku mencarimu, meskipun kau menghindar, meskipun kau tak sudi menatapku aku tetap mencarimu, karena aku tahu, separuh jiwaku telah kau bawa. segumpal hatiku telah kau genggam dan aku tak mampu hidup tanpa dirimu".  Seperti badai kilat yang menyambar bertubi-tubi, tembok keangkuhan yang ia bangun runtuh seketika, perempuan itu bersimpuh seraya berkata, "separuh jiwakupun kau bawa, dan segumpal hatiku kau genggam erat. Akupun tak bisa hidup tanpa dirimu". Sejenak, seperti menemukan sebagian diri yang hilang, mereka bercengkerama, membagi kisah hidup yang dilaluinya, tertawa bersama, mendendangkan nyanyian kehidupan. Namun, mimpi indah harus diakhiri sebelum semuanya terbangun atau berubah menjadi mimpi yang buruk. Dengan mulut bergetar perempuan itu berkata, "kau sudah mengetahui dimana separuh jiwamu terbang, kau sudah mengetahui dimana segumpal hatimu tersimpan, semua akan aku jaga dengan baik dan penuh keyakinan, dirimu pasti akan kembali. Berangkatlah dalam tugasmu dengan tenang, aku disini, menunggumu,  menunggu separuh jiwaku yang hilang akan pulang." 

Yogyakarta, 6 Desember 2011
Untuk separuh jiwaku, yang selalu rajin memohon pada Tuhan, semoga Tuhan mengabulkan doamu.  Amin



4 komentar:

  1. Teringat sesosok wanita yg kukenal....berjuang terus sekuat tenaga demi orang orang terkasih yg diamanatkan Allah padanya.... Semoga dia mampu menemukan sisi bahagia dikehidupannya....seorang yg slalu tersenyum dihari harinya....

    BalasHapus
  2. karena hidup hanyalah menjalani takdir. terkadang disaat kita tulus mencintai, justru disaat yang sama balasan yg kita terima tidaklah sama, disaat itulah, Allah menunjukkan betapa hanyalah DIA yang Maha Cinta, yang tak pernah menyakiti kita, salam

    BalasHapus
  3. Ah...andai saja aku seorang produser, so pasti aku akan buat sinetronnya. Minimal dari sinetron ini kita bisa belajar bersabar, bersyukur dan berikhlas.Sebuah konsep yang "wit gedhang woh pakel", ngomong gampang nglakoninya yang angel. Selamatlah bagi mereka yang pandai bersabar, bersyukur dan berikhlas. Semoga setiap langkahnya mendapatkan berkahNya. Amin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya om... ini kali ini benar2 pelajaran hidup, benar2 dihadapkan pada pilihan, mau bodoh berujung naar apa mau cerdas berujung jannah... lumayan berat om, tapi dengan mohon kekuatan dari Allah, insyaAllah aku bisa mengurai masalah pelik ini dengan baik, mohon doa saja

      Hapus