Jumat, 29 Juli 2011

Duh!!

Siang itu di pinggiran kota kecil Purworejo terasa panas dan berdebu, gersang. Waktu dhuhur sudah masuk sekitar sejam lalu. Kami mampir ke sebuah masjid kecil di jalan menuju sisi barat pegunungan Menoreh. Pertama kali menginjakkan kaki dihalaman masjid masih terasa hawa panas dari terik matahari yang menyengat kulit, namun memasuki serambi masjid, seperti biasa hawa khas sejuk sebuak masjid segera mendinginkan tubuh kami. "Disebelah masjid ini adalah pondok pesantren wanita, kalo yang disana yang cat biru itu pondok pesantren pria" kata teman seperjalananku sambil menunjuk satu bangunan yang agak jauh dari masjid ini. Temanku memang sudah pernah ke masjid ini sebelumnya, kira-kira dua bulan yang lalu. "Itulah makanya disini banyak santri-santri perempuan", lanjutnya. Benar juga, mataku menyapu ke sekeliling masjid, tadinya aku tidak memperhatikan, ternyata di seputar masjid ini, di serambi, di dalam, di dekat tempat wudlu, santri-santri perempuan duduk terpencar, namun semua melakukan kegiatan yang sama, masing-masing memegang kitab dan menggumamkan lafadz-lafadz di dalamnya, pasti, mereka membaca Al Qur'an. Lalu aku berjalan menuju samping masjid, di satu sisi dimana terletak tempat wudlu wanita, disana juga ada satu santriwati yang sedang membaca Al Qur'an. Aku hanya melihat sekilas waktu melewatinya, aku segera menuju tempat berwudlu, tapi, ahai rupanya kran airnya tak meneteskan air, jadi aku tanya mbak santri, "mbak, airnya nggak nyala atau salurannya rusak ya?" "saya nggak tau bu" jawabnya. Duh, batinku kok simple banget dia jawabnya, tadinya aku berharap dia akan menjawab, "o ya bu, pompa airnya belum dinyalakan." tapi rupanya itu hanyalah harapanku, dan bukan jawaban dia. demi mempersingkat waktu, khawatir waktu dhuhur keburu habis, aku berwudhu di tempat wudhu pria. Untungnya sepi, tidak ada makhluk pria berkeliaran di tempat wudhu pria siang itu. Segera aku wudhu dan menuju dalam masjid untuk sholat.

Selesai sholat aku keluar menuju serambi masjid, ada santriwati yang sedang berhenti membaca Al Qur"an,  lalu timbul keinginanku untuk bertanya,
"Mbak, ini sedang menghafal atau mengaji saja",
"ya sambil menghafal mbak", jawab santriwati yang duduk di dekat bedug.
Lalu temanku datang dan ikut nimbrung, "Mbak, kalo nyantri disini sekolah umumnya dimana?"
"Nggak sekolah bu, begitu lulus SD karena nggak mampu sekolah di SMP Karena gada biaya, saya nyantri disini"
"Lha, memangnya mbaknya di Pondok gak bayar mbak?"
"Enggak bu"
Lalu aku bertanya lagi, "Mbaknya gak pengen kerjakah? kalo pengen ibu ini butuh teman buat bantuin momong anaknya di Yogya," sambil aku menunjuk ke arah temanku.
"Enggak lah bu, disini aja"
Aku mulai bertanya-tanya, lha kalau gak kerja, gak sekolah, trus tiap hari baca Qur'an saja, gimana dong... padahal, belum tentu juga anak itu tahu artinya.
" Mbaknya belajar Nahwu Shorof ndak mbak?" tanyaku lagi
" Iya bu, kemarin baru saja khatam"
"Wah, hebat dong mbak, aku aja pengen banget bisa, masih belajar-belajar sendiri nih"
Santriwati itu tersenyum. Lalu terpikir sesuatu olehku, "Mbak, kalo ngapalin Qur'an gitu, sekaligus dengan artinya tidak?", "Ya, pelan-pelan, sambil jalan Bu" Lalu, terpikir olehku, bila seorang anak perempuan, lulus SD, tidak melanjutkan pendidikannya, tidak juga bekerja, lalu wawasan hidup seperti apa yang dia punya. Apa iya dia disini hanya menghabiskan waktu untuk mengaji dan sholat tiap hari sambil menunggu seseorang pria datang melamar, duh, naif sekali.

Dalam mobil di perjalanan pulang, aku mengutarakan pemikiran yang mengusik otakku tadi pada temanku, lalu dijawabnya, "ya kan malah baik to, berarti dia tekun beribadah" "beribadah? beribadah emangnya cuman begitu, lalu kenapa dalam setiap doa ada fidunnya hasanah wa fil akhirati hasanah? lah kalo cuma mau akhirat aja, gak perlu dong ada fidunnya hasanah." " ya tapi kan akhirat itu lebih penting" jawab temanku. "Ah, kata siapa? kalo akhirat lebih penting mengapa ada Hablu minallah dan hablum minannas yg harus berimbang?" aku mulai ngotot, dan temanku menjawab, "ya mungkin untuk mereka begitu"

Iya juga sih, masing-masing kepala punya pemikirannya masing-masing, tapi buatku, alangkah sayangnya ilmu Allah, hanya dihafal dikepala saja, ibadah pada Allah hanya ritual saja. Dangkal sekali pemaknaannya. Mundur lagi jauh ke belakang. Duh!!