Jumat, 30 September 2011

Ampuni kami duh Gusti Allah

Lebih mudah memang, melukiskan hati akan cinta manusia. merindu, memuja, dan sejuta kata-kata. Hingga terkadang terlena, lupa bahwa ada satu cinta yang jauh lebih indah dan abadi, satu pemujaan hakiki akan Sang Maha Cinta. Terlalu banyak cinta yang diberikanNYA, terlalu indah semua pemberianNYA, sehingga terkadang mata manusia silau, tak mampu memandanginya. Terlalu asyik berkubang dalam kenikmatan kasihNYA sehingga tak sadar kita bahwa kita sedang menikmati cintaNYA. Sekedar duduk saja, dan memandangi sebutir pasir lalu menyadari bahwa butir pasir itupun bukti cintaNYA. Dengan butiran-butiran pasir berdiri megah sebuah rumah, dimana kita berlindung dari terik matahari dan berteduh dari guyuran hujan. Dengan butiran-butiran pasir, tercipta ruas-ruas jalan, membentang jembatan, dan aneka ragam bangunan. Terlalu banyak cintaNYA sehingga kita terlalu terbiasa menjalaninya tanpa syukur. Begitulah kita, terlena.
DIA tahu kita lupa, sehingga sekali waktu mengingatkan kita, dengan sedikit teguran. Hanya supaya kita ingat, ada DIA. Namun yang ada, bukanlah kita menjadi kembali teringat padaNYA lalu mensyukuri semua nikmatNYA, tapi sedikit teguran itu menjadikan kita berang, marah dan bahkan menghujat titahNYA. Jikalau kita berani marah padaNYA, salahkah bila DIA lebih marah lagi pada kita??? 

Rabu, 21 September 2011

Kemarau tak menyisakan setetes air hujan


Hutan jati yang meranggas, menemani perjalananku sepanjang siang ini. Warna coklat menghampar, gersang. Terik matahari yang menyengat menambah suasana meranggas. Kemarau tak menyisakan setetes air hujan.
Nanar mataku menatap keadaan, pilu. Dimanakah yang dikatakan zamrud khatulistiwa itu? Bukit-bukit kapur di tambang, menyisakan ceruk-ceruk tak terawat, pohon-pohon ditebang  tanpa ditanami pengganti. Inikah gemah ripah loh jinawi? Suasana ini membuatku pening. (belum selesai -juga-)